Imbauan Pemerintah Agar Rektor Cegah Mahasiswa Demo Batasi Aspirasi
- abc
Menanggapi aksi unjuk rasa mahasiswa di berbagai kota Indonesia, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), M. Nasir, mengimbau para rektor universitas untuk mencegah mahasiswanya turun ke jalan. Langkah ini dianggap membatasi kebebasan berekspresi mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi.
Sejumlah mahasiswa yang turun ke jalan berpendapat aksi unjuk rasa yang dilakukan secara damai tanpa kekerasan merupakan sarana menyampaikan aspirasi yang seharusnya tidak dibatasi.
Neysa Feralda, mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi di Universitas Airlangga Surabaya menyayangkan sikap Menristekdikti dan mengatakan, tujuannya berdemo adalah agar suaranya didengar anggota dewan.
"Itu perwakilan dari rakyat...kalau (mahasiswa) enggak turun ke jalan juga enggak kelar-kelar masalahnya," kata mahasiswi semester 7 yang ikut unjuk rasa 26 September di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur ini.
"Turun ke jalan saja belum tentu mau nemuin (mahasiswa), apalagi kalau enggak turun."
Mahasiswi yang baru pertama kali berunjuk rasa di jalan ini mengatakan aksi yang diikutinya di Surabaya berlangsung kondusif lantaran Ketua DPRD Jawa Timur mau menemui mahasiswa dan membela tuntutan mereka yang berdemo.
Ia berdalih mahasiswa yang turun ke jalan mengetahui aturan unjuk rasa.
"Yang selama ini merusak suasana demo itu provokator," sebut Neysa kepada ABC.
Ia sendiri mengakui tidak melihat kelompok perusuh dan berpendapat unjuk rasa seperti yang diikutinya membuatnya menjadi saksi sejarah demokrasi.
Pandangan senada dilontarkan oleh Lintang Padang Gemilang, mahasiswa Universitas Mercu Buana Jakarta.
Bersama teman-teman sekampusnya, mahasiswi jurusan desain komunikasi visual ini berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Senayan.
Ia mengkritik imbauan Menristekdikti tersebut dan justru menyalahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Kita turun ke jalan karena peduli, kita peduli karena kita tahu ada yang tidak adil, kita tahu karena cari tahu dan belajar."
"Sedangkan DPR yang katanya "terdidik" membuat RKUHP (rancangan undang-undang kitab hukum pidana) yang menurut semua masyarakat tidak masuk akal."
"Kita semua tahu siapa yang bodoh di sini. Mereka salah, yang sadar kami, bukan mereka yang tidak merasa tidak bersalah," ujarnya kepada ABC.
Lintang mengatakan usulan Menristekdikti agar mahasiswa sebaiknya diajak berdialog ketimbang turun ke jalan juga tak memiliki alasan kuat.
"Buat apa? memang didengarkan? puluhan ribu orang sudah sampaikan aspirasinya waktu orasi, mereka tetap tidak mendengar kok."
"Kalau mau tuntas ya turutin tuntutannya, bukan ngajak dialog," sebutnya.
Berbeda dari Lintang dan Neysa, Abdul Chaq, mahasiswa Ilmu Sejarah dari Universitas Airlangga, justru mencoba memahami langkah Menristekdikti.
Supplied
Menurutnya, hal yang wajar apabila Pemerintah memberikan imbauan kepada rektor terkait pelarangan mahasiswa turun ke jalan.
"Salah satu pertimbangannya mungkin karena melihat situasi nasional kini yang sedang memanas, sehingga perlu untuk sedikit diredam," utaranya.
Mahasiswa angkatan 2016 ini menuturkan larangan berdemo memang membatasi kebebasan berekspresi namun sebenarnya ada acara lain untuk menyampaikan aspirasi.
"Toh kalaupun mahasiswa tidak boleh turun ke jalan, mereka masih bisa turun tanpa mengenakan status mahasiswanya. Misalnya dengan membaur bersama rakyat tanpa atribut organisasi kampus apa pun," ucapnya.
Dialog yang diusulkan sang Menteri Presiden Jokowi itu, sebutnya, memang penting untuk dilakukan. Namun komitmen untuk merealisasikan hasil kesepakatan dalam dialog jauh lebih penting.
"Menurut saya, secara filosofis, demo memang bukan untuk menyelesaikan masalah. Melainkan sebatas sinyal yang menunjukkan di mana letak keberpihakan," katanya kepada ABC.
Ditemui selepas bertemu Presiden Jokowi di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta (26/9/2019), Menristekdikti M. Nasir meminta rektor seluruh Indonesia untuk mencegah mahasiswanya turun ke jalan.
"Imbauan saya para rektor, tolong mahasiswa diberitahu jangan sampai turun ke jalan. Nanti kami ajak dialog," kata Nasir kepada wartawan yang menghadangnya.
"Kalau mereka orang terpandang pendidikannya, itu turun ke jalan sehingga tidak bisa dikontrol. Apa bedanya nanti dengan (yang) tidak terdidik," imbuhnya.
Menristekdikti juga mengecam tindakan dosen yang mengizinkan mahasiswanya ikut unjuk rasa.
Ia memeringatkan tugas rektor adalah bertanggung jawab untuk mengingatkan para dosen yang tetap mengizinkan mahasiswa berdemo.
"Inilah, yang ini enggak boleh (dosen izinkan mahasiswa demo). Dosen harus ajak dialog dengan baik," kemukanya.
Ada penumpang gelap di balik aksi mahasiswa
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian mengatakan pihaknya melihat ada penumpang gelap dalam demo mahasiswa dan indikasi tindakan anarkis dalam aksi tersebut.
"Kelompok yang melakukan aksi-aksi (anarkis) ini, yang semula murni dari temen-temen, adik-adik mahasiswa, ada pihak-pihak yang memanfaatkan, mengambil momentum ini untuk agenda tersendiri yang lain," sebutnya dalam konferensi pers bersama di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkopolhukam) di Jakarta (26/9/2019).
Supplied
Tito menilai agenda kelompok anarkis ini bukan menolak rancangan undang-undang (RUU) yang dianggap kontroversial, melainkan agenda politis.
"Dengan tujuan politis yaitu power struggle, yaitu dengan tujuan untuk menjatuhkan pemerintah yang sah secara konstitusional."
Kapolri mengatakan ada anggota massa yang tidak mengetahui tujuan aksi, terlebih isu yang dipermasalahkan.
"Tidak paham tentang RUU apa, enggak ngerti. Bahkan ada di antaranya yang mereka mendapat miliaran."
"Di sini kita melihat bahwa fenomena aksi demo yang semula menyuarakan aspirasi, dengan cara damai, berubah menjadi cara-cara anarkis, inkonstitusional, yang melanggar prinsip-prinsip hukum dan demokrasi di negara ini."
"Untuk itulah rekan-rekan sekalian, menghadapi ini ya tentu kita bertindak tegas," utaranya dalam konferensi pers yang turut dihadiri Menkopolhukam, Wiranto, tersebut.