Perjanjian New York dan Sejarah Bergabungnya Papua ke Indonesia

Restoran Wong Solo di Sorong, Papua Barat, jadi sasaran pembakaran massa.
Sumber :
  • istimewa

VIVAnews - Tanah Papua bergolak. Ribuan orang turun ke jalan pada Senin 19 Agustus 2019. Ironisnya, peristiwa itu terjadi dua hari usai negeri ini memperingati hari ulang tahun kemerdekaannya yang ke-74.

Tetapi, takdir seakan tidak bisa dicegah. Indonesia kembali menghadapi ujian dengan pecahnya kerusuhan di Manokwari, Papua Barat. Ribuan warga Papua, termasuk sang Gubernur, Lukas Enembe, satu suara. Mereka menolak dan mengecam keras perilaku rasis terhadap mahasiswa Papua.

Memang, sebelum kerusuhan di Papua, tepatnya di Manokwari, Papua Barat, meletus, ada dua kejadian yang melatarbelakanginya. Pertama, adalah gesekan antara mahasiswa Papua dengan warga, juga sejumlah organisasi masyarakat, dan aparat TNI-Polri di Surabaya. Lalu, kejadian hampir serupa di Malang pada 15 Agustus 2019.

Saat di Malang, puluhan mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Papua, ingin menggelar demonstrasi di Balaikota Malang. Para mahasiswa AMP itu awalnya ingin melakukan demonstrasi tentang perjanjian Indonesia dengan Belanda di New York atau perjanjian New York. Namun, dalam orasinya mahasiswa menyerukan Papua Merdeka.

Hal itulah yang membuat masyarakat di sepanjang jalan menuju Balikota Malang, tidak senang. Mereka meminta aksi mahasiswa AMP dibubarkan, karena tidak setuju dengan keinginan mahasiswa yang meminta Papua Merdeka.

Salah satu yang menarik untuk dicermati adalah soal perjanjian New York. Apa sebenarnya perjanjian yang ingin disuarakan para mahasiswa Papua itu dalam demonstrasi tersebut?

Berdasarkan penelusuran VIVAnews, rupanya, perjanjian itu erat kaitannya dengan sejarah awal bergabungnya Papua ke Indonesia.

Pada 1949, Indonesia dan Belanda menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB) untuk menyelesaikan pertentangan yang selama ini terjadi melalui jalur diplomasi. Dalam perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Mohammad Hatta dan sejumlah tokoh lainnya. Sedangkan Belanda, diwakili Van Maarseveen dan Sultan Hamid II dari Pontianak.

Beberapa hasil dari KMB antara lain, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai sebuah negara yang merdeka, pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949, status Provinsi Irian Barat diselesaikan paling lama dalam waktu setahun setelah pengakuan kedaulatan, dan lain-lain.

Poin persetujuan mengenai Irian Barat (Papua) itu, ternyata menjadi bom waktu bagi Indonesia. Hingga 1961, atau lebih dari 10 tahun sejak berlangsungnya KMB, masalah tersebut belum juga selesai.

Kedua negara, baik Indonesia dan Belanda, sama-sama ingin mendapatkan wilayah tersebut. Belanda menganggap Papua, bukan termasuk wilayah yang harus mereka serahkan kepada RI, karena faktor etnis dan ras yang berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia.

Sedangkan Indonesia, berpendapat sebaliknya. Belanda harus mengembalikan seluruh wilayah bekas jajahannya, termasuk Papua Barat.

Persoalan tersebut, lantas dibawa ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di tengah kebuntuan tersebut, Presiden Soekarno mengambil jalan militer dengan membentuk Komando Mandala untuk merebut wilayah itu.

Langkah Bung Karno itu ternyata berhasil. Belanda gentar dan bersedia berunding. Pada 15 Agustus 1962, dengan campur tangan Amerika Serikat, Indonesia dan Belanda menggelar perundingan di New York.

Maka lahirlah perjanjian New York. Isinya adalah Belanda menyerahkan Papua bagian barat ke Indonesia, melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Tetapi, dengan terlebih dahulu melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).

Pada akhir 1962, dengan pengawasan PBB, kekuasaan Indonesia atas tanah Papua dimulai. Kemudian, pada 14 Juli 1969, Pepera dilaksanakan. Hasilnya, Papua alias Irian Barat bergabung dengan RI.

Sayangnya, sejumlah pihak mencatat, Pepera itu digelar dengan dugaan rekayasa dari Pemerintah Indonesia. Jenderal Soeharto yang kala itu sudah berkuasa menggantikan Bung Karno, mengutus orang kepercayaannya, Ali Moertopo, untuk menggarap tokoh-tokoh Papua Barat yang pada prosesnya mencapai kesuksesan.

Ali yang juga seorang tentara dan ahli di bidang intelijen, menggabungkan cara-cara persuasif dan tekanan kepada mereka. Saat Pepera digelar, tentara dan polisi menjaganya dengan ketat.