Indonesia Timur Terancam Kelangkaan Dokter Spesialis
- bbc
Wilayah Indonesia Timur terancam mengalami kelangkaan dokter spesialis menyusul dibatalkannya Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis oleh Mahkamah Agung.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat, sejak beleid itu tak berlaku lagi, pengiriman dokter spesialis ke daerah-daerah terpencil atau kepulauan menurun drastis hingga 50%.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah telah menerbitkan aturan baru berupa Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2019 mengenai Pendayagunaan Dokter Spesialis (PDS). Dalam aturan itu, dokter spesialis yang baru lulus diminta secara sukarela bekerja di daerah terpencil selama setahun. Hanya saja, hal itu tak mempan mendongkrak jumlah dokter di sana.
Medeline Ramandey sering kali mendengar keluhan ketiadaan dokter di RSUD Wamena di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Saat perempuan 20 tahun ini mengantar bapaknya ke rumah sakit, banyak pasien bercerita akhirnya pulang tanpa konsultasi ke dokter.
"Entah Sabtu atau Minggu, saya mendengar keluhan (pasien) tidak sampai (bertemu dan konsultasi) ke dokter, karena dokternya tidak ada," ujar Medeline kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Karena itu, Medeline sangat menyayangkan kalau sampai terjadi kelangkaan dokter lantaran mengingat RSUD Wamena menjadi rujukan bagi warga dari daerah lain seperti Lanny Jaya atau Mamberamo Tengah.
"Di saat pemerintah kami mengunggulkan masyarakat yang sehat, jika hal itu terjadi pasti ada penyesalan kami sebagai warga. Kalau perlu, nggak usah ada rumah sakit. Karena jangan sampai rumah sakit untuk sekadar dipandang saja," sambungnya.
Kondisi tak jauh berbeda juga terjadi di RSUD Scholoo Keyen di Kabupaten Sorong Selatan. Menurut Rizky Aniza Winanda --seorang dokter spesialis jiwa, dokter yang dikirim dari program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PDS) sangat sedikit.
Untuk tahun ini, rumah sakit tersebut kedatangan dokter spesialis kandungan/kebidanan dan anak. Tapi khusus dokter bedah, kata Rizky, "belum dapat lagi". Padahal tahun-tahun sebelumnya selalu ada.
Di RSUD ini, ada dua dokter spesialis anak dan penyakit dalam. Namun untuk spesialis bedah dan kandungan, masing-masing cuma satu. Itu mengapa, keberadaan dokter kiriman program Pendayagunaan Dokter Spesialis sangat membantu.
"Kami sudah mengajukan permintaan dokter spesialis bedah tapi belum ada."
`Perlu banyak adaptasi`
Rizky Aniza sudah setahun dan empat bulan bekerja di RSUD Scholoo Keyen dan keinginan mengabdi di Tanah Papua sudah muncul sejak lulus kuliah dari Kedokteran Umum.
"Cuma waktu itu kan masih sendiri dan perempuan juga, jadi nggak diizinkan oleh orangtua. Nah saat sekolah spesialis, ketemu pasangan dokter spesialis anak yang juga sama-sama mau ke Papua, akhirnya bisa ke sini," katanya kepada BBC.
"Dan saya memang mencari tempat yang belum ada dokter jiwa-nya."
Selama bekerja di Papua, Rizky harus banyak beradaptasi. Mulai dari menghadapi karakter pasien, ketersediaan obat, sampai cara kerja birokrasi.
Kata dia, obat-obatan di Papua sangat terbatas jenisnya. Kalaupun minta dikirimkan obat dari farmasi, jarang dikabulkan.
"Pabrik farmasi mengaku sulit sekali menyediakan obat-obat karena menjangkau ke sini mahal. Jadi saya harus kreatif mau pakai obat apa, karena pilihannya sedikit dan terbatas," imbuhnya.
"Pasien di sini, mungkin karena minim pendidikan, harus berulang-ulang kali disampaikan. Malah tidak menutup kemungkinan menolak karena belum paham," sambung Rizky.
Kendati begitu, ia dan suami tidak menyesal mendedikasikan hidup mereka di daerah yang jauh dari kota, meskipun ia mengakui menjalaninya tidaklah mudah.
"Ya butuh penyesuaian, tapi tidak sampai menyesal."
`Mencari formula baru`
Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian PB IDI, Pujo Hartono, menyebut wilayah Indonesia timur sangat kekurangan dokter. Kebanyakan para dokter yang baru lulus, hanya mau ditempatkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan.
Pudjo mengaku tak bisa menyalahkan mereka, sebab kesenjangan di kota-kota Indonesia bagian barat dengan timur, terlampau jauh. Belum lagi pandangan beberapa dokter muda yang menilai "setiap orang bebas memilih bekerja yang nyaman".
"Apalagi pendidikan dokter spesialis itu kan mengeluarkan uang sendiri, jadi kalau ada pilihan yang lebih nyaman, pasti cari yang lebih nyaman juga," ujar Pudjo kepada BBC.
Untuk mengatasi kekurangan tenaga medis di wilayah terpencil, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Tertera di situ, dokter spesialis wajib kerja satu tahun dan harus mau ditempatkan di rumah sakit daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Atau rumah sakit rujukan regional dan provinsi.
Ketika program WKDS diberlakukan, setidaknya ada 100-200 dokter spesialis yang disebar ke berbagai daerah yang dianggap kurang.
Sayangnya, program itu tak berumur panjang.
Pada Desember 2018, Mahkamah Agung membatalkan beleid yang memayunginya dan baru diunggah di situs pada Selasa (29/12) lalu.
Dalam pertimbangannya, MA menilai peraturan itu bertentangan dengan Penghapusan Kerja Paksa sesuai Konvensi ILO. Sebab program WKDS semestinya dilaksanakan secara sukarela tanpa paksaan apalagi ancaman/sanksi.
Kata-kata `wajib` dan `harus mau` itulah yang digugat dan dimenangkan MA.
Imbas putusan tersebut berdampak pada makin minimnya jumlah dokter di daerah-daerah terpencil seperti Papua. Padahal Perpres itu dibuat untuk meratakan distribusi dokter di seluruh Indonesia.
Karena itulah pemerintah menerbitkan beleid baru yakni Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2019 mengenai Pendayagunaan Dokter Spesialis (PDS). Di aturan tersebut, tidak lagi ada kewajiban tapi sukarela.
Para dokter spesialis yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil akan diberi insentif berupa gaji Rp30 juta perbulan, rumah dinas, kendaraan operasional, dan mendapat tunjangan serta jasa medis dari rumah sakit.
"Mereka (dokter) bisa terima Rp50 juta sampai Rp100 juta," kata Kepala Biro Hukum Kementerian Kesehatan, Sundoyo Hukor kepada BBC.
Sejak diberlakukan pada Februari 2019, setidaknya sudah ada dua angkatan yang dikirim. Tapi tiap angkatan, jumlahnya tak lebih dari 60 orang atau turun sekitar 50%.
Puluhan dokter spesialis itu nantinya akan diprioritaskan bekerja di wilayah Indonesia timur. Sebab di sana, paling banyak kekosongan tenaga medis.
Kini pemerintah bersama organisasi profesi sedang menggodok formula baru untuk mendongkrak jumlah dokter spesialis yang mau dikirim ke wilayah-wilayah perbatasan hingga terpencil. Bentuknya, kata Sundyono, bisa berupa MoU atau perjanjian.
"Misalnya, dokter saat ambil spesialis kan melewati seleksi, pada saat seleksi dan mau melakukan studi meteka kita tawarkan, mau enggak saat lulus ditempatkan di daerah-daerah tertentu," tukasnya.
"Jadi begitu lulus bisa ditempatkan di daerah tersebut selama setahun."
Ia berharap dalam waktu dekat, MoU atau perjanjian itu bisa segera rampung.
"Saya pikir dalam waktu tidak lama. Insyallah segera keluar karena sudah mengerucut di kolegium, bagaimana formula saat seleksi pendaftaran."