Toilet dan Kantin Jadi Lokasi Tersering Kekerasan Anak di Sekolah

Ilustrasi kegiatan belajar ruang kelas.
Sumber :
  • abc

Toilet dan kantin disebut-sebut sebagai area yang paling sering menjadi lokasi terjadinya kekerasan anak di sekolah Indonesia. Bahkan, dalam sebuah studi terbaru, hanya ada kurang dari 20 persen siswa sekolah di enam kota Indonesia yang merasa aman di sekolah.

Syihan Rama (21) masih ingat betul perundungan yang menimpanya belasan tahun lalu. Peristiwa kekerasan itu mulai terjadi saat ia duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar.

Kala itu, pemuda yang tinggal di Tangerang Selatan ini keluar kelas dan menuju toilet sekolah namun yang terjadi ia malah diburu beberapa kakak kelasnya, diancam pemukulan jika tidak menurunkan celana sekolahnya.

Selama dua minggu, ia harus menghadapi "teror" perundungan itu.

"Sebenarnya ada beberapa kejadian. Ada yang lebih heboh ketimbang plorotin (menurunkan) celana, seingatku."

"Waktu itu aku cekcok sama teman sesama kelas 3 karena dia tiba-tiba nyekek (mencekik) aku. Ya aku dorong. Eh ternyata kakaknya kelas 6."

"Aku diuber-uber (dikejar-kejar) deh di kantin sama anak kelas 6. Ada dua kelas kali nyariin aku," ceritanya kepada ABC.

Akibat kejadian itu, Syihan sempat malas ke kantin sekolah. Ke toilet pun, ia memilih untuk mengajak beberapa temannya.

Meski sempat merasa ketakutan, Syihan merasa beruntung ia bisa membela dirinya.

"Sempat bilang ke mama, tapi kata mama cuma "ya sudah…di kehidupan sekolah, kuliah, atau kerja pasti ada bully (perundungan). Kamu cowok harus bisa handle (atasi)."

"Takut sih pasti, takut banget malah. Pada akhirnya ya aku melawan balik."

"Sakit-sakit sedikit tapi bangga aja udah bisa stand-up (membela diri)," tuturnya.

Sebelum mengetahui perundungan yang menimpa putranya, Nadia Magdalena -ibunda Syihan -sudah mencium gelagat aneh saat, selama beberapa waktu, sang anak terlihat gelisah.

"Saya curiga waktu itu Syihan diantar sekolah, kok setiap sudah mau dekat sekolah dia gelisah terus nangis."

"Pada suatu pagi, saya tanya Syihan, saya dengarkan dia, parkirin mobil di pinggir jalan," beber Nadia kepada ABC.

Mendengar kisah anaknya, saat itu juga ia memberi pengarahan.

"Kalau kamu dikejar sama kakak kelas, kamu cari orang dewasa dan teriak kenceng-kenceng minta tolong, gitu saya bilang."

"Sampai sekarang saya minta anak-anak jangan jahat sama orang lain, apapun itu bentuknya."

"Karena kita enggak tahu orang itu punya masalah apa," ujar Nadia seraya keheranan mengingat sekolah dasar tempat Syihan menerima perundungan itu berbasis agama.

Belasan tahun berlalu, kejadian yang menimpa Syihan ternyata masih relevan hingga saat ini.

Berdasarkan studi yang digagas Indonesia Joining Forces (IJF) -koalisi 6 LSM yang fokus pada hak anak -di tahun 2019, hanya 16,8% siswa yang menyatakan bahwa mereka merasa aman di sekolah.

Indonesia Joining Forces (IJF) untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak ungkap data kekerasan di sekolah.

ABC; Nurina Savitri

Sebagian besar siswa di 6 kota Indonesia, yang disurvei, tidak merasa aman bahkan merasa sangat tidak aman ketika berada di sekolah.

"Sejak bulan Juli sampai September (2019), kami berupaya menggali informasi yang lebih detil di beberapa wilayah."

"Jadi kami melakukan studi awal yang melibatkan 642 anak kelas 7 sampai 9, atau dari kelas 1 sampai 3 SMP, 135 guru dan 12 kepala sekolah di 12 sekolah menengah pertama di enam kabupaten kota," jelas Laura Hukom, manajer proyek IJF, dalam konferensi pers di Jakarta awal pekan ini.

Lokasi di sekolah yang tidak aman menurut anak-anak di studi itu adalah toilet (53,58 persen) dan kantin (15,58 persen).

"Yang menarik, hanya 10,28 persen anak melapor ke sekolah jika mengalami kekerasan. Padahal mereka tahu program yang ada di sekolah, baik program pencegahan maupun penanganan kekerasan di sekolah tapi hanya segitu yang melapor," sebut Laura.

"Dari studi ini, anak-anak kita menyampaikan bahwa sekolah belum sepenuhnya bebas dari kekerasan terhadap anak," imbuhnya.

Studi IJF tersebut dilakukan di Medan -Sumatera Utara, Lampung, Cianjur -Jawa Barat, Jakarta Timur, Sikka -Nusa Tenggara Timur dan Lembata -Nusa Tenggara Timur.

Lebih lanjut, IJF mengatakan jika kelompok mereka berusaha untuk menyampaikan kepada publik bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya berhenti di kekerasan fisik dan verbal.

"Bagi kami, definisinya jauh lebih lebar dari itu, bahkan juga meliput hal-hal seperti pengabaian terhadap anak. Perlakuan yang mengabaikan hak anak."

"Sebagai contoh yang sangat gampang, misalnya ada bayi yang sudah waktunya disusui, tapi si ibu sibuk masak atau tugas lain sehingga balita ini diabaikan haknya untuk mendapat air susu ibu."

"Menurut kami itu sudah bentuk kekerasan," kata Sellina Patta Sumbung, CEO Save the Chidren, salah satu anggota IJF.

Kelompok ini juga memaparkan, dalam menangani kekerasan terhadap anak di sekolah, mereka berusaha melibatkan semua pihak, tak hanya orang-orang dewasa.

Hal ini dilakukan untuk menggali sisi lain kekerasan yang selama ini mungkin belum terdeteksi.

"Memanggil anak dengan sebutan cantik ternyata mereka itu enggak suka. Mereka akan lebih suka dipanggil nama."

"Makanya dalam mengatasi kekerasan terhadap anak, anak sendiri harus dilibatkan. Meminta mereka mendefinisikan sendiri kekerasan menurut mereka itu seperti apa," ujar Yunus Ismail dari SOS Children Village, LSM lainnya dalam IJF, di konferensi pers bersama mereka hari Senin (25/11/2019).

Komunikasi yang kurang sehat

Psikolog sosial klinis dari Universitas Airlangga -Surabaya, Ike Herdiana, mengatakan jika seorang anak menjadi pelaku bullying atau perundungan, sejatinya ada beberapa faktor yang melatar belakangi.

Yang paling utama adalah tidak adanya keterbukaan dalam keluarga dan pola komunikasi yang kurang sehat di dalam keluarga tersebut.

"Ortu (orang tua) yang temperamental kepada anak, anak yang kurang mendapatkan perhatian atau diacuhkan oleh orang tuanya."

"Kondisi-kondisi tersebut yang membuat anak tidak bisa mengendalikan dirinya di lingkungan sosial, sehingga bisa jadi pelaku bullying kepada anak lain," ujarnya ketika dihubungi ABC.

Faktor lainnya adalah kepirbadian anak itu sendiri dan lingkungan sosial yang mendukung terjadinya perundungan.

Menurut Ike, sekolah harus tegas terhadap jenis kekerasan perundungan.

"Kalau tidak, mata rantainya tidak akan terputus dan akan terus terjadi. Bahkan mungkin tidak hanya antar siswa, namun juga siswa yang mem-bully guru atau sebaliknya."

Peran guru, sebut Ike, menjadi sangat penting, terutama untuk mendeteksi potensi murid yang menjadi korban atau pelaku.

"Sebagai langkah preventif, ketika guru melihat potensi tersebut, harus segera diambil tindakan," katanya.