KPK Selamatkan Potensi Kerugian Negara Rp18,15 T di Sektor Kesehatan

Konpres akhir tahun KPK, Selasa, 17 Desember 2019.
Sumber :
  • VIVAnews/ Edwin Firdaus

VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklaim telah menyelamatkan Rp18,15 triliun potensi kerugian keuangan negara dari sektor kesehatan. Hal itu dilakukan KPK melalui sejumlah kajian di sektor kesehatan dalam empat tahun terakhir. 

"Dari kajian di sektor kesehatan ini, potensi kerugian keuangan negara yang dapat diselamatkan adalah Rp18,15 triliun," kata Ketua KPK Agus Rahardjo, dalam Konferensi Pers Kinerja KPK 2016-2019 di Gedung Penunjang KPK, Jakarta, Selasa, 17 Desember 2019.

Agus menjelaskan, dari kajian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), KPK menemukan sejumlah celah terjadinya fraud atau penyimpangan. Potensi fraud ini antara lain, adanya fragmentasi (unbundling) atau kesengajaan memecah pelayanan medis, phantom billing atau tagihan biaya tanpa pelayanan, serta unnecessary treatment atau tindakan medis yang tidak diperlukan pasien.

Atas temuan tersebut, menurut Agus, pihaknya telah menyampaikan sejumlah rekomendasi untuk memperbaiki sistem JKN. Beberapa di antaranya, KPK mendorong rumah sakit pemerintah dan swasta provider JKN seluruh Indonesia untuk menyampaikan rencana kebutuhan obat. Hal ini penting agar klaim obat pada JKN  transparan dan akuntabel. "Ini berpotensi menyelamatkan Rp18 triliun," kata Agus. 

Selain itu, KPK mendorong penyelesaian tunggakan iuran wajib dalam program JKN, dengan mengeluarkan surat kepada 19 pemerintah provinsi dan dua pemerintah kota untuk tempo pembayaran 2004-2017. Langkah ini disebut Agus menyelamatkan Rp114 miliar.

Sementara dari piloting di tiga wilayah, KPK menemukan empat dari enam rumah sakit tidak sesuai penetapan kelasnya. "Kajian ini berpotensi menyelamatkan uang negara sebesar Rp33 miliar dalam setahun," ujarnya.

Agus menambahkan, dari kajian pengadaan alat kesehatan, KPK menemukan e-catalogue belum berjalan optimal. Hal tersebut karena jumlah alat kesehatan dan penyedia masih relatif sedikit. "Penyedianya hanya ada 7 persen dan produknya hanya 35 persen," ujarnya.
 
Selain itu, KPK menemukan transaksi e-catalogue hanya menjangkau 58 persen dari pengadaan barang dan jasa alat kesehatan. Dengan kata lain, pengadaan barang dan jasa alat kesehatan masih didominasi secara konvensional.

Dari kajian pengadaan alat kesehatan ini, lembaga antirasuah itu merekomendasikan pembentukan komponen pembentuk harga dasar untuk dasar negosiasi harga tayang oleh LKPP. Selain itu, KPK meminta Kementerian Kesehatan dan LKPP membuat cetak biru pemenuhan alat kesehatan di e-catalogue, dengan peningkatan jumlah produk dan penataan konten.

KPK juga merekomendasikan penutupan fitur negosiasi dan menggantinya dengan fitur pilihan terkait komponen harga tambahan dan pembelian dalam jumlah besar. "Selain itu, penyempurnaan regulasi untuk menjadi pedoman penilaian kebutuhan dan pemilihan alat kesehatan," ujar Agus.