Kasus Aliran Dana ke Desa Fiktif, Potret Buruknya Pengawasan Anggaran

Tumpukan uang kertas rupiah. (Foto ilustrasi)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

Pengungkapan keberadaan desa-desa fiktif yang menerima dana desa oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat kerja di DPR Senin (04/11) dinilai telah membongkar buruknya sistem pengawasan pengelolaan dana desa.

Direktur Eksekutif Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran (LETRAA), Yenny Sucipto menduga munculnya desa-desa baru tak berpenghuni yang menerima transferan dana desa disebabkan oleh tak efektifnya sistem evaluasi pengelolaan dana desa dan buruknya koordinasi antar kementerian/lembaga terkait.

"Ada sesuatu yang salah, ada sistem yang tidak berjalan," kata Yenny Sucipto, kepada BBC News Indonesia (05/11).

"Di saat evaluasi tidak berjalan, di saat perencanaan buruk, ada kongkalikong pengawasan," imbuhnya.

Meski Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku baru pertama kali mendengar apa yang disebut sebagai desa-desa fiktif penerima dana desa, Polda Sulawesi Tenggara sudah mulai menyelidiki keberadaannya sejak bulan Juni.

Terdapat laporan adanya lima puluh enam desa fiktif di Kabupaten Konawe. Hingga kini, mereka sudah memeriksa setidaknya 60 saksi, namun belum menetapkan tersangka.

Ratusan triliun rupiah sudah digelontorkan

Program Dana Desa sendiri sudah dilakukan sejak tahun 2015. Sejak saat itu hingga 2019, pemerintah mengklaim telah menggelontorkan Dana Desa sebesar Rp257 triliun.

Dari tahun ke tahun, angkanya terus meningkat.

Dimulai dari Rp20,8 triliun pada tahun 2015, Rp46,9 triliun pada 2016, meningkat menjadi Rp60 triliun pada tahun 2017 dan 2018, hingga akhirnya menjadi Rp70 triliun pada tahun ini.

"Seharusnya (pada) tahun kedua, tahun ketiga, itu sudah harus terdeteksi (keberadaan desa fiktif), sehingga tidak kemudian mengarah kepada kongkalikong itu," kata Direktur LETRAA Yenny Sucipto.

Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani mengaku baru mengetahui adanya desa fiktif penerima dana desa sesaat setelah pembentukan Kabinet Indonesia Maju.

"Kami mendengar ada transfer yang ajaib dari APBN dan muncul desa-desa baru yang tidak berpenghuni, karena melihat jumlah dana yang ditransfer setiap tahunnya," ujar Sri di gedung DPR RI pada Senin (04/11), seperti dikutip Tribunnews.com.

Ia akan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) untuk menelusuri jumlah dana desa yang sudah mengalir ke desa-desa `siluman` tersebut dan akan menginvestigasi kasus itu.

Polisi usut kasus 56 desa fiktif

Meski Menkeu Sri Mulyani menyatakan bahwa ia baru pertama kali mendengar kasus desa fiktif sekarang, kasus serupa sudah ditangani Polda Sulawesi Tenggara sejak Juni lalu.

Hingga kini, pengusutan kasus dugaan 56 desa fiktif penerima dana desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, masih dalam tahap penyelidikan.

Kabid Humas Polda Sultra AKBP Harry Goldenhart mengungkapkan setidaknya 60 saksi telah diperiksa.

"Penyidik masih dalam tahap mengumpulkan seluruh alat bukti, petunjuk, maupun keterangan dari saksi-saksi," kata Harry Goldenhart, melalui sambungan telepon.

Harry menuturkan polisi belum bisa meningkatkan kasus ke tahap penyidikan karena masih menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Sulawesi Tenggara.

"Kita juga sudah menggandeng BPKP untuk melakukan audit terhadap potensi kerugian keuangan negara," ungkap Harry,

"Sehingga hasil audit BPKP pun kita masih tunggu untuk meningkatkan proses penyelidikan menjadi penyidikan, termasuk penetapan tersangka."

Komisioner KPK, Saut Situmorang, dalam keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia, mengatakan bahwa pihaknya melakukan supervisi terhadap pengusutan oleh Polda Sultra.

Saut menjelaskan telah dilakukan gelar perkara pada tanggal 16 September 2019 bertempat di Kampus UAJ Yogyakarta bersama penyidik dan ahli hukum pidana.

"Intinya bahwa KPK akan melakukan fasilitasi, monitoring penanganan perkara dan tindakan-tindakan lain yang dianggap perlu untuk mendukung penyidikan agar dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya," kata Saut.

Ia melanjutkan dalam perkara tersebut ditemukan 34 desa yang bermasalah, tiga desa di antaranya fiktif, sedangkan 31 desa lainnya ada, tetapi SK (surat keputusan) pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur.

"Sementara pada saat desa tersebut dibentuk sudah ada moratorium dari Kemendagri, sehingga untuk mendapatkan dana desa, [makanya] harus dibuat tanggal pembentukan backdate ," kata Saut.

Terlepas dari penyelidikan kasus desa fiktif oleh Polda Sultra, Menteri Desa dan PDTT, Abdul Halim Iskandar, menyangkal adanya "desa hantu" yang menerima gelontoran dana desa seperti yang diungkapkan Menkeu Sri Mulyani.

"Dari telaah kita ada desa yang memang penduduknya sudah enggak ada. Jadi bukan hantu dalam artian ada dana ke sana," tukas Abdul saat ditemui wartawan di kantor Kemendes PDTT, Jakarta, pada Selasa (05/11) seperti dikutip Tribunnews.com.

Ia lantas memberi contoh lima desa di Jawa Timur yang hilang akibat terdampak lumpur Lapindo.

Meski demikian, Abdul memastikan bahwa pihaknya akan terus melakukan pendataan untuk menelisik dugaan desa fiktif tersebut.

"Dalam rangka mensupport Bu Menkeu untuk lebih detail lagi berapa sih desa yang kalau memang (fiktif) ada berapa, di mana lokasinya," pungkas Abdul.

`Penipuannya berlapis-lapis`

Menurut laporan lembaga non-profit Indonesia Corruption Watch (ICW), anggaran desa menjadi pos paling banyak dikorupsi pada tahun 2018. Anggaran itu meliputi Anggaran Dana Desa (ADD), Dana Desa (DD) dan Pendapatan Asli Desa (PADes).

ICW mencatat 96 kasus korupsi anggaran desa dari keseluruhan 454 kasus korupsi yang diusut sepanjang tahun 2018. Kerugian keuangan negara ditaksir mencapai Rp37,2 miliar.

Saat ditanya terkait pernyataan Menkeu Sri Mulyani yang mengaku baru pertama kali mendengar adanya dugaan desa fiktif penerima dana desa, peneliti ICW Egi Primayogha mengapresiasi hal tersebut.

Ia menyatakan Sri Mulyani membongkar lemahnya pengawasan pengelolaan dana desa selama ini.

"Kita apresiasi kalau misalkan Menkeu mau secara serius menindak kasus itu, tapi yang bisa disoroti juga artinya pengawasannya lemah, kenapa ada desa yang bisa melakukan seperti itu?" tutur Egi.

Ia menduga adanya praktik korupsi berlapis dalam dugaan aliran dana desa ke desa-desa `siluman` itu.

"Sebetulnya ini kan aneh ya, karena untuk mengajukan dana desa kan perlu ada persetujuan dari tiap tingkatan, nah, ketika itu terjadi, berarti penipuannya terjadi berlapis-lapis, dari mulai kecamatan, atau dari pemerintah kabupaten juga," papar Egi.

Pengamatan ICW senada dengan pendapat Direktur Eksekutif LETRAA, Yenny Sucipto. Ia menduga skema curang paling mungkin dilakukan pada level kabupaten yang memang memiliki peran sebagai penerima sementara dana desa sebelum disalurkan ke desa-desa yang berhak.

"Celahnya di situ, karena ada peluang, ada sistem yang tidak terbangun, akhirnya itu tadi, asumsi kongkalikong itu terjadi," imbuh Yenny.

Meski demikian, ia menilai kesalahan ada di pundak seluruh pihak terkait.

"Semua yang salah (adalah) yang diberi kewenangan di dalam pengelolaan dana desa. Kementerian Keuangan juga salah, Kementerian Dalam Negeri juga salah, Kementerian Desa juga salah, karena apa? Karena tidak ada sistem evaluasi terbentuk, koordinasi juga lemah antar kementerian/lembaga," papar Yenny.

Ia meminta semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan dana desa untuk menciptakan formula yang tepat dalam melakukan proses evaluasi dan koordinasi antar instansi.