Komunitas Sekolah Rumah Tolak Hasil Riset terkait Radikalisme
- bbc
Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI) menolak hasil riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang menemukan bahwa "anak yang mengikuti sekolah rumah rentan terpapar radikalisme karena proses enkapsulasi yang menciptakan ruang pengucilan dan menghambat mereka berinteraksi dengan masyarakat".
Perkumpulan yang menaungi komunitas sekolah rumah tersebut secara khusus menggelar jumpa pers di Gedung YLBHI, Jakarta, Selasa (03/12) untuk menanggapi hasil penelitian itu.
Riset PPIM UIN yang berjudul "Radikalisme dan Homeschooling: Menakar ketahanan dan kerentanan" mengambil puluhan sekolah rumah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Solo, Surabaya, Makassar, dan Padang.
Hasilnya, ada beberapa sekolah rumah yang terindikasi "terpapar radikalisme yang berbasis ajaran Islam eksklusif".
Koordinator Nasional PHI Ellen Nugroho menolak jika jalur pendidikan sekolah rumah menyuburkan radikalisme karena paparan radikalisme juga terjadi di sekolah formal dan nonformal.
"Semua jalur pendidikan bisa dimanfaatkan disalahgunakan untuk penyebaran paham radikalisme. Bedanya adalah jalur pendidikan formal ini, pemerintah sangat memperhatikan, pemerintah buat kebijakan untuk menjaga jangan sampai ada paparan radikalisme di sekolah, begitu juga dengan nonformal. Keduanya ada juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis)," katanya.
Sementara itu, kata Ellen, untuk jalur informal terjadi kekosongan hukum karena pengaturan hanya berhenti di Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 129 tahun 2014 tentang sekolah rumah.
Sebelumnya, Kepala Seksi Pendidikan Kesetaraan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Subi Sudarto mengatakan terdapat tiga kategori sekolah rumah, yaitu sekolah rumah tunggal, sekolah rumah majemuk dan komunitas.
Subi mengakui pendataan sekolah rumah, khususnya tunggal dan majemuk, sukar dilakukan pendataan sehingga sulit melakukan pemantauan. Salah satunya karena sekolah rumah tersebut cenderung tidak mendaftarkan diri ke Dinas Pendidikan di daerah.
Pancasila, toleransi
Peneliti senior PPIM UIN Didin Syafruddin menjelaskan, Islam eksklusif sebagaimana dimaksud dalam hasil penelitian lembaganya adalah ajaran yang hanya mau bergaul dengan kelompoknya saja, menekankan pada pemahamannya sendiri dan memandang pemahaman Islam lain salah.
Lalu, menurut Didin, mereka menolak mengajarkan nilai-nilai Pancasila, toleransi, dan keberagamaan.
Dalam konteks hasil penelilitian lembaganya, ia menyarankan agar anak-anak tetap berinteraksi dengan masyarakat yang lebih luas.
"Supaya dia terbiasa dan siap hidup dalam kemajemukan, harus ada mekanisme apakah itu dikoordinasi misalnya oleh PHI atau Asa Pena (asosiasi sekolah rumah) tapi harus ada momen di mana siswa ini tidak menyendiri dalam satu kelompok yang makin lama makin jauh dengan kelompok yang makin besar yang menurut teori disebut proses enkapsulasi, dan akhirnya terpisah dari entitas masyarakat yang lebih luas."
Naning Sriwulan, seorang ibu dari Bogor yang mempunyai dua anak, menepis riset PPIM UIN. Menurut Naning, radikalisme disebabkan kesalahan pemahaman agama bukan karena sistem sekolah rumah.
"Radikalisme itu karena salah pemahaman. Saya juga Salafi, pemahaman Salafi itu justru melarang demo karena cenderung banyak mudaratnya, seperti kerusuhan, ditunggangi, makanya ulama kita melarang demo, dan wajib taat kepada imam, dalam arti ini presiden. Jadi apa pun itu yang menyangkut kewajiban kita sebagai warga negara, kita wajib taat," ujarnya.
Naning menjelaskan, walaupun menerapkan sistem sekolah rumah, ia tetap mengajarkan anaknya tentang Pancasila, toleransi, hormat kepada pemimpin, dan keberagamaan.
"Saya mengajarkan Pancasila lewat buku-buku, lalu mengikuti kegiatan pramuka di komunitas. Kita ketemu dua minggu sekali, dan melakukan upacara bendera, Dasa Darma Pramuka, dan Pancasila," katanya.
Peneliti senior PPIM UIN Didin Syafruddin menegaskan bahwa penelitian PPIM UIN itu tidak bermaksud menggeneralisasi sekolah rumah menyuburkan radikalisme karena metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif.
Sebaliknya, menurut Didin, penelitian itu bertujuan untuk membuka mata bahwa ada beberapa sekolah rumah yang bersifat eksklusif, menolak nilai Pancasila, dan terpapar radikialisme.
Mengapa memilih sekolah rumah?
Naning Sriwulan memutuskan untuk tidak menyekolahkan kedua anaknya di sekolah formal.
"Karena idealisme, merasa sistem pendidikan di Indonesia kurang sreg sama kita dengan standar kita yang ingin sekolah bagus tapi murah.
"Kita ingin sekolah yang anak-anaknya bukan hanya pintar di kertas, tapi mereka juga bisa mengaplikasikan ilmu didapat juga di kehidupan sehari-hari," kata Naning kepada BBC News Indonesia di Jakarta, Selasa (3/12).
Ibu yang tergabung dalam komunitas sekolah rumah Silih Asah di Bogor itu menjelaskan, anak tertuanya kini menunjukan sikap yang dewasa dari teman seusianya.
"Mereka kami libatkan secara riil di dunia nyata. Kita pernah dari Bogor ke Bali pakai mobil dan menyelam di sana. Kami tidak bisa pulang karena Gunung Agung meletus, dia bisa mengerti dan sabar atas kondisi itu," kata Naning yang suaminya berprofesi sebagai penyelam.
Orang tua lainnya, Johnatan mengungkapkan setiap anak memiliki kecerdasan yang tidak hanya dibatasi oleh ukuran linguistik dan logis matematis yang diajarkan oleh sekolah formal dan nonformal. Alasan ia menggunakan sekolah rumah adalah untuk membangkitkan bakat anaknya yang tidak diakomodasi oleh sekolah.
"Misalnya intrapersonal, bagaimana mengelola emosi, kalau punya konflik sama temannya. Banyak kita lihat orang dewasa dapat masalah sedikit walaupun cerdas di sekolah langsung anjlok," katanya.
Johnatan melanjutkan, ada juga kecerdasan lain seperti spasial, kinetik, naturalis, musikal, dan interpersonal yang tidak terfasilitasi oleh sekolah.
"Anak saya berbakat di linguistik, sejalan dengan sekolah sebenarnya, cuma saya tidak bisa membayangkan kecerdasan lingsutik dia dijalankan dengan sistem hapalan ketimbang karena minat baca dan keinginan dia sendiri," ujarnya.
Dalam sistem pendidikan di Indonesia, sekolah rumah merupakan jalur pendidikan informal yang keberadaannya diatur dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan dari apa yang disebut "Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri" tersebut.
Keterlibatan pemerintah diperlukan dalam tahap standar penilaian apabila akan disetarakan dengan pendidikan jalur formal dan nonformal.