GBHN Dihidupkan Lagi, Harus Kekinian Sampai Dianggap Konyol

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir
Sumber :
  • VIVAnews / Ridho Permana

VIVA – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengomentari wacana penghidupan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui amandemen terbatas UUD 1945 kembali mencuat. Muhammadiyah menyarankan wacana itu didialogkan secara komprehensif oleh seluruh kekuatan nasional, dengan begitu konsensus dapat diambil.

"Sebelum melompat, perlu ada konsensus dari seluruh kekuatan nasional, apa yang dimaksud dengan GBHN," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir saat diwawancarai di Jakarta Selatan, Jumat 16 Agustus 2019.

Haedar menjelaskan, persoalan GBHN erat kaitannya dengan peran institusi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pasca amandemen UUD 1945, kewenangan MPR telah berubah, yakni tidak menjadi lembaga tertinggi negara. Karena itu, perlu didialogkan lebih komprehensif.

"Pertama bagaimana mendiskusikan ulang posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang sudah mengalami perubahan setelah amandemen keempat (UUD 1945). Jadi apakah tetap menjadi lembaga tertinggi negara, minus presiden dan wapres yang tidak dipilih oleh MPR. Kalau seperti itu, lembaga tinggi negara yang seperti apa? Maka secara matang posisi MPR dengan keanggotaannya agar tidak mengalami ambivalensi," ucapnya.

Haedar menambahkan, substansi GBHN perlu didialogkan oleh seluruh kekuatan nasional. Misalnya saja tentang defenisi GBHN yang tepat seperti apa, kemudian dielaborasi dengan kondisi kekinian, dan lain sebagainya. 

"Penting dua hal tadi menurut saya, diskusikan secara matang, cari konsensus tentang posisi MPR. Kedua cari konsensus tentang apa yang dimaksud dengan GBHN," tambahnya.

Ketua Konstitusi dan Demokrasi Insiatif Veri Junaidi menambahkan, untuk menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan mempertahankan pemilihan presiden itu adalah pilihan yang tidak tepat.

Veri menilai ada beberapa pihak yang menginginkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Tentu saja gagasan seperti ini akan memperburuk sistem antarlembaga di Indonesia.

"Ada pernyataan bahwa pihak yang menginginkan adanya GBHN, dan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara juga akan tetap mempertahankan pilpres secara langsung. Ini adalah ide yang konyol," ucap Veri Junaidi di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta Pusat, Jumat, 16 Agustus 2019.

Veri juga menjelaskan jika tidak mungkin ada lembaga tertinggi di Indonesia yang lebih tinggi dari pemilihan presiden.

Ia pun mencontohkan jika nantinya MPR kembali menjadi lembaga tertinggi di Indonesia, dan tetap mempertahankan pilpres, lalu apa fungsi dari MPR nantinya. Veri pun curiga jika nantinya fungsi MPR bisa menyandera presiden lewat GBHN dan tidak menjalankannya.

"Sehingga bagaimana mungkin ada lembaga tertinggi negara, kemudian ada lagi lembaga yang lebih tinggi dari hasil pilihan rakyat. Dalam sistem tata negara kita, tidak pas dan nanti bagaimana saat sistem check and balancenya," ucapnya.