Jokowi Didesak Tegas dan Serius Ungkap Kasus Pembunuhan Munir
- VIVA/Foe Peace Simbolon
VIVA – Ketua Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) Usman Hamid mendesak Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar tidak berhenti mengungkap kasus aktivis HAM Munir Said Talib yang dibunuh pada 7 September 2004.
Meski 15 tahun telah berlalu, Presiden dan DPR masih dapat menuntut aktor intelektual atas pembunuhan berkonspirasi ini ke meja hijau. Selama ini, negara hanya mampu menyeret pelaku lapangan.
Usman menilai, pengungkapan kasus Munir tidak akan sulit jika pemerintah benar-benar tegas dan serius. Caranya adalah membuka dan menindaklanjuti rekomendasi isi laporan yang disusun oleh Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF Munir).
“Jika Presiden Jokowi merasa enggan untuk melanjutkan TPF semasa SBY tersebut, maka Presiden Jokowi sebenarnya dapat membuat keputusan yang baru, lebih baik dan efektif dalam mengungkap kasus pembunuhan ini,” kata Usman kepada VIVAnews di Jakarta, Senin, 9 September 2019.
TPF dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 111 Tahun 2004 dan telah bekerja dalam waktu enam bulan untuk mengumpulkan keterangan saksi dan bukti–bukti lainnya. Sejumlah nama, di luar Pollycarpus, disebutkan dalam laporan guna diselidiki lebih lanjut, karena diduga terlibat pembunuhan Munir.
"Tapi, pemerintah belum juga mengumumkan dan menindaklanjuti isi laporan tersebut menimbulkan tanda tanya besar mengenai siapa saja yang terlibat, dan mengapa hingga saat ini tidak pernah diadili di pengadilan," katanya.
Sejauh ini, segala upaya telah dilakukan oleh koalisi, termasuk dengan mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP) pada 2016 saat dikabarkan kalau laporan TPF tersebut tidak di Kementerian Sekretariat Negara.
Upaya hukum ini menghasilkan sebuah fakta bahwa dokumen laporan TPF adalah dokumen yang terbuka untuk publik, sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menolak mengumumkan laporan tersebut.
Namun, alih-alih melaksanakan putusan tersebut dengan mengumumkannya, Presiden melalui Kemensetneg justru mengajukan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan alasan bahwa laporan tersebut tidak dimiliki atau dikuasai oleh Presiden maupun Kemensetneg.
Alasan-alasan ini, sayangnya, justru diafirmasi oleh PTUN yang mengabulkan keberatan tersebut dengan menyatakan bahwa dokumen laporan TPF bukan merupakan dokumen publik, sehingga karenanya tidak dapat diakses oleh publik.
Pernyataan itu pun diperkuat oleh adanya putusan Kasasi Mahkamah Agung pada 2017, meski hingga saat ini pihak terkait masih belum menerima salinan putusan tersebut. Lambannya pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung ke Suciwati selaku istri dari korban maupun kuasa hukumnya merugikan yang bersangkutan untuk dapat melanjutkan langkah hukum lainnya.
"Sekali lagi, Kasum mendesak Presiden Joko Widodo dan DPR menunjukkan sikap tegas dan serius dalam mengungkap pembunuhan," katanya.