Pemberitaan Kemunculan Ular Kobra Dikritik Buat Warga 'Paranoid'

Petugas dinas pemadam kebakaran melakukan evakuasi seekor ular King Kobra (Ophiophagus Hannah) saat ditemukan di kawasan permukiman warga Jakasampurna, di Bekasi, Jawa Barat, Kamis (12/12/2019).
Sumber :
  • bbc

VIVA – Pemberitaan tentang kemunculan anak-anak ular kobra di kawasan permukiman di Pulau Jawa dan Bali beberapa pekan terakhir meresahkan warga. Namun, peneliti reptil mengatakan fenomena tersebut wajar terjadi pada awal musim penghujan.

"Awal musim penghujan ini adalah awal di mana telur-telur ular ini menetas, termasuk si ular kobra ini, jadi secara alami memang periode season -nya ini sekarang," kata Amir Hamidy, peneliti reptil di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kepada BBC News Indonesia (16/12).

Meski demikian, ia meminta masyarakat tetap waspada akan keberadaan ular kobra di sekitar mereka, mengingat hewan tersebut tergolong berbahaya dengan racunnya yang mematikan.

Akan tetapi yang menjadi masalah, pemberitaan tentang ular kobra itu dianggap pengamat media dari Remotivi, Roy Thaniago, justru menebarkan teror dan rasa panik di tengah masyarakat. Pemilihan istilah hingga angle sebagian besar berita dirasa tidak tepat.

"Bahwa cara menggambarkannya itu yang kemudian bisa punya dampak yang terrorizing , misalnya kata-kata yang dipilih dari kata `teror`, terus ada `fenomena ular ini sekarang sudah sampai di... nama daerah`, ini kan menggambarkan bahwa ini memang sesuatu yang mewabah," tutur Roy.

Selama dua pekan terakhir, sejumlah media santer memberitakan fenomena ular kobra yang muncul di daerah permukiman warga di Pulau Jawa dan Bali.

Beberapa di antaranya menggunakan istilah `Teror Kobra` dan menyajikan berita yang menurut pengamat media bersifat `episodik` karena hanya memaparkan kejadian serupa di lokasi dan waktu berbeda.

Dalam pemberitaan yang muncul, sebagian warga memanggil petugas pemadam kebakaran untuk menangkap ular-ular itu, tapi tak sedikit yang menangkapnya sendiri, bahkan membunuhnya.

Menurut Amir Hamidy, di Indonesia sendiri terdapat dua jenis ular kobra yang melata di daratan, yaitu kobra sumatra (Naja sumatrana) yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan, serta kobra jawa (Naja sputarix) yang terdistribusi di Jawa, Bali, Lombok, Komodo, Rinca, Sumbawa dan Flores.

`Jadi paranoid`

Ayu Rahayu, warga perumahan Grand Depok City di Kota Depok, Jawa Barat belakangan cemas akan kemungkinan munculnya ular kobra di sekitar rumahnya. Apalagi, berita penemuan kobra itu hampir setiap hari selalu muncul.

"Pastinya jadi agak paranoid dan agak takut, apalagi sejak lihat postingan netizen-netizen yang memang menemukan ular-ularnya di lokasi rumah yang dekat dengan rumah tinggal saya sekarang," kata Ayu (16/12).

Kota Depok memang menjadi salah satu daerah dengan kemunculan anak ular kobra yang kerap diberitakan belakangan.

Suatu kali, ia mendengar bunyi tikus yang cukup nyaring di halaman belakang rumahnya dan mengira ada ular kobra yang sedang memangsa tikus tersebut. Pasalnya, tikus merupakan mangsa utama hewan berbisa tersebut.

"Saya agak khawatir apakah memang ada ular di situ. Dari situ, saya langsung telepon suami saya dan menanyakan apa yang harus saya lakukan," tuturnya.

Ketakutan serupa dialami Rizky Juniarto, warga Cijantung, Jakarta Timur. Ia dan istrinya khawatir ular kobra akan muncul di sekitar rumahnya, terlebih tempat tinggalnya bersebelahan dengan rumah tak berpenghuni yang tampak kurang terawat - lokasi yang `digemari` ular kobra.

"Karena beritanya (tentang kemunculan ular kobra) tiap hari dan berulang-ulang, itu yang jadi khawatir," ujar Rizky melalui sambungan telepon (16/12).

"Tiap hari orang terpapar `awas ular, awas ular` di Instagram, di portal berita digital, di TV, jadi orang kayak parno gitu."

Tak hanya dirinya, warga di sekitar tempat tinggalnya pun mencemaskan hal yang sama. Pada akhirnya, warga melakukan kegiatan bersih-bersih lingkungan untuk menghalau kehadiran kobra.

Pemberitaan soal ular kobra `miskin angle`

Pengamat media dari Remotivi, Roy Thaniago, mengatakan bahwa pemberitaan sebagian besar media massa terkait fenomena munculnya anak-anak ular kobra miskin angle .

"Menurut saya juga bisa masuk ke topik yang sebenarnya kritis, anglenya alih-alih untuk melihat itu dalam kacamata terrorizing tadi, bisa dipakai sebagai pintu masuk untuk ngomongin masalah lain, misalnya masalah lingkungan.

"Bagaimana perubahan sebuah daerah yang tadinya hutan, lalu dampak pembangunan dari itu, industrialisasi dari sebuah kota, dan menghilangkan - misalnya - rantai makanannya ular, misal elang jadi hilang," beber Roy.

Roy juga mengkritisi bagaimana sebagian pemberitaan tentang kobra dikemas dari kacamata komoditas belaka. Ia menilai seharusnya media massa dapat memberikan berita yang proporsional dan tidak menjual ketakutan yang berlebihan.

"Yang orang harus tahu, kalau media atau pers punya kesadaran bahwa mereka sedang melayani warga, mereka akan punya angle yang berbeda ketimbang ketika mereka melayani konsumen.

"Yang terjadi sekarang ini melayani konsumen. Jadi kalau konsumen itu kan, buat saya, hasratnya yang kemudian dieksploitasi, sedangkan rasionalitasnya nggak. Ujung-ujungnya pemberitaannya cenderung lebih psikologis ketimbang informatif," tuturnya menjelaskan.

Salah satu media massa yang menggunakan istilah `Teror Kobra` dalam pemberitaannya adalah Vivanews.com. Redaktur Pelaksana Vivanews, Renne Kawilarang, mengatakan bahwa keputusan redaksinya untuk menggunakan istilah tersebut dalam pemberitaan didasarkan pada fenomena yang ada di lapangan.

Ia juga menganggap kata `teror` dapat menggambarkan keberadaan ular kobra yang disebutnya sudah dalam tahap `mengganggu`."Ya mungkin istilahnya tidak salah juga kalau ada sebagian rekan-rekan media menuliskannya sebagai teror, karena bagi mereka kan, pertama itu kan fenomena yang tidak biasa mereka hadapi. "Kedua ya, anggap aja dipersepsikan juga sebagai teror, karena kan keberadaan ular itu kan - namanya juga ular - apalagi mengganggu, dan juga kita dapatkan peristiwa ada satu orang yang kena gigit ular Kobra seperti yang terjadi di Depok," tutur Renne.

Terkait dampak timbulnya gelombang ketakutan di tengah masyarakat akibat pemberitaan tentang `Teror Kobra` yang dikatakan pengamat media Roy Thaniago, Renne mengatakan medianya bersedia menerima kritik dan menganggap "sah-sah saja" bila ada pihak yang memandangnya demikian.Selain Vivanews, beberapa media lain juga menggunakan istilah `teror` dalam mendeskripsikan fenomena ular kobra, salah satunya detikcom. Hingga berita ini diturunkan, redaksi detikcom belum bersedia memberikan tanggapan.

Harus `bijak` karena `hidup berdampingan`

Peneliti reptil dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Amir Hamidy, menuturkan bahwasanya kemunculan anak ular kobra di sekitar permukiman warga bukan tanpa alasan.

Menurutnya, adaptabilitas ular kobra terhadap lingkungan buatan manusia, termasuk persawahan, tegalan, hingga pekarangan, membuat mereka mampu - bahkan nyaman- hidup di sana.

Selain itu, tersedianya lingkungan yang mendukung bagi mereka untuk bertelur di kawasan permukiman, membuat kobra bersarang di sana. Yang dimaksud adalah tempat yang lembab dan gelap.

Gangguan ekosistem adalah faktor berikutnya. Dari pengamatan Amir, ketiadaan predator alami bagi kobra sendiri - elang atau garangan - menyebabkan populasi anakan kobra meningkat.

Invasi manusia di kawasan yang menjadi habitat kobra juga turut menjadi alasan munculnya kobra-kobra tersebut di sekitar penduduk. Konflik hewan-manusia itu tak dapat terhindarkan.

"Perkembangan perumahan di wilayah Jabodetabek itu berapa sih? Kan sangat masif sekali. Apalagi wilayah Jabodetabek ini adalah memang tipikal habitat atau micro climate (iklim mikro, red.) yang cukup bagus untuk si ular kobra ini, dan mereka sebenarnya sudah ada di situ sebelum itu mungkin dikonversi jadi perumahan," jelas Amir.

Akan tetapi, menurutnya, ular kobra sendiri - seperti hewan lainnya - tidak punya sifat alami untuk menyerang manusia.

"Semua hewan itu akan menyerang manusia kalau kondisinya memang terancam. Kobra lihat kita juga lari, kok. Tapi kalau terancam, iya, dia akan menyerang manusia."

Namun posisi terancam seekor kobra dapat dengan mudah dideteksi manusia, sehingga mudah bagi siapapun untuk menghindari risiko terpatuk kobra yang merasa terancam.

"Kobra itu dia display (menunjukkan, red.) kalau terancam, tudungnya dimekarkan, kemudian venom- nya (racun, red.) disemprotkan, itu adalah mekanisme defensif dia yang ditunjukkan, memang agar musuhnya itu mundur," papar Amir.

Untuk itu, Amir berharap masyarakat dapat bersikap lebih bijak ketika menghadapi ancaman kobra, karena pada dasarnya manusia dan kobra terkadang menempati tempat hidup yang sama.

"Kita itu hidup berdampingan dengan ular-ular yang memang secara alami habitatnya ada di situ."

`Buat ular tidak nyaman di rumah kita`

Menurut salah satu komandan regu Dinas Pemadam Kebakaran Kota Depok, Wawan Setiawan, aduan terkait penemuan ular kobra tahun ini meningkat dibandingkan tahun lalu.

"Sekitar ada 30-an (aduan), tiga bulanan ini," kata Wawan saat dihubungi BBC News Indonesia (16/12).

Ia menuturkan bahwa petugas pemadam kebakaran yang terdapat di tiap-tiap kecamatan siap menangani aduan masyarakat 24 jam dalam sehari.

"Dari perumahan-perumahan kemarin pada ngadu . Ada rumah yang kosong-kosong itu, yang udah beberapa tahun enggak dihuni itu jadi sarangnya (ular)," ujar Wawan.

Menurutnya, efektifitas penangkapan ular kobra sendiri kadang terhambat karena ketika regunya tiba di lokasi, ular yang ditemukan warga itu sudah kabur entah ke mana.

"Kadang-kadang pas ada, dia langsung lapor, enggak tahu kemana perginya. Harusnya kan yang satu lapor, yang satu lagi ngelihatin ke mana tuh arahnya ularnya itu," imbuhnya.

Meski demikian, ia mengapresiasi warga yang dengan sigap melaporkan temuan mereka kepada petugas damkar.

Nantinya, ular-ular kobra yang ditangkap para petugas akan diserahkan kepada komunitas-komunitas reptil setempat.

Sementara itu, peneliti reptil LIPI, Amir Hamady, mengimbau warga untuk senantiasa menjaga kebersihan tempat tinggal masing-masing untuk menghindarkan kobra memasuki rumah.

"Buat rumah itu tidak nyaman untuk ular, seperti bau-bauan yang menyengat. Jadi, rumah itu tiap hari dipel dengan wangi-wangian yang sangat menyengat, itu tidak disukai oleh ular, termasuk kapur barus.

"Kedua, tidak menyediakan space-space tumpukan barang-barang yang tidak berguna di dalam maupun di luar rumah, karena itu juga akan menjadi tempat untuk berlindung mereka dan tempat mereka meletakkan telurnya," ujar Amir.

Sementara bagi warga yang sudah kadung tergigit ular kobra, Amir menekankan pentingnya penanganan pertama dan medis yang tepat.

"Tidak boleh lagi luka itu ditoreh, dikeluarkan darahnya, diisap, diikat, itu sudah tidak direkomendasikan lagi oleh WHO."

Amir menyarankan agar masyarakat mencari tahu rumah sakit mana yang memiliki stok antibisa agar penanganan dapat dilakukan secara cepat.