Turunkan Tarif Pesawat Tanpa Kajian Dinilai Bahayakan Penerbangan

Petugas melakukan pengisian bahan bakar avtur pada salah satu pesawat di Bandara Udara.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Jojon

VIVA – Kementerian Perhubungan menyatakan harga tiket pesawat akan turun sebesar 30 persen untuk penerbangan Senin sampai Kamis. Diskon ini akan berlaku hingga Februari 2020 mendatang.

Kebijakan ini dikritik praktisi dan pengamat transportasi, Bambang Haryo Soekartono. Menurut Bambang, Kemenhub tidak boleh menekan maskapai penerbangan untuk menurunkan tarif pesawat tanpa didasarkan pada analisis yang benar.

"Apabila pemerintah memaksakan tarif pesawat turun sehingga maskapai menjadi rugi, berarti masyarakat dibiarkan menggunakan maskapai yang tidak sehat sehingga membahayakan keselamatan," ujar Bambang dalam keterangan persnya, Selasa, 10 Desember 2019.

Sebagai penyedia sarana transportasi, kata Bambang, maskapai penerbangan bertanggung jawab terhadap keselamatan nyawa dan barang publik yang diangkutnya, sehingga harus mendapatkan tarif yang cukup dan transparan.

Mantan anggota Komisi V DPR RI itu mengingatkan pemerintah khususnya Kemenhub, harus introspeksi diri kenapa tarif pesawat mahal dan maskapai mengalami kerugian. 

Bahkan, menurut Bambang, maskapai sekelas Garuda Indonesia pun pernah mencatat kerugian hingga Rp3 triliun pada 2017 dan Rp1,6 trilun pada 2018. Padahal saat itu tarif pesawat relatif tinggi. "Kita tidak ingin kerugian ini terulang dan tambah besar," tegasnya.

Menurut Bambang, tarif pesawat yang tinggi saat ini bukan sepenuhnya kesalahan maskapai. Justru akibat kebijakan pemerintah terutama Kemenhub dalam mengelola transportasi udara.

Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memastikan bahwa maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia telah berkomitmen menyediakan tiket murah selama mudik hari raya Natal dan liburan Tahun Baru.

Tiket murah tersebut, dikatakannya, akan disediakan oleh Garuda pada Senin hingga Kamis selama periode tersebut. Kisaran harga tiket murah itu juga dikatakan Budi lebih rendah 30 persen dari harga tiket di hari-hari normal.

Selain Garuda, PT Lion Mentari Airlines yang merupakan operator Lion Air, dipastikannya juga akan mulai menyediakan tiket murah selama periode Natal 2019 dan Tahun Baru 2020. Dengan begitu, dia berharap, masyarakat tidak mudik dan menumpuk pada akhir pekan sehingga bisa lebih terdistribusi waktu mudiknya.

"Insya Allah Lion juga. Jadi bagi pemudik jangan mudiknya hanya Minggu. Jadi Senin sampai Kamis harganya lebih murah," kata Budi.

Faktor tarif menjadi mahal

Bambang menganalisis, setidaknya ada lima faktor yang menyebabkan tarif pesawat menjadi mahal. Pertama, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah melonjak lebih dari 60 persen dari sekitar Rp9.000 pada 2012 menjadi Rp14.000 pada 2019.

Depresiasi rupiah berdampak terhadap peningkatan tarif pesawat akibat lonjakan harga komponen pesawat, avtur, MRO, utang, dan biaya lain yang masih banyak mengacu ke dolar AS. Solusinya, menurut Bambang, ekonomi harus diperbaiki supaya rupiah kembali menguat. "Kalau ekonomi masih lesu ya susah," ucapnya.

Kedua, walaupun harga avtur diturunkan tetapi konsumsi bahan bakar itu tetap tinggi, sebab pesawat yang akan mendarat di semua bandara komersial masih harus antre atau holding. Avtur yang dihabiskan untuk holding ini bahkan lebih besar daripada insentif avtur untuk maskapai.

Dia memberikan contoh, penerbangan Jakarta-Yogyakarta yang dulunya hanya butuh waktu 45 menit, sekarang rute ini bisa menghabiskan 1 jam 5 menit, sehingga konsumsi avtur naik hampir 50 persen. 

Kemampuan Airnav, kata Bambang, harus segera ditingkatkan karena produktivitas runway bandara komersial sangat rendah. Bandara Soekarno-Hatta Jakarta hanya bisa melayani tidak lebih dari 30 take off dan landing pesawat per runway per jam. Dia membandingkan Bandara Heattrow Inggris bisa mencapai 100 take off landing per jam per runway.

Bukan cuma itu, waktu tunggu pesawat masih terlalu lama sehingga maskapai harus membayar banyak biaya tambahan. "Penumpang seringkali menunggu lama di dalam pesawat sebelum terbang. Penyelenggara trafik angkutan udara sangat lamban, avtur menjadi boros dan produktivitas maskapai rendah," tuturnya.

Ketiga, tiket pesawat mahal karena pemerintah tidak menyiapkan bandara khusus untuk maskapai low cost (LCC) sehingga terjadi pemborosan sangat besar. LCC wajib menggunakan terminal, apron dan runway untuk maskapai full service. 

"Masyarakat dirugikan karena harus bayar pajak bandara dan semua fasilitas pembelian selama di terminal dengan harga komersial untuk maskapai full service," kata Bambang.

Kondisi ini juga merugikan maskapai full service karena kesulitan pelayanan akibat banyaknya pesawat LCC yang mendarat di terminal yang sama. Campur aduk antara LCC dan full service ini membuat bandara padat sehingga tarif menjadi tidak menentu.

Keempat, tarif tinggi karena masyarakat sulit mendapatkan tempat duduk karena kapasitas pesawat yang tersedia terbatas di rute-rute gemuk, terutama pada saat musim padat penumpang (peak season).

Kondisi ini disebabkan semua maskapai menggunakan pesawat kecil (narrow body) di rute gemuk tersebut. "Seharusnya rute gemuk seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makassar, saat peak season menggunakan pesawat wide body sehingga ada keseimbangan antara supply dan demand," ungkapnya.

Yang mengherankan, regulasi ini diterapkan di kapal ferry tetapi dengan tarif sangat murah. Bahkan, saat musim sepi penumpang pun penyeberangan diwajibkan operasikan kapal di atas 5.000 GT.

Faktor kelima, lanjut Bambang Haryo, birokrasi dan perizinan cenderung highly regulated sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi. "Jadi tidak heran, walaupun Airasia menjual tiket murah di Indonesia tapi bisa untung di atas Rp1,5 triliun tiap tahun, karena lebih banyak beroperasi di luar negeri yang tidak terjadi ekonomi biaya tinggi," ujarnya.