LBH Jakarta Ungkap Keganjilan Demi Keganjilan Kasus Dandhy Laksono
- Instagram / dandhy_laksono
VIVA – Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Pratiwi Febri, buka-bukaan soal keanehan prosedur penangkapan jurnalis, aktivis dan kreator film dokumenter, Dandhy Dwi Laksono.
Menurut Pratiwi hal-hal yang berkaitan dengan kasus Dandhy memang berasal dari polisi. Dandhy sebenarnya juga sudah mempertanyakan siapa sosok pelapor yang tertera di surat penangkapan tertulis atas nama Asep Sanusi SE saat dia diperiksa. Namun pertanyaan itu tak dijawab juga oleh polisi.
"Kalau di surat penangkapan itu jelas dinyatakan pelapor bernama saudara Asep Sanusi S.E, kemarin Mas Dandhy sempat bertanya ini siapa? Namun tidak dijelaskan," kata Pratiwi di kantor AJI Indonesia, Jakarta Selatan, Jumat 27 September 2019.
Pratiwi menjelaskan, berdasarkan penelusuran tim hukum Dandhy, dugaan sementara Asep Sanusi SE adalah personel Kepolisian dari Polda Metro Jaya. "Dari tracking kami sementara ini kami menduga bahwa pelapor yang disebut adalah polisi berpangkat Bripda di bidang hukum Polda Metro Jaya. Jadi ini masih kami duga dan kami masih mencari tahu kebenarannya seperti apa," ucapnya.
Sementara itu, salah satu pendamping hukum Dandhy dari Ammar Law Firm, Alghiffari Aqsa, menjelaskan bahwa laporan ini berjenis laporan A1 yang berarti pelapornya berasal dari polisi. Hanya Alghiffari melihat ada kejanggalan pada saat polisi mengklaim proses kelengkapan barang bukti sudah melalui prosedur yang benar karena mereka tidak tahu siapa pelapornya.
"Jadi yang melapor anggota Kepolisian sendiri, saksi anggota Kepolisian dan katanya juga sudah dihadirkan ahli dari Kepolisian. Tapi ketika kami tanyakan mereka tidak menjawab ahlinya sehingga kita bisa track pemikirannya seperti apa, objektivitasnya seperti apa dan polisi tidak memberikan keterangan itu," ujar Alghiffari.
Dandhy ditetapkan sebagai tersangka dengan jeratan Pasal 28 ayat (2), jo Pasal 45 A ayat (2) UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 14 dan Pasal 15 Nomor 1 tahun 1946 tentang Hukum Pidana.
Adapun bunyi Pasal 28 ayat 2 UU ITE antara lain "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)”.
Polisi mempermasalahkan cuitan Dandhy Laksono lewat Twitter pada tanggal 23 September 2019 yang mengabarkan situasi terkait kerusuhan di Papua pada saat itu.