Obituari: Anwar Congo, Sang Algojo Pembunuh 1000 Orang

- Carlos Arango de Montis
Sumber :
  • bbc

Anda mungkin menemukan beberapa detail dalam artikel ini mengganggu

Ketika seorang teman menontonnya, pembunuh massal Anwar Congo sedang menari cha-cha-cha.

Beberapa saat sebelumnya, di atap teras di Indonesia, dia menunjukkan metode yang disukainya untuk membunuh orang. Dia akan menggunakan kawat panjang untuk mencekik mereka, jelasnya, karena memukuli mereka sampai mati terbukti terlalu berantakan.

Pria kurus berambut putih ini diperkirakan telah membunuh sedikitnya 1.000 orang, meskipun beberapa orang memperkirakan jumlahnya bahkan lebih tinggi.

"Saya sudah mencoba melupakan semua itu," katanya, riang.

"Dengan menari, merasa bahagia, sedikit alkohol, sedikit ganja."

Dia kemudian mulai bernyanyi.

Ini adalah salah satu dari banyak adegan mencolok dalam film The Act of Killing, sebuah film dokumenter nominasi Oscar tahun 2012 yang menyoroti salah satu pembantaian yang kurang dikenal di abad ke-20.

Antara 1965 dan 1966, setidaknya 500.000 orang tewas terbunuh di Indonesia selama apa yang disebut sebagai pembantaian massal. Setelah kudeta yang gagal, militer mengamuk dan menargetkan semua yang terafiliasi dengan komunisme di seluruh negeri.

The Act of Killing mengikuti aktivitas Congo, yang merupakan bagian dari regu jagal terkenal yang mengeksekusi ratusan orang yang berhaluan kiri, setelah ia diundang untuk memerankan kembali pembunuhan dalam film itu.

Anwar Congo meninggal pada 25 Oktober dalam usia 78 tahun.


- BBC

Congo tumbuh di dekat ladang minyak tempat keluarganya bekerja di dekat kota Medan. Mereka relatif kaya, dan menentang kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1945.

Dia meninggalkan sekolah pada usia 12 tahun dan segera menemukan dirinya terlibat dalam dunia kriminal Medan. Awalnya, ia berkeliaran di luar salah satu bioskop paling populer di kota itu. Dia dan teman-temannya menjual kembali tiket demi mendapatkan keuntungan dan menjadikan bioskop sebagai pangkalan mereka.

Tapi tak lama, mereka terlibat dalam kejahatan yang lebih serius. Mereka memeras pemilik bisnis Cina setempat untuk mendapatkan uang perlindungan dan terlibat dalam penyelundupan dan perjudian ilegal.

Congo dan temannya, Adi Zulkadry, juga disewa sebagai pembunuh.

"Upaya pertama mereka adalah kegagalan nyata," ujar Joshua Oppenheimer, yang menyutradarai The Act of Killing dan menjadi akrab dengan Congo.

"Mereka mencoba membunuh seseorang dengan buah durian. Cukup mengatakan, itu tidak berhasil."

Pada saat kudeta yang gagal pada tahun 1965 - yang kemudian diikuti oleh pembunuhan massal - Congo dan teman-temannya telah menjadi penjahat kelas kakap. Yang terpenting, mereka juga anti-komunis.

Pembantaian itu diatur oleh militer tetapi dilakukan oleh kelompok-kelompok gangster dan paramiliter sayap kanan. Geng Congo direkrut oleh tentara dan mereka menginterogasi, menyiksa, dan membunuh ratusan tersangka kiri.

Geng mereka - yang dikenal sebagai Pasukan Kodok - menjadi salah satu regu jagal paling kuat di wilayah tersebut. Congo, sebagai algojo, menjadi anggota yang paling terkenal.

Kelompok ini mengambil inspirasi untuk metode pembunuhan mereka dari film-film Hollywood. Film favorit mereka adalah film mafia Al Pacino dan film-film western John Wayne.

Congo dipercaya telah membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri. Dalam film The Act of Killing, Gubernur Sumatra Utara, Syamsul Arifin, mengingat kembali betapa ditakutinya Congo saat itu.

"Semua orang takut kepadanya," ujarnya. "Ketika orang-orang mendengar namanya, mereka ketakutan."

Pembantaian yang kejam - yang hingga kini masih menjadi topik yang sensitif di Indonesia - juga membuat sekitar 100.000 orang dipenjara tanpa persidangan karena dituding terlibat dengan Partai Komunis.

Pelaku kejahatan seperti Congo dan teman-temannya tidak pernah diproses hukum. Dia malah menjadi pemimpin yang disegani di paramiliter pro-rezim Indonesia, Pemuda Pancasila, yang tumbuh dari regu jagal.


Foto dari film yang memperlihatkan pembantian di Kampung Kolam - Final Cut For Real

Pada tahun-tahun setelah pembantaian, Congo kembali ke kehidupan lamanya yang penuh kejahatan di Medan di mana reputasinya memberikan manfaat baginya. Dia terlibat dalam perampokan, operasi penyelundupan dan jaringan pemerasan yang luas.

Sekitar tahun 1990-an, dia bekerja sebagai kepala keamanan di klub malam terbesar di Medan. Namun rupanya jabatan ini merupakan kedok untuk mengatur transaksi narkoba Pemuda Pancasila.

Kongo diberi gelar seremonial dalam organisasi dan dia dikenang, dan dirayakan, karena perannya dalam pembunuhan massal tahun 1960-an. Para pelaku menjadi panutan bagi jutaan paramiliter muda dan menyukai versi sejarah mereka di mana mereka memainkan peran sebagai pahlawan.

Prodita Sabarini diindoktrinasi di sekolah untuk mempercayai versi sejarah itu.

"Kami diajari bahwa Komunisme itu buruk dan mereka adalah ateis yang mengkhianati bangsa," katanya kepada BBC.

"Kami tidak mempertanyakan apa yang telah kami pelajari di sekolah. Bahkan ketika saya mengetahui tentang besarnya skala pembunuhan saya berpikir: `Mereka komunis, jadi tidak apa-apa mereka dibunuh`."

Baru setelah seorang kru film melacaknya, Congo dipaksa untuk menghadapi kenyataan kejahatannya dan hati nuraninya.

Awalnya, dia terkesan sombong. Ketika Oppenheimer pertama kali bertemu Congo pada 2005, mantan algojo itu dengan senang hati menunjukkan cara dia membunuh.

"Saya pikir membual adalah cara untuk menegaskan apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang layak dibanggakan," kata Oppenheimer.

"Tapi Anwar sangat jujur dalam keterbukaannya tentang perasaannya dan rasa sakit yang dia rasakan."

Film ini mengikuti Kongo dan teman-temannya saat mereka diundang untuk memeragakan kembali pengalaman pembunuhan mereka. Mereka menulis naskah dan bermain sendiri, dan mengadaptasi ingatan mereka dengan gaya film favorit mereka.

Para lelaki itu secara rutin bercanda tentang membunuh orang-orang Cina. "Kami akan menceritakan kisah tentang apa yang kami lakukan ketika kami masih muda!"

Congo dengan bangga menyatakan di awal. Namun segera - ketika tekanan bermain sebagai pahlawan mulai terasa memuakkan - kerapuhan hati nuraninya mulai tampak.

Dia mengaku mengalami mimpi buruk berkali-kali. "Tidur saya terganggu. Mungkin karena ketika saya mencekik orang dengan kawat, saya menyaksikan mereka mati," katanya, dengan sungguh-sungguh.


Anwar Congo menangis tersedu-sedu ketika dia memerankan memerankan korban menjelang akhir film - Carlos Arango de Montis

Dalam satu adegan, menjelang akhir film, Kongo memerankan seorang korban. Ketika sebuah kawat diikatkan di lehernya, dia meminta untuk berhenti syuting dan duduk, tak bergerak, dalam keheningan.

"Apakah aku sudah berdosa?" tanyanya dengan berlinangan air mata saat menonton adegan itu kemudian.

"Aku melakukan ini pada begitu banyak orang."

"Dia sampai pada suatu titik ketika di mana dia merasa bersalah dengan cara yang sangat murni dan langsung," kata Oppenheimer.

"Dan kurasa itu adalah peringatan moral film ini, bahwa kita sebagai manusia dapat menghancurkan diri kita dengan perbuatan kita."

Tidak akan ada kisah penebusan Hollywood untuk Congo. Dia menikah terlambat, tidak pernah memiliki anak dari darah dagingngya sendiri, dan terus terlibat dalam kejahatan setelah film dirilis. Tetapi The Act of Killing memiliki dampak yang mengubah hidup banyak orang Indonesia yang menontonnya.

Film ini secara resmi dilarang di indonesia, tetapi pemutaran bawah tanah secara privat diadakan setelah film ini dirilis secara internasional. Beberapa dari acara pemutarannya dihentikan secara paksa oleh kelompok-kelompok pro-militer.

"Saya menghadiri salah satu pemutaran terbesar," kata mantan editor BBC Indonesia Rebecca Henschke. "Itu adalah rumah yang penuh sesak dengan suasana yang mirip dengan konser rock dan ada perasaan bahwa dinding kesunyian sedang rusak."

Prodita Sabarini, yang dipaksa menonton film sejarah versi pemerintah di sekolah mengatakan film itu mengubah seluruh perspektifnya.


Seorang prajurit Indonesia mengawasi orang-orang yang dicurigai komunis selama penumapasan komunisme - Getty Images

"Ketika saya menyaksikan The Act of Killing dan melihat para pelaku yang bertingkah sombong, saya tersadar betapa secara moral mereka salah dan saya merasa sangat malu karena saya tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya," katanya.

"Saya malu karena saya tidak lebih kritis."

"Saya ingin negara ini memulai proses pengungkapan kebenaran sehingga bisa ada semacam keadilan."

Beberapa orang yang selamat dari pembunuhan massal itu terganggu oleh keputusan Oppenheimer untuk memberi para pembunuh seperti Congo kebebasan dalam film itu. Sebuah film pendamping, The Look of Silence, kemudian dirilis dan difokuskan pada para penyintas.

Yang lain merasa film itu membantu menyebarkan kesadaran akan kejahatan para pelaku. Mantan tahanan politik Bedjo Untung mengatakan kepada BBC bahwa The Act of Killing mengungkap "pembunuhan tidak manusiawi yang mengerikan oleh [orang] seperti Anwar Congo yang bertindak dengan dukungan militer.

"Sangat mengecewakan bahwa dia meninggal sebelum dia diadili," tambahnya.

Oppenheimer mengatakan bahwa, mungkin secara tidak sengaja, Congo mungkin memiliki dampak positif dengan tampil di film tersebut.

"Bahkan jika itu bukan apa yang dia ingin lakukan, dia membantu mengkatalisasi perhitungan nasional di Indonesia", katanya.

"Dia membantu mengubah percakapan nasional. Dia membantu dunia melihat bahwa pembunuhan ini terjadi."

Laporan tambahan oleh Rebecca Henschke

Seri Cold War Legacy di BBC World Service mengeksplorasi mengapa dampak konflik masih dirasakan di seluruh dunia.

Episode yang dibuat oleh Rebecca Henschke dari Indonesia akan menemukan bagaimana pembunuhan massal pada tahun 1965 masih menghantui negara.

Dengarkan di BBC World Service pada hari Rabu 6 November.