Pemekaran Baru di Papua Dianggap Transaksi Politik Para Elit
- abc
Rencana pemekaran baru di wilayah Provinsi Papua dinilai sebagai bagian dari transaksi politik yang dilakukan para elit. Bukannya mengatasi masalah yang selama ini terjadi, pemekaran justru bisa menambah masalah baru di Bumi Cenderawasih.
Rencana pemekaran di Papua makin mengerucut setelah Presiden Jokowi mengunjungi pulau di ujung timur Indonesia itu akhir pekan lalu. Sebelumnya, ide pemekaran berasal dari aspirasi sejumlah tokoh Papua yang diundang Presiden ke Istana Negara, September lalu.
Ditemui media di kantornya, selepas kembali dari tugas mendampingi Presiden ke Papua, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan hanya ada penambahan dua provinsi terkait pemekaran di Papua.
"Pemerintah Pusat kemungkinan mengakomodir hanya penambahan dua Provinsi. Ini yang lagi kita jajaki, yang jelas Papua Selatan sudah oke lah," sebut Tito kepada wartawan (29/10/2019).
Tito mengklaim Gubernur Papua, Lukas Enembe, juga telah menyetujui rencana pemekaran itu
"Tinggal pemekaran kota Merauke harus. Karena harus lima (kota). Sementara baru empat, Mappi, Boven Digoel, Asmat, Merauke."
"Kalau ada kota Merauke maka oke," ujar mantan Kepala Kepolisian RI ini seperti diberitakan media lokal.
Nyatanya, langkah Pemerintah Indonesia itu justru mendapat kritikan tajam dari warga asli Papua sendiri.
Sekretaris Dewan Adat Papua, Leo Imbiri, mengatakan ide pemekaran itu berasal dari para elit yang difasilitasi oleh institusi-institusi formal di Jakarta.
Leo menilai pemekaran kali ini tak merepresentasikan suara dan aspirasi masyarakat Papua.
"Saya rasa bahwa pemekaran yang sedang didorong sekarang itu lebih bernuansa dua hal. Satu, kepentingan transaksi politik, tapi yang kedua itu kepentingan eksploitasi sumber daya alam."
"Pemekaran itu sama sekali tidak ada kaitan dengan pertimbangan kepentingan rakyat," jelasnya kepada ABC melalui sambungan telepon.
Jika dasar pertimbangan pemekaran ini adalah kepentingan rakyat maka, tegas Leo, pemekaran itu seharusnya masuk ke perencanaan Pemerintah.
"Bukan ada aspirasi mendadak muncul kemudian satu pemekaran langsung diberikan," katanya.
Pemekaran, tutur Leo, harus melalui persiapan sosial yang matang.
"Satu daerah harus disiapkan dulu, ditetapkan kemudian dipersiapkan untuk jangka waktu 5 tahun begitu, dipersiapkan insfrastrukturnya."
"Tapi yang paling penting adalah dipersiapkan sumber daya manusianya supaya ketika itu dimekarkan, kita tidak memakai tenaga dari Jawa, dari lain-lain tempat yang ke Papua untuk mengisi posisi-posisi yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat adat Papua."
Sekretaris Dewan Adat Papua ini bahkan menuding Indonesia sama sekali tidak konsisten untuk melaksanakan amanat Undang-Undang.
"Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 mengamanatkan pemekaran itu bukan kewenangan Pemerintah pusat."
"Kewenangan itu diusulkan melalui masyarakat lewat MRP (Majelis Rakyat Papua) dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) baru dibawa ke pemerintah pusat," jelasnya.
Sementara itu, Kepala LP3BH (Lembaga, Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum) Manokwari, Yan Warinussy, mengatakan ia tak melihat adanya relevansi antara akar masalah di Papua -salah satunya mengenai perbedaan pemahaman mengenai sejarah integrasi dan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang terjadi -dengan ide pemekaran tersebut.
Biro Pers Kantor Presiden
"Soal pemekaran sesungguhnya sudah diatur dalam amanat pasal 76 Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus (otonomi khusus) bagi Provinsi Papua."
"Tapi dalam faktanya selalu dilanggar oleh Pemerintah Pusat sejak zaman Presiden Megawati yang mengeluarkan Inpres (instruksi Presiden) untuk mengaktifkan Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat (kini Papua Barat) berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 1999," papar Yan kepada ABC ketika dihubungi.
Ia mempertanyakan dasar hukum rencana pemekaran ini beserta mekanismenya.
Yan juga menyebut pemekaran ini, jika benar disahkan, tidak akan membawa perbaikan bagi aspek hak asasi manusia di Papua dan bagi hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan sumber daya alam.
Datang dari atas
Pengamat Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, mengingatkan jika merujuk Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, pemekaran di provinsi paling timur tersebut harus memperoleh persetujuan dari Majelis Rakyat Papua.
"Nah karena itu, kalau pemekaran ini kemudian datangnya dari atas, tidak melalui DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua), tidak melalui Gubernur dan tidak melalui MRP, itu hanya akan menambah masalah baru," utaranya.
Masalah itu disebutnya sebagai menambah daftar panjang ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia. Lebih parahnya lagi, kata Cahyo, pemekaran tak akan menyelesaikan konflik yang selama ini terjadi di Papua.
"Jadi pemekaran itu untuk menyelesaikan persoalan yang mana? Itu harus dilihat dan pemekaran yang tidak memenuhi prosedur yang tepat."
"Pemekaran yang tidak berasal dari aspirasi mainstream (arus utama) orang Papua, itu hanya cenderung memenuhi kebutuhan elit politik lokal yang menuntut pemekaran," ujarnya kepada ABC.
Cahyo menjabarkan jika akar persoalan di Provinsi itu adalah kegagalan pembangunan atau pelayanan publik yang tidak efektif, semestinya hal itu bisa diperbaiki.
"Bagaimana Pemerintah Pusat bisa memastikan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah kabupaten-kabupaten di bawahnya untuk meningkatkan akses masyarakat ke layanan publik bukan dengan menambah jumlah provinsi."
Ia kembali menekankan bahwa pemekaran bukanlah aspirasi masyarakat akar rumput di Papua tetai lebih terdorong oleh kepentingan politik.
"Tetapi aspirasi sejumlah elit lokal yang selama ini "kalah" dalam persaingan memperebutkan Gubernur Papua."