Perumus UU KPK Sebut Revisi Layaknya Service Mobil

Pakar hukum Romli Atmasasmita memberi keterangan dalam rapat dengan Pansus Angket KPK di DPR.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Reza Fajri.

VIVA – Salah seorang perumus Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Romli Atmasasmita menilai, revisi UU KPK adalah hal yang wajar untuk mengembalikan semangat dan cita-cita dibentuknya lembaga antirasuah tersebut.

Selain itu, ia menyebut pembahasan revisi UU KPK juga sudah memenuhi unsur Yuridis, Filosofis dan Sosiologis. Dia menilai UU KPK dalam praktiknya ada yang tidak sesuai dengan situasi di lapangan sehingga harus direvisi.

"Karena sejak 2002 dipraktikkan UU itu, tapi dalam praktik ada yang tak betul. Kaya mobil saja, mobil dipakai lima tahun tak diservis-servis apa ini jadi logika harus benar yang nolak, masa baju butut dipakai terus. Baju saja hancur-hancuran," kata Romli Atmasasmita kepada wartawan, di Jakarta, Selasa, 10 September 2019.

Romli menjelaskan, dari aspek filosofis, revisi UU tersebut akan mengembalikan marwah dan jati diri yang sebenarnya, ketika dibentuknya KPK sebagai lembaga yang fokus menangani permasalahan korupsi.

Romli memberikan contoh soal menghilangnya peran strategis KPK dewasa ini. Menurutnya, hal itu dapat dilihat dari tugas lembaga antikorupsi soal masalah koordinasi dengan pihak Kejaksaan Agung, Polisi dan Kementerian terkait.

Menurut Romli, untuk saat ini pihak KPK terkadang tidak melakukan koordinasi dan supervisi, apabila melakukan penindakan dengan lembaga-lembaga tersebut. Padahal, tugas utama dari KPK adalah melakukan koordinasi selain penindakan.

"Kenapa perlu koordinasi karena KPK dianggap superbody lembaga independen, karena kewenangannya lebih dari jaksa, polisi. Lebihnya KPK bisa koordinasi supervisi di jaksa dan polisi, jika ada masalah bisa ambil alih. Sebaliknya polisi, jaksa tak bisa ambil dari KPK," ujar Romli.

Selain itu, Romli yang mengkritisi soal kewenangan penyadapan KPK. Menurutnya, KPK boleh melakukan penyadapan tanpa izin dari pengadilan. Berbeda dengan pihak dari Kejagung dan Polisi. Lalu, soal penanganan perkara yang di bawah Rp1 miliar.

Jika ditinjau dari peran supervisi yang dimiliki KPK, kata Romli, seharusnya apabila menemukan adanya indikasi praktik korupsi, KPK harus mengutamakan koordinasi dengan lembaga terkait.

Apabila memang masih ditemukan “permainan” setelah terjalinnya koordinasi itu, kata Romli, baru KPK melakukan penindakan. Mengingat, tugas utama KPK adalah koordinasi, supervisi, baru penindakan.

"Baru penyidikan, baru tuntutan ke pengadilan itu maksudnya tugas KPK korsup dan penyidikan jangan kebalik," ujar Romli.

Kemudian, dari aspek sosiologis, Romli menyebut, saat ini tidak seluruh suara masyarakat bulat memberikan dukungan kepada KPK. Hal itu dapat dilihat dari respons masyarakat, yang pro dan kontra dari pembahasan revisi UU KPK.

"Pertimbangan sosiologis kita lihat dulu KPK, waktu kita bikin dukungan masyarakat luar biasa dukungan institusi pemberitaan 100 persen. Sekarang lihat revisi pro kontra ada yang mau, ada yang tak usah," kata Romli.

Di sisi lain, Romli menyebut, cita-cita dibentuknya wadah pegawai KPK juga melenceng dari aturan yang ada. Mengingat, wadah itu seharusnya dibentuk untuk fokus ke masalah internal bukan eksternal di luar KPK.

"Sekarang lihat pegawai KPK disiplin tidak, ada pegawai KPK punya wadah pegawai KPK, bukan untuk demo. Nah ini kejadiannya ekternal diurusin. Itu juga sudah langgar aturan tuh. Jadi disiplin sudah amburadul," kata Romli. (ren)