Peraturan Menteri Agama soal Majelis Taklim Menjadi Polemik
- bbc
VIVA – Pengelola-pengelola majelis taklim tidak menggubris peraturan baru yang mengharuskan majelis taklim terdaftar pada kantor Kementerian Agama dan mendapatkan sertifikat.
Tatin Tansah Prihatin, pengelola sebuah majelis taklim khusus ibu-ibu di Rancaekek, Kabupaten Bandung mengatakan tidak tertarik untuk melakukan sertifikasi. Ia menilai aturan seperti itu tidak diperlukan karena selama ini majelis taklim terbentuk secara organik di masyarakat.
"Ibu-ibu kan bikin majelis taklim itu mengikat hati, dari hati ke hati. Untuk ajang silaturahmi, untuk ajang silatu-ukhuwah (menjalin tali persaudaraan), untuk ajang thalabul `ilmi (mencari ilmu)," ujarnya kepada BBC News Indonesia.
"Kalau harus pakai sertifikasi jadinya seperti harus legal, berarti pengajian yang tidak pakai sertifikasi seperti tidak legal."
Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 29 tahun 2019 mendefinisikan majelis taklim sebagai lembaga atau kelompok masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan Islam secara nonformal.
Beleid yang diundangkan pada tanggal 13 November itu menyatakan majelis taklim harus terdaftar di kantor Kementerian Agama.
Menurut peraturan tersebut, pengurus majelis taklim yang hendak mendaftar harus mengajukan permohonan tertulis kepada kepala kantor Kementerian Agama atau melalui kantor urusan agama di kecamatan.
Syarat pendaftaran yaitu memiliki kepengurusan, memiliki domisili, dan memiliki paling sedikit 15 anggota jemaah. Setelah terdaftar, majelis taklim akan mendapatkan sertifikat yang berlaku 5 tahun dan dapat diperpanjang.
Wakil Menteri Agama RI, Zainut Tauhid Sa`idi, dalam pernyataan tertulis, mengatakan pengaturan majelis taklim bermaksud memudahkan pemerintah dalam melakukan "koordinasi dan pembinaan".
Pembinaan yang dimaksudkan mencakup penyuluhan dan pembekalan materi dakwah, penguatan manajemen dan organisasi, peningkatan kompetensi pengurus, serta pemberdayaan jamaah.
Peraturan tersebut juga bisa dijadikan payung hukum pemberian bantuan dana, baik dari APBN maupun APBD, ia menambahkan.
Wakil Presiden Ma`ruf Amin mengatakan, pendataan majelis taklim diperlukan untuk mencegah radikalisme.
"Untuk data, saya kira perlu. Supaya nanti jangan sampai ada majelis yang menjadi sumber persoalan atau mengembangkan radikalisme. Kan jadi masalah, sehingga penting," kata Ma`ruf kepada wartawan, Senin (02/12).
Dianggap tidak perlu
Namun Tatin merasa keharusan untuk mendaftar hanya akan merepotkan, karena kebanyakan majelis taklim di daerah berjalan secara independen.
Ia mencontohkan, majelis taklim Qurrataa`yun yang telah dikelolanya selama 23 tahun selama ini mengumpulkan dana dari hasil penjualan barang-barang seperti buku, baju, dan kerudung, serta dari infaq para peserta.
Dana tersebut digunakan untuk berbagai keperluan majelis taklim, termasuk membayar akomodasi ustadz atau pengajar.
Pembekalan materi dakwah juga tidak perlu, imbuhnya, sebab pada akhirnya pedoman paling utama bagi umat Islam adalah Al-Qur`an dan sunah Nabi Muhammad.
"Apa-apa yang disampaikan oleh para asatidz (bentuk jamak dari ustadz -red.) itu berpedoman kepada Al-Qur`an dan As-sunnah. Mau apa lagi yang dibuat?"
Tatin menjelaskan, majelis taklimnya mengadakan pertemuan rutin sebanyak tiga kali seminggu. Dalam pertemuan tersebut, materi yang dibahas mencakup ajaran-ajaran agama - seperti tafsir Al-Qur`an dan hadits - yang bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ia mengatakan tidak pernah membahas materi yang mengajarkan anti-NKRI atau anti-Pancasila.
"Selama ini majelis taklim-majelis taklim ibu-ibu mah , apalagi majelis taklim kami, tidak pernah ada yang menyebutkan bahwa pemerintahan adalah thaghut yang harus diperangi. Enggak ada," tuturnya.
Sikap senada diungkapkan Fauzi Syukron, sekretaris umum Majelis Rasulullah, salah satu majelis taklim terbesar di Jakarta.
Ia mengakui ada kekhawatiran bahwa, atas nama "pembinaan", pemerintah akan mengawasi dan mengatur materi majelis taklim dengan dalih mencegah penyebaran radikalisme dan terorisme.
"Jangan sampai sertifikasi majelis taklim ini didasari pada kecurigaan. Karena kalau didasari kecurigaan, masyarakat akan antipati," ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Menurut Fauzi, Kemenag seyogianya lebih proaktif dalam mencari tahu kebutuhan majelis taklim-majelis taklim di daerah tanpa harus melalui sertifikasi.
"Seharusnya Kemenag mewadahi tanpa harus ada embel-embel aturan," imbuhnya.
`Bukan intervensi negara`
Wakil menteri agama, Zainut Tauhid Sa`idi, membantah bahwa Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang majelis taklim adalah bentuk intervensi negara.
Sebaliknya, beleid tersebut "justru untuk menguatkan peran, fungsi dan keberadaan majelis taklim."
Zainut menjelaskan, PMA juga bisa menjadi panduan masyarakat saat akan membentuk majelis taklim.
"Misalnya, salah satu persyaratan untuk mendirikan majelis taklim adalah jamaah. Dalam regulasi ini diatur jumlahnya minimal 15 orang. Hal ini supaya majelis taklim yang dibentuk itu benar-benar ada jamaahnya, semakin banyak jemaahnya tentu semakin baik," katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima BBC News Indonesia.
Ia juga menegaskan bahwa meskipun pasal 6 ayat (1) dalam PMA menggunakan kata "harus", tidak ada sanksi bagi majelis taklim yang tidak mendaftar.
"Dalam pasal 6, sengaja kita gunakan diksi "harus", bukan "wajib" karena kata harus sifatnya lebih ke administratif, sedangkan kalau "wajib" berdampak sanksi."Jadi tidak ada sanksi bagi majelis taklim yang tidak mau mendaftar."
Bagaimanapun, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdatul Ulama, Helmy Faishal Zaini, menilai pasal tersebut berpotensi menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Meskipun sertifikasi tidak wajib, menurut Helmy, dalam praktiknya bisa timbul diskriminasi terhadap majelis taklim yang tidak memiliki sertifikat.
"Kalau nanti disertifikasi, kan akan terjadi confuse di masyarakat. Pengertian di bawah itu kan akan confuse ; `Ah Anda ini organisasinya ilegal karena belum terdaftar`, dan seterusnya," ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Selain itu, Helmy mengatakan upaya memformalkan majelis taklim bakal merusak suasana yang sudah hidup di masyarakat.
Menurutnya, majelis taklim adalah bagian dari cara masyarakat berhimpun untuk meneguhkan tali silaturahim yang dikemas dengan kegiatan keagamaan.
Adapun bagi organisasi yang ingin bermitra dengan pemerintah, sudah ada undang-undang keormasan yang mengatur hal tersebut, imbuhnya.
Peraturan Menag tentang majelis taklim juga mendapat kritik dari Wakil Ketua Komisi Delapan DPR, Ace Hasan Syadzily, yang menyebutnya "berlebihan".
Ace mengatakan Komisi Delapan akan memanggil Menteri Agama Fachrul Razi untuk meminta klarifikasi.
"Nanti pada saatnya kita akan mengklarifikasi kepada Menteri Agama, karena kan kalau kita lihat di media alasan Menag katanya untuk memudahkan misalnya pembinaan dan pemberian bantuan. Pertanyaannya, apakah selama ini dengan atau tanpa bantuan pemerintah majelis taklim mati? Kan nggak, justru tetap aja tumbuh," kata Ace seperti dilansir Detikcom .