Penghasilan Bekasi untuk Jawa Barat Paling Besar
- Eko Priliawito
VIVA – Sebelum kasus Papua meledak, jagad media negeri ini diramaikan oleh berita tentang Bekasi, yang kabarnya akan mengajukan diri untuk menjadi bagian dari DKI Jakarta. Isu tersebut bergulir dengan cepat dan sempat menjadi trending topic pembicaraan di jagad maya.
Isu ini bergerak dan menjadi ramai, sebenarnya justru dimulai dari pernyataan Wali Kota Bogor, Bima Arya, yang ingin mengajak Bekasi, menjadi bagian dari Provinsi Bogor Raya, yang ingin diwujudkan.
Menjawab isu tersebut, Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi mengatakan, jika memilih, Bekasi justru sangat ingin menjadi bagian dari DKI Jakarta. Keinginan itu segera menjadi perbincangan ramai di media sosial.
Rahmat Effendi sontak menjadi buruan wartawan. Isu Bekasi akan bergabung ke DKI, semakin kencang berembus.
Wali kota yang biasa disapa Bang Pepen ini mengaku sangat siap, jika Bekasi diajak gabung ke Jakarta. Dia yang lahir di Bekasi, Jawa Barat, 3 Februari 1964, tetap menjaga hubungan baik dengan DKI.
Baginya, yang telah menjabat sebagai wali kota sejak 3 mei 2013, terlihat sangat menguasai masalah dan data yang ada di DKI Jakarta.
Bang Pepen bertandang ke kantor VIVAnews dua pekan lalu. Kepada tim redaksi yang menemuinya, ia menceritakan berbagai hal tentang idenya untuk bergabung dengan DKI.
Seperti apa rencana bergabung tersebut? Bagaimana teknisnya? Apa untung ruginya, jika Bekasi bergabung dengan DKI? Pria berusia 55 tahun ini menjawab pertanyaan VIVAnews dengan energik dan penuh humor. Berikut petikannya:
Saat ini muncul gagasan Bekasi, mau pindah status dari bagian Jawa Barat ke DKI Jakarta. Apa pertimbangannya dan seperti apa prosesnya?
Pertama, gagasan itu disampaikan pak Wali Kota Bogor Raya. Di antara Bogor Raya itu ada kabupaten kota lain yang bisa beririsan dengan kabupaten dan kota Bekasi. Makanya, saya menyampaikan sebagai kepala daerah, tentunya ada tujuan, bagaimana akselerasi sebuah pembangunan itu untuk meningkatkan proses peradaban. Nah, dihitung ruginya, manfaat, dampak yang ada dari sebuah proses kalau Bogor itu nanti pada pembentukan provinsi, lebih cenderung, atau penataan dari salah satu kabupaten Bogor, wilayahnya masuk ke kota Bogor.
Sebagai orang nomor satu di Bekasi, bagaimana Anda menanggapi isu ini?
Kalau saya di kota Bekasi, tentunya yang melihatnya kebutuhan loncatan proses pembangunan. Karena dilihat dari aspek fiskal, dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi, Kota Bekasi sudah jauh meninggalkan kota-kota lain yang ada di Jawa Barat. Laju pertumbuhan ekonominya paling tinggi, kemampuan fiskalnya terbesar subsidi pada Jawa Barat, dan lihat nilai historisnya. Jadi, residen Jatinegara dulu bagian dari Bekasi, tahun 50-an. Tahun 50-an terbentuklah Bekasi, tahun 76, wilayah Cilincing dan Cakung kita serahkan pada DKI, sehingga batas wilayahnya adalah di utara (cek menit 02.12) Pondok Gede. Tahun 1996, dengan UU nomor 9, pemekaran dari kabupaten ke kota. Induknya 69 tahun, anaknya baru 21 tahun, tetapi laju prospek pembangunannya jauh melampaui induknya. Jauh melampaui kabupaten kota yang ada di Jawa Barat. Kota Bogor saja tadi disampaikan pak wali kotanya, APBD-nya baru Rp2,6 triliun, kita sudah hampir Rp7,3 triliun. Subsidi terbesar, dana perimbangan, kalau macet di kota Bekasi, karena pajaknya nomor satu di Jawa Barat. kita kirim ke Jawa Barat.
Merasa Bekasi jadi anak tiri?
Pertama, keseimbangan pembangunan antara kabupaten kota, yang harusnya kota Bekasi mendapatkan perhatian, ini agak tersendat. Pendidikan, kesehatan, seolah-olah kota Bekasi diakselerasikan sama dengan yang ada di Jawa Barat. Ya enggak bisa. Kota Bekasi harus lebih jauh, karena sudah meninggalkan jauh saudara-saudaranya yang lebih dulu lahir di Jawa Barat. Karena itu pendekatan kultur, budaya, bahasa, historis sejarah, terus kemampuan fiskal dari provinsi dan perhatian DKI pada kita sangat luar biasa. Kita bisa bangun flyover, perpanjang flyover. Kalau proses kita, mungkin 25 tahun masa jabatan wali kota, belum tentu kita bangun sekaligus dalam tahun yang sama. Tahun ini kita tercatat dana kompensasinya Rp350-an (miliar), terus dana kemitraan yang kita bangun, kita dapat hampir Rp700-an miliar. Itu seperempatnya atau 30 persennya APBD kota Bogor. Jadi, pendekatannya bagaimana proses ini mempercepat semua proses pembangunan
Apa yang bisa menghalangi bergabungnya Bekasi ke DKI?
Ada ketakutan nanti, kalau bergabung pemiihan DPRD-nya enggak ada, karena kotanya administratif. Pada saat itu melalui proses panjang, perubahan UU, tadi disampaikan oleh Kang Yayat (Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna), berarti ada nilai bargaining. Enggak pa-pa, saya gabung secara administratif ke DKI, proses pilegnya tetap berjalan, proses pilkadanya tetap berjalan, secara administratif ke DKI. DKI enggak akan mempersoalkan berapa kemampuan pendapatan kita, mungkin dia bisa subsidi 10 atau 20 kali apa yang membuat kita merasa menjadi bagian provinsi. Bisa saja, take home pay-nya, lembaga politik, atau wali kota bisa satu atau dua kali atau tiga kali dari yang didapat pada saat sekarang. Ini kan, semuanya dalam bentuk, masih dalam proses wacana. Tetapi, ini begitu cepatnya beritanya. Sama dengan Bekasi pada saat 2012, dibilang kota Bekasi ini jauhnya sama dengan planet, dengan UC, dengan ini. Dia enggak tahu, dua tiga tahun kemudian, dia bisa bangun stadion, dia bisa bangun rumah sakit, dia bikin planet sendiri, itulah hebatnya kota Bekasi.
***
Bagaimana respons Jakarta?
Kalau Jakarta, saya dengar pak gubernur (Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan) bilang menunggu Perintah Pusat. Kalau kita lihat secara politis, saya menunggu Perintah Pusat. Apa pun kebijakannya dan dari kacamata tata ruang, integrasi, persoalan transportasi, itu menyelesaikan persoalan berpuluh-puluh tahun yang enggak selesai. Apalagi, kalau bisa merekrut Depok, Bogor, karena persoalan banjir ada di hulu, di Cianjur. Persoalan transportasi ada di dalam mitra, kalau tata ruangnya masih di Jawa Barat, tata ruang masih dipegang Banten, enggak selesai itu barang. Maka harus satu, atau kalau nanti pusat pemerintahan pindah ke Kalimantan, enggak ada masalah, dan itu enggak akan mengurangkan nilai tambah proses ekonomi yang ada di Jakarta. Enggak mungkin penduduk Jakarta dan Bekasi, eksodus ke Kalimantan, enggak mungkin.
Bagaimana respons Pemerintah Pusat?
Ya, saya baru-baru saja baca, kalau Mendagri bilang ini enggak boleh moratorium. Saya bilang, ini kan otonomi. Itu adanya di kabupaten kota, sepanjang fiskalnya mampu, terus dari aspek politisnya tak berdampak pada kehidupan sosial. Kenapa tidak? Karena seperti Bogor, umpamanya, pembentukan, berarti itu kan untuk mempercepat. Pak gubernur bilang, pemekaran itu pada esensi apa, esensinya adalah untuk mempercepat proses. Kalau sekarang kita ke Bandung jauh. Orang Bogor yang di Leuwiliang, cukup sampai ke kota Bogor, ketimbang dari Leuweliang sampai ke Bandung. Lalu yang di kota bekasi, kalau pembangunannya biasa-biasa saja, jalan di tempat, maka kota Bekasi harus loncat. Jadi, harus dinamis betul pembangunannya, dan kita cara berpikirnya tak boleh text book lagi, harus think out of the box, keluar dari persoalan rutinitas yang ada.
Apa keuntungan bagi masyarakat Bekasi?
Percepatan pembangunan. Kota Bekasi, kalau aturan iyalah, gabung ini harus bikin DPRD kota, harus bikin DPRD provinsi, saat kepentingan masyarakat di atas dari kepentingan politik, harusnya kan runaway. Kenapa? Oh, ini nanti eskalasi pembangunannya, oh ini perkembangan kotanya, oh ini tingkat kesejahteraan, oh ini pendidikan. Kota Bekasi sekarang ini kan, dua tahun yang lalu sebelum UU Nomor 23 tentang Pendidikan Menengah diambil provinsi, kita sudah gratis. Sekarang begitu diambil provinsi, bayar lagi. Makin sulit, karena kepala sekolahnya diangkat di sana. Okelah kewenangan diangkat oleh gubernur, tetapi kewenangan pemetaan, kewenangan kemudahan dan kewenangan pengelolaan, operasional sekolah kami mampu. Jangan disamakan dengan Pangandaran, jangan disamakan dengan Ciamis. Insentif guru di Ciamis Rp200 ribu, kami berikan Rp3 juta. UMK (Upah Minimum Kabupaten) kita paling tinggi, kalah DKI. Kita kalah sama Karawang, Rp30 ribu kalau enggak salah. UMK, memang sudah luar biasa.
Menurut Anda, apa yang bikin wali kota Bogor kepincut?
Bukan persoalan kepincutnya. Dia lagi menggagas, karena dia, saya dari BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ), dari PBB (Pajak Bumi dan Bangungan), saat eskalasai ke depan ternyata kemampuan fiskal warganya sudah berkurang. Dia kan butuh wilayah, kalau saya enggak, wilayahnya kecil, pendapatannya besar. Karena kota kita betul-betul dalam esensi jasa, bagaimana memberikan pada pihak ketiga jaminan dan perlindungan hukum, orang menginvestasikan di situ. Proses-proses itu kita jamin betul, sehingga orang berlomba. Makanya, sekarang coba lihat, jadi rebutan. Mungkin, sudah mendekati Shanghai, lima tahun ke depan. Mau apa sekarang? Mau Bandar Jakarta, enggak perlu lagi ke Ancol. You mau Snow World, enggak perlu lagi ke luar negeri. Di Singapura enggak ada. Ini terbesar se-Asia Tenggara. Cukup you bayar Rp275 ribu, sudah ada 20 persen uang pajaknya ke saya. Jadi, kalau saya buka selama setahun, ada satu juta pengunjung. 1 juta x 275 ribu, kali 20 persen. Berapa pajaknya? Itulah yang saya buat kartu sehat.
Apa yang sebenarnya menjadi andalan kota Bekasi?
Sebenarnya, kita enggak menawarkan apa-apa. Kita hanya menawarkan, ini warga kota Bekasi, 60 persen beraktivitas di Jakarta. Bikin kemacetan, makanya dalam proses kemitraan saat pak Presiden masih gubernur dulu, ayo kita ubah. Jangan lagi Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, hanya dibilang penyangga. Kami yang kecil, masa menyangga yang besar. Bermitra dong.
Gambaran target berapa lama proses ini?
Yang pertama, saya harus melakukan kajian survei. Entah itu jajak pendapat, entah itu survei. Kalau kita lihat secara historis, 60, 70, 80 persen itu, karena prosesnya proses percepatan. sambil berjalan aja, kan di politik tidak satu tambah satu sama dengan dua, tapi proses kita lalui.
***
Apa dampaknya bagi Gubernur Jabar?
Gubernur Jawa Barat, dia kehilangan fiskal, kedua kehilangan wilayah.
Berapa?
7,3 triliun. Saya, dana perimbangan saja dua triliun. PAD (Pendapatan Asli Daerah) saya terbesar di Jawa Barat. Minimal diambil dari fiskalnya kota Bekasi, ya tujuh koma. Berarti kalau Kota Bekasi ini, beliau enggak berapa triliun lagi, berarti kan berkurang, Bogor, Depok, Bekasi, Karawang atau Cianjur, 2/3 fiskalnya APBD Jabar. Jadi, yang takut sebenarnya bukan kita, yang takut itu daerah-daerah Pangandaran, Ciamis, Tasik. Mohon maaf, kalau ada yang dari sana ya. Karena, kita Rp2 triliun itu dana perimbangan seperti BPHTB, pajak kendaraan, itu kan disubsidi ke daerah. Jadi, kalau jalannya di daerah sana bagus, itu duit dari pajak orang yang punya mobil di kota Bekasi.
Jadi namanya Jakarta Tenggara nih?
Saya cetusin itu. Juga ada petinggi-petinggi yang gulirkan itu. Jadi saya petik, Jakarta Tenggara. Ya nanti, whatever-lah kalau mungkin, Jakarta Timur Laut, apalah artinya sebuah nama. Jakarta Bekasi bisa. Ya, pastilan pada saat nanti Pusat Pemerintah pindah ke Kalimantan. Enggak mungkin 10 tahun-15 tahun, lama itu. Pasti kan, ada perubahan undang-undang, perubahan undang-undang tentang pembentukan Daerah Khusus Ibu Kota. Karena sudah tidak ibu kota lagi, berarti ada revisi. Saat revisi itu mungkin kompromi politiknya sudah. Kota Bekasi oke setuju, karena DKI butuh ini, ini termasuk TPA. Terus DPRD, pemilihannya enggak ada masalah, ada 50 anggota DPRD lokal. Artinya, daerah tingkat dua, karena dia provinsi, walaupun ininya jadi daerah administratif, wali kotanya pilkada, kan enggak ada masalah untuk diubah. Yang enggak bisa diubah, kan cuma Quran.
Bagaimana kalau Jawa Barat enggak Rela?
Kalau enggak rela, Jabar enggak rela, saat warga masyarakat kota Bekasi secara politis, karena melihat proses perspektif ke depan lebih bagus, enggak ada yang bisa nahan juga. Ini kan otonomi daerah menentukan, daripada berjalan di tempat, kita harus cari terobosan. Kalau kepemimpinannya liner, enggak bisa mimpi, enggak akan berkembang daerah.
Kabarnya ada yang bikin petisi menolak Bekasi ke DKI?
Sebenarnya enggak perlu ada ketakutan. Kota Bekasi ke DKI atau Bogor bentuk provinsi, ada enggak yang keluar dari NKRI? Enggak ada kan? Dalam konteks peradaban, enggak perlu ada yang takut. Kenapa mesti ditakutin? Masih Indonesia. Bicaranya jangan tidak pemasukan, tetapi bicaranya bagaimana percepatan pembangunan. Kan, enggak bisa 27 daerah ini disamaratakan. Tapi diajak, diakselerasi, jadi ada daerah yang sudah maju didorong, enggak masalah menurut saya. Kalau kehilangan Depok, Bogor, Bekasi, untuk jadi provinsi baru, dan akhirnya lebih maju dari Jabar. Harusnya pemimpinnya juga berhasil, karena bisa memekarkan daerah dan lebih memberikan kemakmuran. Cara berpikirnya seperti itu, jangan "waduh saya hilang." Ini kan masih sama-sama republik. Kecuali, masuk ke bagian ke negara lain. Sederhana cara berpikirnya. Kita enggak lihat dari perspektif politiknya.
Bekasi lebih senang masuk Jakarta atau Jabar?
Kalau saya sebagai pelaku dan tahu, merasakan lebih, lebih memungkinkan dan lebih cepat bergabung ke Jakarta. Tetapi, ada ketakutan, oh nanti DPRD-nya enggak ada. Tingkat duanya administratif, oh nanti enggak ada wali kotanya.
Sudah jajak pendapat ke warga?
Ini kan belum seminggu. Yang minta banyak. Cuma kan kita bingung, kalau yg minta 99 persen minta ke DKI. Kan, nanti pasti ada proses ke DPRD, terus jadi panjang.
Dari dalam pemerintah kota Bekasi, sudah pernah ada kajian?
Kalau kita lihat kajian itu, kan pasti lihatnya secara empiris. Kultur, latar belakang, kemampuan fiskalnya. Tidak ada kekhawatiran akan terjadi eskalasi terhadap proses keuangan. Ada kepentingan politik, ada DPRD, jangan nanti kalau bergabung ditunjuk jadi wali kota administratif.
Bagaimana dengan kemacetan di Bekasi?
Enaknya begini. Setelah ini tugaskan reporter, tunggu pak gubernur di rumahnya. Minta komentar soal mobil di Bekasi, yang datang 10 persen. Sementara, kemampuan secara nasional hanya bisa memperpanjang jalan hanya dua sampai tiga persen. Karena pajaknya besar. Jadi, kalau mobil pemilik di kota Bekasi diampar, jalannya hanya tiga kilo, panjang jajaran mobilnya bisa 30 kilo.
Bagaimana solusinya?
Makanya, sekarang enggak ada perumahan landed kecuali yang kecil-kecil. Perumahan sekarang vertikal. Ada juga patriot transportasi, kita ubah yang jelek-jelek. Kita kandangin, ganti yang 3/4. Nanti transportasi dari Summarecon keliling ke stasiun Bekasi Timur, kita ambil ke Grand Kumalalagon, dan Harapan Indah. Tahapan penataan ruangnya sudah begitu. Mudah-mudahan cepat. Kalau kita lihat, Becakayu 18 tahun enggak selesai. Alun-alun juga sudah ditata. Nanti ada parkir LRT, buat nahan orang ke Jakarta bawa kendaraan. Taruh saja di situ. Ada parkir di RS. Alun-alun. Kita agak ketinggalan. Terus kalau CFD, bisa lihat, bisa merasakan. Nanti di GOR yang jelek, ada GOR terpadu seperti Marina Bay, ada kolam renang.
Apa TPA Bantar Gebang jadi senjata supaya bisa gabung ke DKI?
Enggak, itu tanahnya milik DKI. Kepemilikan masih dalam NKRI, siapapun boleh. Persoalannya tak ada daerah yang bisa berikan jaminan terhadap sampah yang dari DKI. Kalau sekarang kita tolak ke pak gubernur, tak perlu terlalu lama, satu bulan saja Monas bisa ketutup semua. Satu hari produksi sampah DKI mencapai delapan ton. Coba kalikan 80 ton x 30 hari, ada 240 ribu ton. Itu sudah cukup untuk menutup seluruh area Monas. Kita selangkah lebih maju. Yang lain bicaranya pengelolaan sampah, kita sudah pemusnahan. Kita mau dorong terciptanya pusat listrik tenaga sampah. Dan, ini didorong Perpres nomor 35 oleh Presiden. Kita kota ke-3, setelah Surabaya, Sorong, Bekasi. Karena di dunia ini, mungkin enggak ada kota yang punya 9700 ton per hari? Makanya, DKI punya historis yang panjang dari kita. Tahun 1984 pindah dari Cilincing ke sana. Hampir 30 tahunan. Berapa satu juta ton, 120 hektare tingginya, ada yang sampai 27 meter ke atas. Kalau diolah jadi listrik enggak habis 100 tahun, enggak habis, belum dampaknya
Bagaimana pengelolaannya?
Masih DKI. Lahannya milik DKI. Saya berusaha kumpulkan investasi sampah jadi listrik. Yang sudah datang Jerman, Korea, China, Australia. Tetapi, kalaupun dengan intensif DKI 2.000 ton per hari, baru kurangi 8.000, belum kurangi deposit yang ada. (asp)