Demo Versi Medsos: Poster Lucu, Galang Dana Publik, hingga Anak STM

- Puspa Hapsary
Sumber :
  • bbc

Demonstrasi mahasiswa di era media sosial jauh berbeda dengan demonstrasi tahun 1998. Kali ini, anak-anak muda turun ke jalan dengan poster lucu, ada komunitas Kpop yang turun tangan, dan dana publik digalang melalui laman internet.

Adinda Nabila, 19 tahun, mahasiswa D3 Tata Rias Universitas Negeri Jakarta, turun ke jalan dengan spanduk bertuliskan "Gapapa makeup-ku luntur, asal bukan keadilan yang luntur", lengkap dengan cap bibir.

"Makeup artist juga boleh turun ke jalan kan?" kata Adinda yang menjelaskan bahwa ini pertama kalianya dia melakukan demonstrasi.

Adinda menceritakan bahwa poster-poster dibuat bersama teman-teman sekelasnya. Ada yang membawa kertas, spidol, dan salah satu memberi ide tulisan. Mereka kemudian berangkat bersama dengan TransJakarta dari kampus.

"Saya ikut demo salah satunya untuk mematahkan asumsi masyarakat tentang mahasiswa tata rias yang manja dan apatis. Ada loh jurusan yang jauh dari politik tapi ikut serta, jurusan yang 99 persen isinya perempuan semua tapi ikut turun aksi. Kami bergerak untuk membela bangsa," kata Adinda.

Jika dulu poster protes bernada serius, dalam protes mahasiswa 23-24 September banyak ditemukan poster bernada lucu. Gerakan protes di banyak kota di seluruh Indonesia juga diikuti para mahasiswa yang sebelumnya apatis dan tidak peduli dengan kondisi politik.

"Harga skin care mahal, kalau saya sampai turun ke jalan berarti ada yang salah dengan birokrasi," demikian bunyi poster Rachel Camilla, mahasiswa Universitas Tadulako di Palu, Sulawesi Tengah.

"Selama ini saya tidak pernah mengikuti politik dan aksi, lebih pilih santai di rumah merawat diri. Tapi kali ini aku kesal banget dan ingin demo untuk menyuarakan pikiran bahwa kami warga Indonesia tidak setuju dengan DPR," kata Rachel, 22 tahun.

Dari berbagai tuntutan mahasiswa, Rachel menyatakan bahwa RKUHP tentang aborsi dan pasal tentang korupsi yang membuatnya tergerak untuk turun ke jalan.

Dari Solo, poster bertuliskan "DPR medot janji, sumpahmu palsu koyo mantanku" (DPR ingkar janji, sumpahmu palsu seperti mantanku) diangkat oleh Rika Rianti, mahasiswa berusia 20 tahun dari Universitas Sebelas Maret.

"Sebelum dilantik DPR banyak berjanji. [...] Tapi janji tinggal janji, rakyat mana yang tidak kecewa? Seperti halnya mantan, pas awal janji-janji tapi akhirnya mengkhianati," kata dia.

Mela Anggraini, 20 tahun, mahasiswa jurusan Administrasi Negara Universitas Sjakhyakirti Palembang yang membawa poster "kukira hatiku saja yang tidak sehat, ternyata negeri ini juga", berharap negara dan rakyat berdamai untuk kesejahteraan rakyat.

Penggalangan dana melalui media sosial untuk membiayai demonstrasi mahasiswa 23-24 September 2019 berhasil mengumpulkan Rp175 juta. Jumlah ini berkali lipat lebih banyak dari target awal Rp50 juta.

Dana ini dipakai untuk membeli makanan para peserta aksi, menyewa ambulans untuk berjaga di sekitar lokasi aksi, sampai membayar biaya pengobatan mahasiswa yang terluka. Hingga Selasa malam (24 September 2019), uang yang sudah terpakai sebesar Rp 80 juta.

Dana ini juga dipakai untuk mengirim ambulans Rabu (25/09) malam.

Ananda Badudu, inisiator penggalangan dana melalui website Kitabisa, menjelaskan bahwa inisiatifnya menggalang dana berasal dari keinginan untuk memberikan dukungan pada gerakan yang mengkritik pemerintah dan mendukung tuntutan yang beredar di media sosial.

"Kami ingin memberi kanal agar orang dapat mendukung secara moril kepada mereka yang turun ke jalan, tapi juga berkontribusi secara materil, mendukung langsung dengan dana, karena aksi butuh dana," kata Ananda.

Untuk penyaluran dana, dia langsung datang ke lapangan untuk menemui perwakilan mahasiswa, yang tidak begitu saja menerima.

"Tingkat kehati-hatian mereka sangat tinggi. Ketika saya bilang saya ingin menyalurkan dana publik, masih ada resistensi," kata mantan wartawan Tempo ini.

"Tapi sekarang saya mengerti, karena potensi disusupi agenda-agenda lain juga masif. Jadi kehati-hatian mereka sangat diapresiasi," kata Ananda.

Ellen Livi, mahasiswa Universitas Indonesia yang fotonya sempat viral di media sosial menjelaskan bahwa motivasinya ikut demo bukan untuk menggulingkan pemerintahan, baik DPR maupun Presiden.

"Alasan turun ke jalan supaya DPR bisa mendengarkan apa yang jadi keresahan kami, karena kami resah akan sikap DPR dalam perancangan UU," kata Ellen.

Semua dana yang digunakan di lapangan disertai dengan kuitansi dan dipublikasikan di Twitter @anandabadudu, dan hasil penggunaannya akan dilaporkan secara terbuka. Ananda menjelaskan bahwa dia tak sendiri dalam bekerja, tapi didukung oleh banyak teman dan sukarelawan.

"Ini mungkin pertama kalinya Kitabisa dipakai untuk kegiatan politik," kata Ananda yang juga menulis lagu rap berisi kritik pada pemerintah.

Perang media sosial

Media sosial juga dipakai oleh gerakan mahasiswa dipakai sebagai alat koordinasi dan juga penyebaran informasi.

"Ini zaman baru di mana media sosial banyak digunakan oleh generasi muda," kata pengamat media sosial Ismail Fahmi. "Trending topic dikuasai oleh mahasiswa, demonstran dan para pendukungnya."

Beberapa akun menyebarkan panduan berdemo damai, sampai cara mematikan gas air mata yang dilakukan oleh demonstran di Hong Kong.

Mereka yang tidak ikut berdemo, mendukung dengan caranya sendiri. Puspa Hapsary misalnya, seorang ilustrator muda yang ingin mendukung gerakan dengan menyebarkan ilustrasi poster mahasiswa yang berdemo. "Silakan dibagikan, biar semua tahu kalau Indonesia sedang tidak baik-baik saja," kata dia.

Menurut Ismail, pengaruh gerakan mahasiswa di media sosial, khususnya Twitter, sangat masif karena didukung secara nyata oleh publik.

"Misalnya tagar #gejayanmemanggil, sangat masif karena sudah ada gerakan offline, didukung gerakan online, sehingga percakapannya sangat bagus," kata pendiri Drone Emprit.

Gerakan di media sosial itu "dilawan" oleh tagar pro-pemerintah yang mendukung Presiden Jokowi dan menjadi trending topic.

"Tapi gerakan pro pemerintah ini tidak membangun percakapan, karena tidak natural. Meskipun sudah didorong oleh akun yang memberikan hadiah-hadiah, kemunculannya hanya sebentar," kata Ismail.

Anak STM dan aktivis baru dengan foto bintang kpop

"Temuan saya dari mengamati media sosial adalah bahwa gen-Z, generasi muda sebenarnya peduli," kata Ismail Fahmi.

Dia menunjuk ke selebritas media sosial Awkarin yang turun ke jalan, solidaritas penggemar pop Korea, yang biasa disebut K-popers, dan anak STM yang menguasai percakapan media sosial dengan kata kunci "anak STM".

"Ada juga kekuatan besar berwujud anak STM, dengan alasan kakak-kakak mahasiswa dihajar polisi, mereka pun maju," kata dia. Sehari setelah demo mahasiswa pada hari Rabu 24 September, siswa Sekolah Menengah Kejuruan turun ke jalan untuk berdemo di depan DPR. Aksi itu diiringi percakapan media sosial yang sangat pesat, mengalahkan tagar lainnya.

Pada hari itu, percakapan terpusat pada anak STM dengan tagar lain mengelilinginya.

"Ini nuansa yang baru, mereka sebagai gen-z yang masih membawa ciri media sosial mereka, seperti K-popers yang avatarnya artis korea dan turun ke jalan dengan baju blackpink," kata Ismail.

Di balik itu, komunitas ini kreatif dan punya solidaritas tinggi sehingga mereka bisa menyuarakan isu dengan lantang.

"Mereka yang biasanya menyembunyikan diri di media sosial, turun ke lapangan dan merisikokan jati dirinya terbongkar di antara komunitasnya," kata dia. Tagar yang dipakai oleh komunitas ini adalah #diperkosanegara, yang terkait dengan Rancangan KUHP yang dinilai akan berdampak negatif bagi mereka.

"Komunitas mereka mengajarkan solidaritas, dan ketika ada masalah nasional dan mereka turun tangan, kekuatannya cukup besar," kata Ismail.