Teroris JAD Masih Berkembang, Sel Tidur Bangkit Lagi
- VIVAnews/Zahrul Darmawan
VIVA – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyatakan, berkat Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, lebih 400 orang ditangkap karena diduga terlibat dalam gerakan teroris atau paham radikal.
“Jadi setelah Undang-Undang [tentang Terorisme yang] baru, ada di atas 400 pelaku yang kita tangkap,” kata Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius usai menjadi salah satu pembicara di kampus Universitas Pancasila, Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019
Dengan adanya undang-undang baru itu, katanya, BNPT bersama Detasemen Khusus 88 Antiteror menjadi lebih kuat. Itu artinya ruang gerak teroris pun makin sempit sehingga orang-orang yang dicurigai terlibat yang ditangkap lebih banyak.
Berdasarkan undang-undang yang baru, Suhardi menjelaskan, aparat dapat menangkap dan menahan orang-orang yang dicurigai merencanakan teror, bahkan meski sebatas berbaiat kepada kelompok teroris. Berbeda dengan undang-undang yang lama yang mesti mensyaratkan terjadi peristiwa teror untuk menangkap terduga teroris.
Mantan kepala Bareskrim Polri itu menegaskan, BNPT bergerak di bidang pencegahan sedangkan penindakan menjadi Densus 88 Antiteror. Dia berharap masyarakat berperan aktif menangkal sekaligus mencegah tumbuhnya paham radikal.
“JAD (Jamaah Ansharut Daulah) masih berkembang, kita harus waspadai, tapi tidak menutup kemungkinan sel tidur bangkit lagi. Nah peran aktif masyarakat sangat kita harapkan untuk ikut mengawasi dan melaporkan jika ada yang mencurigakan,” katanya.
Generasi muda terutama kalangan mahasiswa, menurutnya, sangat rentan disusupi paham radikal karena banyak yang belum memahami konteks persoalan. “Mereka ini sasaran karena mereka masih muda, masih mencari jati diri, emosi masih belum stabil, cepat sekali responsnya.”
Seiring perkembangan zaman, pola indoktrinisasi para pelaku radikal terhadap korbannya pun berubah dan sekarang memanfaatkan internet. Melalui internet, pola indoktrinasi tak harus tatap muka seperti di masa dahulu, melainkan cukup dengan sarana aplikasi percakapan, video call, atau media sosial.
Salah satu kasus, kata Suhardi, seperti yang terjadi di Sumatera Utara: seorang pemuka agama ditusuk oleh terduga teroris yang terpapar lewat media sosial. “Ada juga kombinasi offline dan online. Ini pola baru karena ada pengaruh teknologi. Paham itu ideologi, dan pelaku ini hanya butuh waktu dua jam untuk meyakinkan orang untuk berbuat sesuai keinginan yang mendoktrin,” katanya.