Peneliti: Jakarta Masih Layak Jadi Ibu Kota

Kawasan Monas, Jakarta.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Ridho Permana

VIVA – Jakarta dinilai masih sangat layak menjadi ibu kota. Pembenahan yang memakan anggaran hingga Rp571 triliun menjamin kelayakan itu.

Presiden Joko Widodo, pada Jumat, 25 Agustus 2019 telah menerima dua kajian terakhir dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas mengenai pembangunan ibu kota baru untuk menggantikan DKI Jakarta. Setelah kajian itu ditelisik lebih dalam oleh presiden, maka lokasi pasti ibu kota baru di Pulau Kalimantan akan segera diumumkan ke publik.

Sebelum sampai ke situ, Peneliti Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga menilai, pada dasarnya Jakarta masih layak menjabat sebagai Daerah Khusus Ibu Kota. Itu karena Bappenas sendiri bersama dengan pemerintah se-Jabodetabek telah merancang anggaran senilai Rp571 triliun untuk membenahi berbagai infrastruktur Jakarta untuk 10 tahun mendatang.

Kata dia, setidaknya terdapat lima bidang pembangunan yang akan dikerjakan dalam proyek tersebut, yakni transportasi, air bersih, air limbah, perumahan, dan pengendalian banjir. Pembangunan infrastruktur yang masif dan mahal tersebut, menurutnya, bisa membuat Jakarta bebas banjir, lalu lintas lancar, dan urbanisasi terdistribusikan merata pada 2030.

"Jika kita semua yakin akan hal itu, Jakarta masih layak dipertahankan sebagai ibu kota negara," kata dia saat saat dihubungi VIVAnews, Minggu, 24 Agustus 2019.

Dia merincikan, pembangunan di bidang transportasi meliputi jaringan moda raya terpadu atau MRT dari 16 kilometer (km) menjadi 224 km senilai Rp214 triliun. Di samping itu, juga ada pembangunan jaringan LRT dari yang 5,8 km saat ini menjadi 116 km senilai 60 triliun. Kemudian, bus Transjakart dan daerah sekitarnya dari 431 km menjadi 2.149 km senilai 10 triliun. 

"Jalur kereta dalam kota sebidang yang dinaikkan sepanjang 27 km senilai Rp27 triliun, serta revitalisasi angkutan kota hingga 20 ribu unit senilai Rp4 triliun," tuturnya.

Adapun bidang pembangunan penyediaan air bersih, kata dia, dari cakupan saat ini sebesar 60 persen dari total penduduk DKI Jakarta menjadi 100 persen terlayani dengan biaya senilai Rp27 triliun. Sedangkan peningkatan pengolahan air limbah senilai Rp69 triloun dari cakupan layanan 14 persen penduduk menjadi 81 persen penduduk.

"Terakhir; pembangunan 600 ribu unit rumah baru senilai Rp90 triliun serta pengendalian banjir dan penambahan pasokan air senilai Rp70 triliun," ujar dia.

Nirwono menegaskan, dengan adanya pembenahan tersebut, maka alasan pemindahan ibu kota negara ke luar Jawa tidak terlalu mendesak, apalagi terbatasnya dana dan masih banyak prioritas pembangunan lain yang lebih mendesak. 

Sebab, pemerintah selama ini menggelontorkan alasan pemindahan ibu kota karena Jakarta dinilai telah kelebihan beban, tak kunjung bebas banjir dan macet, hingga serbuan arus urbanisasi.