Bagi Nadiem Makarim, Penghapusan Ujian Nasional Baru 'Ronde Pertama'

Mendikbud Nadiem Makarim ingin membebaskan guru dari beban administratif. - PUSPA PERWITASARI/Antarafoto
Sumber :
  • bbc

VIVA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan paket kebijakan yang baru dikeluarkan, termasuk menghapus ujian nasional dan menggantinya dengan asesmen, merupakan "ronde pertama" dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia.

Nadiem menjelaskan, tiga dari empat kebijakan baru tersebut bertujuan memberi keleluasaan kepada guru untuk menilai siswa didiknya.

"Karena tidak mungkin kita bisa meningkatkan kapasitas guru kalau guru masih terbelenggu dengan hal-hal yang sifatnya administratif atau hal-hal yang sebenarnya tidak berdampak riil terhadap pembelajaran siswa," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR di Senayan, Kamis (12/12).

Keputusan Nadiem untuk menghapus ujian nasional mendapat dukungan dari banyak anggota DPR dan pemerhati pendidikan.

Namun sebagian orang khawatir tidak ada lagi standar nasional untuk menilai siswa. Ada juga yang mempertanyakan kesiapan guru dan sekolah untuk membuat sistem penilaian sendiri.

 

Apa saja kebijakannya?

 

Nadiem memaparkan, program yang disebut "Merdeka Belajar" terdiri dari empat kebijakan.

Kebijakan pertama, menghapus Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) menjadi penilaian atau asesmen yang teknisnya diserahkan kepada sekolah. Ujian penentu kelulusan siswa ini bisa dilakukan secara tertulis atau bentuk lain yang dianggap lebih komprehensif, misalnya tugas kelompok. Kebijakan ini mulai berlaku pada 2020.

Kebijakan kedua, menghapus Ujian Nasional (UN) dan menggantinya dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Asesmen ini diberikan pada pertengahan jenjang sekolah, seperti kelas IV, VIII, dan XI sehingga tidak menjadi basis penilaian siswa untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Dalam asesmen ini ada tiga kemampuan yang dinilai yaitu literasi (nalar dan bahasa), numerasi (matematika), dan karakter. Penilaiannya mengacu pada standar internasional, seperti Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS). Kebijakan ini mulai berlaku pada 2021.

Kebijakan ketiga, memberikan kebebasan bagi guru untuk merancang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Rencana tersebut harus memuat tiga komponen inti yaitu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. Sebelumnya, guru harus membuat RPP yang disyaratkan oleh pemerintah.

Kebijakan keempat, melonggarkan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru. Komposisinya adalah jalur zonasi minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, perpindahan maksimal 5 persen, dan jalur prestasi 0-30 persen. Proporsi final dan wilayah zonasi ditentukan oleh pemerintah daerah

Sebelumnya, sekolah negeri harus menerima calon siswa yang tinggal di wilayah yang sama, sebanyak minimal 85 persen dari daya tampung sekolah. Adapun siswa di luar zonasi bisa masuk lewat jalur prestasi atau jalur perpindahan tugas orang tua atau wali, dengan kuota masing-masing maksimal 5 persen.

Nadiem mengatakan, dari keempat program tersebut, penghapusan USBN memberi dampak positif paling besar karena memaksa para guru yang tadinya menerima saja administrasi pendidikan untuk memikirkan bentuk penilaian paling tepat bagi siswanya.

"Dan dengan kemerdekaan itu, rasa tanggung jawab dan ownership -nya meningkat sehingga ia harus mencari cara ia sendiri untuk memberikan penilaian tersebut," ujarnya.

 

Apa tanggapan masyarakat?

 

Dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR, Kamis (12/12), banyak anggota DPR menyatakan pada prinsipnya mereka setuju bila ujian nasional dihapus; namun sebagian menyatakan khawatir para guru tidak siap dengan sistem asesmen.

Politikus PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, berpendapat bahwa beberapa sekolah mungkin belum siap diberi kebebasan untuk membuat sistem penilaian sendiri karena minimnya fasilitas. Hal ini bisa memperparah ketimpangan pendidikan, menurut Andreas.

"Dengan sistem seperti ini, kemerdekaan ini, bisa jadi juga akan membuat semakin jomplang perbedaan antara wilayah yang sudah maju dengan mereka yang punya infrastruktur pendidikan sangat berkekurangan," ujarnya.

Ledia Hanifa dari PKS menekankan bahwa kapasitas guru dalam menyusun penilaian yang valid dan reliabel perlu ditingkatkan. Menurut Ledia, sejak adanya ujian nasional, kemampuan guru untuk menulis soal yang berkualitas mungkin kurang terasah.

"Saya mengusulkan revitalisasi kemampuan guru, peningkatan kapasitas guru, baik yang terkait dengan konten pembelajaran maupun dengan kemampuan untuk menyusun soal," tuturnya.

Sementara Sudewo dari partai Gerindra mengimbau Nadiem agar jangan buru-buru menghapus ujian nasional pada 2021. Menurutnya, menghapus ujian nasional dengan sistem asesmen kompetensi adalah gagasan yang belum teruji.

"Jangan sampai ada suatu gagasan yang seolah-olah ini bagus tapi impelementasinya justru kontra produktif, lebih buruk dari ujian nasional itu sendiri," ujarnya.

Sudewo mengatakan ujian nasional penting untuk mengukur kemampuan seseorang, meski teknis pelaksanaannya perlu dievaluasi. Ia khawatir bila ujian nasional diubah menjadi asesmen kompetensi akan ada unsur subyektivitas dalam menentukan kelulusan siswa dan seleksi untuk sekolah lanjutan.

"Jangan sampai unsur subyektivitas menjadi kental sekali, ada kecurigaan di tengah-tengah masyarakat kepada sekolah, yang akhirnya menimbulkan anarkis," imbuhnya.

Tanggapan yang beragam muncul dari kalangan pemerhati pendidikan. Sebagian mempertanyakan standar apa yang akan diterapkan secara nasional bila ujian nasional dihapus. Sebagian lain menilai kebijakan ini membuat guru lebih leluasa dalam menilai siswa didiknya.

Masayu Yuliana, kepala sekolah SMAN satu Jakarta, berharap pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan menghapus ujian nasional. Menurutnya, UN berguna untuk memetakan mutu pendidikan.

"UN itu kan untuk pemetaan, seberapa mutu pendidikan, bukan hanya di Jakarta tapi juga di pelosok-pelosok, daerah terkecil," katanya.

Namun jika UN benar-benar akan dihapus, sambung Masayu, tetap perlu ada standar nasional untuk menilai mutu pendidikan. Ia menyarankan penghapusan UN dilakukan secara bersyarat, yaitu melalui aturan turunan seperti standarisasi kebijakan pelaksanaan untuk sekolah.

Di sisi lain Lestia Primayanti, Direktur Pendidikan di Sekolah Kembang, Jakarta Selatan menyambut inisiatif dari Mendikbud. Menurutnya, kebijakan ini memungkinkan para guru untuk membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau RPP yang lebih bermakna bagi para siswanya.

Lestia menuturkan bahwa selama ini, RPP yang disyaratkan pemerintah untuk akreditasi sangatlah rumit, dengan 13 kolom yang harus diisi oleh guru. Begitu rumitnya, untuk membuat RPP satu pelajaran, guru harus mengetik 10 sampai 14 lembar.

"Masalahnya, ketika RPP rumit, guru kesulitan, akhirnya sedikit sekali yang bikin RPP. Kalaupun ada, pasti kelasnya keteteran," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Dengan diberikannya kebebasan untuk merancang rencana pembelajaran, Lestia yakin para guru akan mampu membuat asesmen sendiri.

"Kalau RPP yang lama itu dibuat supaya bisa dikontrol oleh birokrasi. Sekarang, mindset-nya adalah RPP itu alat guru buat ngajar."

 

Apa jawaban Nadiem?

 

Menanggapi berbagai kritik, Mendikbud Nadiem Makarim menegaskan bahwa standar nasional untuk kelulusan dalam kurikulum 2013. Namun, cara penilaian dan bentuk tesnya seharusnya menjadi kedaulatan sekolah, tak lagi didikte oleh pemerintah.

"Kenapa, karena hanya sekolahlah yang mengetahui kapabilitas dan level anak. Hanya sekolah yang bisa mengadaptasi suatu pertanyaan dan kompetensi dalam muatan kearifan lokal dengan konteks yang baik," tuturnya di hadapan para anggota DPR.

Adapun perihal sekolah yang belum siap untuk membuat asesmen, Nadiem mengatakan mereka bisa menggunakan soal-soal dari USBN atau UN. Pada akhirnya, memberi kemerdekaan berarti tidak ada paksaan bagi sekolah untuk menggunakan sistem asesmen.

"Tidak ada paksaan. Bagi yang belum siap, bagi yang masih mau belajar menggunakan cara penilaian baru. Silakan. Itu haknya sekolah.

"Tapi bagi sekolah-sekolah bagi guru yang sudah siap, bisa maju duluan. Dan itu tentunya tidak akan kita tinggalkan sendiri, kita akan selalu memberikan contoh-contoh."

Wacana menghapus ujian nasional sudah lama bergulir. Ketika Anies Baswedan menjabat sebagai menteri pendidikan, ia mempertahankan ujian nasional tapi bukan sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa.

Ketika menggantikan Anies sebagai Menteri Pendidikan, Muhadjir Effendy mengkaji rencana mengembalikan posisi ujian nasional sebagai penentu kelulusan siswa. Namun rencana ini tidak sempat terwujud hingga Nadiem menggantikan Muhadjir Oktober lalu.