ICW: Yang Mendesak Revisi UU Tipikor, Bukan UU KPK
- ANTARA FOTO/Galih Pradipta
VIVA – Indonesia Corruption Watch mengaku heran dengan DPR karena keputusannya untuk mempercepat revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 30 Tahun 2002. Padahal yang mendesak kini adalah merevisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, Undang-Undang KPK pada dasarnya masih sesuai dengan perkembangan zaman untuk memberikan kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi. Belum ada satu pun pasal krusial yang harus diubah untuk menguatkan peran KPK.
"Kita sangat tidak setuju dengan [revisi] itu. Pandangan kita, yang dibutuhkan sekarang bukan revisi Undang-Undang KPK tapi revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," katanya dalam sebuah forum diskusi di Jakarta, Sabtu, 7 September 2019.
Undang-Undang Tipikor, katanya, lebih krusial untuk direvisi, lantaran pasal-pasal di dalamnya ada yang belum memuat mandat Konvensi PBB Antikorupsi tahun 2003 yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Beberapa mandat yang belum diakomodasi dalam UU Tipikor, di antaranya perdagangan pengaruh, korupsi di sektor korporasi, memperkaya diri sendiri secara tidak sah dan tidak wajar, perampasan aset, hingga pelayanan publik. Karena sudah diratifikasi, pemerintah dan DPR harus segera melaksanakannya dalam undang-undang.
"Karena ada mandat un convention against corruption atau angket di 2003 yang mewajibkan negara peserta untuk mengimplementasikan. Pertama, credit in influence, perdebatannya di kasus Luthfi Hasan Ishak dan kasus Rommy, apakah KPK berwenang atau tidak usut perkara itu. Kedua, peningkatan harta kekayaan yang tidak wajar. Ketiga, korupsi sektor swasta," tegasnya.
Karena itu, dia menegaskan, ICW menilai bahwa langkah DPR untuk mempercepat revisi Undang-Undang KPK sangat kontraproduktif dengan upaya-upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. DPR tidak memiliki kecermatan yang kuat untuk menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia. (ase)