Tak Ungkap Survei Integritas Polri, KPK Berdalih Tak Cukup Sampel
- VIVAnews/Edwien Firdaus
VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menampilkan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Polri dan Sulawesi Tengah tahun 2018. Padahal Institusi Polri merupakan salah satu objek dari 26 Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah, yang disurvei oleh KPK dengan menggandeng Badan Pusat Statistik (BPS).
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, beralasan pihaknya tidak turut menampilkan SPI Polri pada peluncuran hari ini karena masalah kecukupan sampel tidak terpenuhi.
"Nilai indeks integritas Kepolisian RI tak bisa ditampilkan karena kecukupan sampel internal tidak terpenuhi," kata Alexander di hadapan perwakilan Kementerian, lembaga, serta Pemda di kantornya di Jl. Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa 1 Oktober 2019.
Sayangnya, mantan hakim Pengadilan Tipikor ini tidak mengungkapkan lebih jauh kendala apa saja yang menyebabkan tim KPK tidak dapat memenuhi sampel integritas internal Kepolisian RI.
Selain institusi Polri, KPK juga tidak menampilkan hasil SPI Pemprov Sulawesi Tengah. Alexander bedalih itu lantaran kecukupan sampel eksternal tidak terpenuhi.
Pada SPI 2018 ini sejatinya menyertakan 26? Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah. Survei ini diselenggarakan dalam kurun waktu 12 bulan, yakni Juli 2017 sampai Juli 2018.
Nilai Indeks Integritas SPI 2018 tertinggi diraih oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan nilai 78,26 dan terendah adalah Mahkamah Agung dengan nilai indeks integritas 61,11.
"Capaian SPI diharapkan dapat meningkatkan IPK secara keseluruhan, lalu bisa kita integrasikan dengan capaian MCP korsupgah. Apakah sinkron atau tidak? Kalau nilai MCP nya tinggi, tapi nilai SPI nya rendah, bisa jadi administratifnya saja yang baik, tetapi pelaksanaannya belum baik," kata Alex.
Karenanya, Alex menambahkan, hasil survei ini supaya ditindaklanjuti semua peserta dengan membuat sistem atau program pencegahan korupsi di instansinya masing-masing.
Sementara aspek yang dinilai dalam SPI, antara lain budaya organisasi seperti kejadian suap, gratifikasi, keberadaan calo, sistem antikorupsi seperti sosialisasi antikorupsi, pengaduan pelaku korupsi, pengelolaan SDM seperti nepotisme penerimaan pegawai, promosi jabatan, pengelolaan anggaran seperti penyelewengan anggaran, perjalanan dinas fiktif atau honor fiktif.
"Tujuannya adalah untuk memetakan isu integritas dan area rentan korupsi serta untuk meningkatkan kesadaran akan risiko korupsi. Kesadaran ini diharapkan mendorong inisiatif peserta untuk melakukan perbaikan sistem pencegahan korupsi," ujar Alex.
Mantan hakim Pengadilan Tipikor itu mengklaim survei tersebut juga memberikan gambaran umum masalah integritas. Sebab, saat mensurvei, ditemukan sekitar 22 persen responden internal pernah mendengar ataupun melihat keberadaan calo.
"Temuan ini muncul di semua lembaga peserta. Terjadi peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2017 yang sebesar 17 persen," kata Alex.
Menurut Alex, sekitar 25 persen responden internal pernah mendengar atau melihat keberadaan nepotisme dalam penerimaan pegawai, juga meningkat dari tahun 2017 yakni 20 persen.
"Sekitar 5,6 persen responden internal pun pernah mendengar atau melihat keberadaan suap dalam kebijakan promosi atau meningkat dibandingkan tahun 2017 yang hanya 4 persen," kata Alex.
Gratifikasi Turun
Alex menambahkan sekitar 21 persen responden internal juga cenderung percaya bahwa suap atapun gratifikasi mempengaruhi kebijakan karir di lembaganya.
"Sedangkan, terkait gratifikasi, sebanyak 25 persen responden pengguna layanan melihat ataupun mendengar pegawai menerima suap atau gratifikasi. Angka ini turun dari tahun 2017 yang mencapai 30 persen. Temuan ini juga muncul di semua peserta," kata Alex.
Temuan lainnya, sambung dia yakni ada 2 dari 10 pegawai menyaksikan pelapor praktik korupsi di unit kerja yang dikucilkan, diberi sanksi atau karirnya dihambat dalam 12 bulan terakhir.
"Selain itu, 2 dari 10 Pengguna layanan cenderung tidak percaya bahwa melaporkan korupsi akan mendapatkan perlindungan. Nilai sama ditemukan pada SPI 2017," ujar dia.
Alex menjelaskan, pada 2018 survei yang dilaksanakan terhadap 26 lembaga ini, target sampel di setiap lembaga sebanyak 130 responden, yang terdiri atas 60 responden internal yang merupakan pegawai lembaga, 60 responden eksternal yaitu para pengguna layanan dan 10 responden eksper adalah narasumber ahli.
Sebanyak 26 kementerian, lembaga, atau Pemda tersebut terdiri atas enam Kementerian Lembaga, yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementerian Kesehatan, Mahkamah Agung, Kepolisian Republik Indonesia dan 20 Pemprov, yaitu Aceh, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau.
Kemudian, Kepulauan Riau, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Gororntalo, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah.
"?SPI merupakan survei tahunan yang telah dimulai sejak 12 tahun lalu. Pertama kali diselenggarakan pada 2007 dengan mengacu kepada metode yang digunakan oleh Anti-Corruption and Civil Rights Commission (ACRC) Korea Selatan dan direkomendasikan oleh Organization for economic Cooperation and Development (OECD). Metode penilaian ini juga telah diterapkan secara luas di beberapa negara dengan nama integrity assessment dan diakui secara internasional," imbuh Alexander.
Berikut hasil Suvei Penilaian Integritas tahun 2018 :
Pemerintah Daerah
1. Jawa Tengah 78,26
2. Jawa Timur 74,96
3. Sumatera Barat 74,63
4. Gorontalo 73,85
5. Kepulauan Riau 73,34
6. NTB 73,13
7. Jawa Barat 72,97
8. Kalimantan Selatan 68,76
9. DKI Jakarta 68,45
10. NTT 67,65
11. Kalimantan Timur 67,55
12. Bengkulu 66,47
13. Sumatera Utara 66,13
14. Kalimantan Tengah 66
15. Banten 65,88
16. Aceh 64,24
17. Jambi 63,87
18. Sulawesi Selatan 63,85
19. Riau 62,33
Kementerian dan Lembaga
1. Kementerian Kesehatan 74,75
2. Kementerian Keuangan 70,2
3. Kementerian Perhubungan 66,99
4. Badan Pertanahan Negara 64,67
5. Mahkamah Agung 61,11
(ren)