Revisi UU KPK, ICW Sebut DPR Ingin Sulit Ditangkap

Petugas membersihkan logo Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVAnews - Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menilai, Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tak hanya untuk melemahkan KPK, melainkan akal-akalan elite supaya sulit ditangkap komisi antirasuah.

"Jadi (DPR) jangan juga nambah-nambahin persoalan dengan membahas soal-soal yang tidak terlalu penting menurut publik, meski menurut elite itu penting supaya mereka tidak mudah juga ditangkap oleh KPK," kata Adnan saat dihubungi awak media, Kamis, 5 September 2019.

Adnan menilai, usulan DPR itu menambah persoalan bangsa dan Presiden Jokowi di tengah-tengah kisruhnya Papua dan pemindahan Ibu Kota Negara. Adnan mengatakan, DPR semakin mempersulit negara dengan mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

"Soal capim KPK juga menyisakan masalah, RUU KUHP-nya juga menyisakan masalah, yang menurut teman-teman kok lebih kolonial daripada peninggalan kolonialnya," ujarnya.

Adnan lebih jauh mengatakan, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber yang dibahas DPR RI juga membawa masalah serius bagi negara. Dia menilai, semua RUU ini punya agenda tersembunyi, terlebih pembahasannya disuarakan di akhir periode.

"Nah, di situ ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dipatuhi, yang itu harus melibatkan stakeholder dalam penyusunan draftnya. Supaya nanti ketika menjadi UU itu hidup, berguna, bermanfaat untuk tujuan UU itu sendiri," kata Adnan.

Adnan sendiri menganggap, setiap RUU yang dibahas oleh DPR RI tidak pernah menggandeng pihak terkait. Seharusnya untuk mendorong sebuah regulasi yang baik, pihak terkait sebagai pengguna aturan wajib diajak, dan sudah mandat konstitusi.

"Kalau bicaranya pemberantasan korupsi, berarti dia menjadi efektif, dalam upaya pemberantasan korupsi. Kalau dia ingin menghindari masyarakat dari hoaks harus efektif, bukan malah jadi peluru yang bisa mengancam semua orang, bahkan secara langsung mengancam esensi dari demokrasi di Indonesia," katanya.

Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengkritik keputusan DPR tersebut. Menurut Fajri, keputusan DPR melanggar hukum.

"Pengesahan itu melanggar hukum karena tak termasuk dalam RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019, yang sudah disepakati bersama antara DPR dan Pemerintah," kata Fajri dalam keterangannya, Kamis, 5 September 2019.

Fajri menjelaskan, berdasarkan Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, penyusunan RUU dilakukan berdasarkan atas Prolegnas. Menurut Fajri, ketentuan tersebut sudah diatur lebih teknis dalam Tata Tertib DPR.

"Pasal 65 huruf d Tata Tertib DPR RI menyatakan bahwa, 'Badan Legislasi bertugas menyiapkan dan menyusun RUU usul Badan Legislasi dan atau anggota Badan Legislasi berdasarkan program prioritas yang sudah ditetapkan'," ujarnya.

Lebih jauh, dikatakan Fajri, pada Pasal 65 huruf f Tata Tertib DPR menyebutkan bahwa Badan Legislasi bertugas memberikan pertimbangan terhadap RUU yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi di luar prioritas RUU atau di luar RUU yang terdaftar dalam Prolegnas untuk dimasukkan dalam Prolegnas perubahan.

"Dari ketentuan itu dapat dilihat bahwa seharusnya yang dilakukan oleh Baleg DPR adalah untuk diusulkan menjadi RUU prioritas dalam Prolegnas perubahan, tidak langsung menjadi usul inisiatif," ujarnya.

Fajri menekankan, berdasarkan argumentasi ini, PSHK menyesalkan langkah-langkah DPR RI yang menunjukan ketidakpatuhannya terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

"Termasuk juga ketentuan internal kelembagaannya sendiri, yaitu Tata Tertib DPR," katanya.

Selain itu, PSHK juga mendesak Presiden Jokowi untuk tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR, sehingga proses pembahasan tidak dapat dilaksanakan.

"Presiden Joko Widodo harus fokus pada RUU yang sudah masuk sebagai prioritas dalam Prolegnas 2019 yang sudah disepakati bersama DPR sebelumnya," kata Fajri.

Menilik draf RUU KPK inisiatif DPR yang baru saja disetujui, ada beberapa poin krusial yang bakal dibahas nantinya. Di antaranya mengenai penyadapan, dewan pengawas, kewenangan SP3 (menghentikan perkara) dan penyidik KPK. [mus]