Pemerintah Diminta Jangan Berlebihan Bicara Radikalisme
- VIVA/Adinda Purnama Rachmani
VIVAnews - Ekonom senior, Rizal Ramli, mengingatkan pemerintah untuk lebih fokus pada persoalan ekonomi dan menghindari terlampau banyak membicarakan isu-isu radikalisme, yang membuat bangsa ini terlihat mundur ke sekian puluh tahun silam. Hal itu justru membuat para investor merasa ragu dengan nasib investasi mereka.
"Terlampau sering membicarakan radikalisme, baik pemerintah maupun publik, hanya akan membuat kita kehilangan optimisme membangun ekonomi," ujar Rizal kepada wartawan Kamis, 7 November 2019.
Rizal mengakui persoalan radikalisme memang hal yang penting untuk diperhatikan. Namun, itu cukup dilakukan dengan langkah-langkah yang tepat. Tetapi, dia mengingatkan pemerintah jangan mengabaikan permasalahan ekonomi yang belakangan ini memang kurang menguntungkan dan meleset dari target.
"Pemerintah, misalnya, harus menyusun langkah yang berani dan tepat untuk mengatasi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang kian melebar. Dan solusinya tidak selalu dengan berutang," kata Rizal.
Sebab, menurut Rizal, solusi dengan berutang itu akan membebani APBN berikutnya dan generasi yang akan datang. "Cobalah serius menguber wajib pajak besar dan perusahaan asing, agar penerimaan pajak ini meningkat dan mencapai target," saran mantan Menteri Koordinator Perekonomian era Abdurahman Wahid alias Gus Dur itu.
Selain soal defisit, hal yang harusnya jadi perhatian pemerintah dan publik adalah pertumbuhan ekonomi yang meleset dari target. Sejumlah lembaga sudah memprediksi melesetnya pertumbuhan ekonomi itu dan sudah pula dipublikasikan media massa.
Bank Indonesia, beberapa hari lalu memperkirakan ekonomi Indonesia tahun 2019, hanya tumbuh 5,05 persen. Perkiraan itu di bawah yang ditargetkan APBN 2019 yang dipatok pada 5,1 persen.
Pada September lalu, Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2020 bisa di bawah 5 persen. Sejumlah ekonom juga memperkirakan ekonomi Indonesia akan melambat.
Jauh sebelum sejumlah lembaga itu mempublikasikan proyeksi mereka, Rizal sudah mengingatkan pertumbuhan ekonomi yang menurun itu. Pada 12 Agustus 2019, pada acara bertajuk "Ngopi Bareng" di kantornya di kawasan Tebet Jakarta Selatan, Rizal memproyeksi pertumbuhan ekonomi akan turun di bawah 5 persen.
Sayangnya, kata Rizal dalam acara itu, pemerintah melakukan langkah penghematan yang justru merepotkan rakyat lapisan golongan bawah.
Seharusnya, dalam keadaan yang melambat, pemerintah mendorong roda ekonomi dengan memberi stimulus agar bisa bergerak, sesudah itu tinggal mengejar pajak. Solusi atasi krisis dengan berhemat itu, lanjut Rizal, memang menekan pengeluaran, tapi ini cara yang sudah konvensional dan berulang-ulang.
"Jika cara yang sama dipakai untuk memecahkan masalah, jangan berharap hasil akan yang berbeda. Karena kita sudah tahu hasilnya," kata Rizal.
Memang harus diakui, lanjut Rizal, salah satu sebab kesulitan Indonesia adalah perang dagang antara Amerika Serikat melawan China. Tapi perang dagang ini adalah sesuatu yang sudah dibicarakan dunia dan publik tanah air semenjak dua tahun lalu. Artinya, Indonesia punya waktu yang cukup untuk menyusun serta mengambil langkah serta tindakan.
"Masalahnya kita minim plan, time frame, atau action untuk menarik manfaat maksimal dari perang dagang itu," kata Rizal.
Terlalu Berlebihan
Terpisah, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas meminta pemerintah mengurangi penyebutan radikalisme di berbagai tempat saat ini. Menurutnya, dosis pembicaraan itu sudah terlalu berlebihan.
"Kita mengharap kepada pihak pemerintah dan media agar mengurangi dosis pembicaraan tentang radikalisme, karena apa yang ada selama ini terasa sudah melebihi dosis dan proporsinya. Kita meminta supaya dosis pembicaraan tentang radikalisme ini dikurangi dan atau dikempeskan," kata Anwar.
Anwar menyatakan hal ini bukan untuk menganggap remeh pembicaraan mengenai radikalisme tersebut. Tetapi menurutnya masih ada masalah lain yang perlu benar-benar disoroti oleh pemerintah.
"Ini bukan berarti bahwa masalah radikalisme tidak penting dan tidak berbahaya bagi masa depan bangsa, tapi persoalan yang dihadapi bangsa ini tidak hanya masalah radikalisme," ujar Anwar.
Menurut dia, pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana dampaknya ke depan jika terus membicarakan radikalisme hingga berlebihan. Dia mewanti-wanti agar jangan sampai Indonesia terseret perang ideologi.
"Dan itu tentu jelas-jelas akan membawa dampak yang sangat-sangat buruk dan berbahaya bagi keberlangsungan dan eksistensi bangsa kita ke depan dan kita jelas tidak mau itu terjadi," kata dia. (ase)