Pengidap HIV/AIDS di Indonesia Rentan Drop Out Minum Obat

Mereka yang hidup dengan HIV/AIDS di Indonesia mengeluhkan Obat ARV yang selalu berganti jenisnya dan mendekati masa kadaluarsa.
Sumber :
  • abc

Di tengah klaim pemerintah kalau penanganan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat komprehensif, sejumlah orang yang hidup dengan HIV dan pegiat mengeluhkan ketersediaan obat dan pendampingan pengobatan antiretroviral yang lemah.

Surip Adiyanto sudah mengkonsumsi obat antiretroviral selama hampir 10 tahun dan menurutnya selama ini pelayanan dan akses kesehatan untuk para penyandang HIV/AIDS sudah sangat maju dan signifikan peningkatannya.

"Aku dari 2010 minum obat ARV, selama 9 tahun aku ambil obat di RSCM, karena kondisi aku agak spesifik jadi obat untuk aku agak unik jadi hanya ada di RSCM."

"Tapi setahun terakhir aku sudah bisa ambil obat di puskesmas dekat rumah." kata pria yang akrab disapa Yanto itu kepada ABC beberapa waktu lalu.

"Jadi menurut aku dari segi pelayanan jauh meningkat, semua fasilitas kesehatan udah ramah penderita HIV dan ramah juga memberikan pendampingan bagi kita sesama komunitas." tambahnya.

Meski demikian, selain mengapresiasi pelayanan yang semakin membaik, Yanto yang juga bekerja sebagai aktivis pendampingan HIV/AIDS di komunitas gay dan waria ini mengungkapkan sejumlah keluhan dari rekan-rekannya sesama penderita HIV/AIDS.

Salah satunya adalah meski akses terhadap obat antiretroviral semakin mudah, namun jenis obat yang diberikan selalu berubah-ubah.

"Obat sih emang ada terus, tapi jenisnya itu selalu ganti-ganti. Teman-teman yang biasa dapat obat ARV single dose sekarang dapat obat yang pecahan."

" Emang sih kandungannya sama aja, tapi cara minumnya kan jadi lebih ribet. Belum lagi efek sampingnya. Ini selalu begitu sejak saya minum obat, setidaknya setiap 6 bulan sekali." ungkap Yanto.

Surip Adiyanto, menggunakan obat antiretroviral selama 10 tahun terakhir dan menjadi aktivis kepatuhan minum obat ARV di komunitasnya di Jakarta.

Supplied

Obat pecahan adalah sebutan untuk obat dengan dosis yang dipecah untuk dikonsumsi beberapa kali sehari.

Menurutnya berganti-gantinya obat ini sangat membuat tidak nyaman bagi teman-temannya yang harus mengkonsumsi obat antiretroviral seumur hidup karena memberi efek samping yang berbeda bagi setiap individu.

"Obat yang single dosis itu kan luar biasa efeknya ada yang halusinasi dan mual, nah pas badan udah mulai adaptasi, tiba-tiba obatnya diganti."

"Jadi harus penyesuaian lagi, padahal obat yang pecahan macam-macam juga efeknya yang warna putih itu ke ruam kulit, yang lain ada yang ke pusat syaraf di kepala, ada yang ke ginjal, ada yang ke hati jadi mual terus, nah ini selalu terjadi minimal setiap 6 bulan sekali." tuturnya.

Yanto juga menuturkan obat pecahan yang mereka dapatkan sudah mendekati masa kadaluarsa.

"Obat yang pecahan itu memang mendekati kadaluarsa, mungkin dari pusatnya obat itu sengaja di keluarkan dulu, baru nanti kalau sudah habis stoknya akan kembali ke obat yang single dosis."

"Kita sih emang gak bisa protes, karena daripada gak minum obat ya terima aja. Tapi kita berharap bisa lebih baik, gak ganti-ganti obat terus." tuturnya.

Pendampingan pengobatan ARV

Menyikapi hal ini Suksma Ratri seorang aktivis HIV/AIDS menilai pentingnya kegiatan pendampingan bagi pasien HIV/AIDS.

Sayangnya menurut Suksma belakangan upaya ini tidak lagi optimal dilakukan.

Berdasarkan pengalamannya memberikan konseling baik secara langsung maupun online kepada sesame rekan yang hidup dengan HIV, menurutnya belakangan angka rata-rata drop out klien obat HIV/AIDS saat ini cukup mengkhawatirkan.

"Karena orang males atau bosen minum obat padahal ini kan obat diminum seumur hidup dan masa tersulit itu ketika harus menjalani efek samping itu. "

"Makanya penting sekali pendampingan dan konseling kepatuhan minum obat." perempuan yang sering disapa Ima ini menjelaskan.

Sebagai ODH (Orang Dengan HIV), Suksma sudah menjalani pengobatan ARV selama 12 tahun.

Tak heran jika dia sering menjadi tempat berkonsultasi orang dari berbagai daerah terkait penggunaan obat antiretroviral.

“Sekarang aku intensif mendampingi 12 orang dari jarak jauh. Mereka memilih konsultasi ke aku karena mereka tidak mendapat penjelasan di tempatnya sendiri."

"Aku tanya mereka waktu pertama kali minum obat dikasih info apa saja? Mereka bilang hanya dapat penjelasan ala apotik, ini obatnya diminum 1x sehari malam hari gak boleh telat sama efek sampingnya mual dan pusing."

" Padahal konseling kepatuhan minum obat dan mempersiapkan orang ikut terapi ARV tidak sesederhana itu."

Ima mengatakan berdasarkan pengalamannya sebelum menjalani terapi ARV seeorang harus diberi pemahaman yang mendalam mengenai terapi pengobatan yang akan dilakukannya mengingat mereka harus mengkonsumsi obat itu seumur hidup mereka.

“Dengan Program Test and Treat (TnT) yang dilakukan pemerintah saat ini, akhirnya sekarang orang kalau sudah tes dan kedapatan HIV akan langsung mendapat akses ke obat ARV.

"Ini memang baik secara kuantitas, tapi kualitas kepatuhan minum obatnya kurang."

"Pasien akan kocar kacir ketika masuk fase efek samping, karena mereka gak paham kandungan obatnya, efek sampingnya. Kalau dulu saya dijelaskan.”

Menyikapi hal ini Suksma berharap program TnT pemerintah saat ini akan ditingkatkan di sector pendampingan.

Koalisi Aids Indonesia mendesak pemerintah segera melakukan pengadaan stok sejumlah obat ARV yang semakin menipis stoknya.

supplied

Obat ARV saat ini menjadi satu-satunya metode terapi pengobatan yang telah terbukti berhasil membantu mempertahankan kondisi orang dengan HIV.

Lewat pengobatan ini mereka mampu tetap berada dalam kondisi sehat seperti pada orang pada umumnya dan mencegah timbulnya fase AIDS.

Diperkirakan saat ini ada lebih dari 48.981 orang pasien pengobatan ARV.

Keunggulannya ini menjadikan pengobatan ARV masih menjadi andalan strategi utama untuk mencegah epidemi HIV di Indonesia.

Namun menurut catatan Koalisi Aids Indonesia, stok ARV di Indonesia semakin menipis.

Dari 15 jenis obat yang disediakan 6 diantaranya berada dalam posisi merah alias stoknya hanya cukup untuk stok pengobatan 1-2 bulan saja.

“Idealnya stok kecukupan ARV dikatakan dalam batas aman bisa dapat menyuplai kebutuhan selama 9 bulan."

"Ini dikarenakan beberapa obat ARV ini masih di import dan oleh karenanya memerlukan waktu yang cukup guna bisa didistribusikan kepada pasien.” kata Aditya Wardhana, Direktur Koalisi Aids Indonesia.

Koalisi AIDS Indonesia mendesak pemerintah segera melakukan pengadaan obat ARV.

"Dapat dipastikan, bisa pengadaan obat tidak segera dilakukan secepatnya, mulai dari bulan Januari 2020 ribuan ODHA akan mengalami putus obat."

"Putus pengobatan ARV bagi ODHA akan memperburuk tingkat kesehatannya bahkan bisa menemui kematian dan juga akhirnya bila ODHA tersebut melakukan kegiatan beresiko maka dia akan menularkan HIV kepada orang lain." tambahnya.

Hingga Oktober 2019, Koalisi Aids Indonesia mencatat di Indonesia ada sekitar 640.443 ODHA. Dan ODha yang mengetahui statusnya sebagai ODHA baru 368.239 ODHA dan hanya 124.813 orang yang masih dalam pengobatan.