Belanda Tertipu Lagu Kiai Wahab: Dikira Pujian, Ternyata Perlawanan
- VIVAnews/Nur Faishal
VIVA – Lagu itu bersyair Arab. Isinya pengobar nasionalisme. Ya Lal Wathan. Lagu itu diperkenalkan di madrasah, pesantren, dan perkumpulan diskusi, dan selalu dinyanyikan hingga terbiasa. Pemerintah Kolonial Belanda kecele. Dikira syair biasa berisi puji-pujian agama, tak tahunya pembangkit perlawanan.
Sedikit data bisa diperoleh soal kapan dan bagaimana proses kreatif Abdul Wahab Hasbullah (Kiai Wahab alias Mbah Wahab) menggubah syair Ya Lal Wathan itu. Pun demikian tentang syair berbahasa Arab dipilih, apakah memang sengaja sebagai pengecoh buat Belanda, atau semata karena lingkungan santri yang menjadi latar hidup sang pencipta lagu.
Entah bercanda, setidaknya taktik mengecoh itu pernah diutarakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Aqil Siroj. "Kalau pakai bahasa Indonesia,” katanya, “maka ditangkap Belanda, karena itu kan lagu penyemangat santri. Paling Belanda ngira kalau mereka yang melafalkan Ya Ahlal Wathan itu sedang tahlil.”
Nahdlatul Wathan
Mbah Wahab dilahirkan dari pasangan Hasbullah Said-Nyai Latifah, keluarga taat beragama dan ulama di Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, pada 31 Maret 1888. Sejak muda, Mbah Wahab dikenal sebagai tokoh penggerak dan pelopor kebebasan berpikir di kalangan umat Islam. Sepak terjangnya mulai dipandang oleh pemuda pergerakan nasional di zamannya sepulang dari menuntut ilmu di Mekah pada 1914.
Tahun itu juga, seperti dijelaskan dalam Peran Media Santri; Kiprah KH A Wahab Hasbullah karya Musthafa Helmy, Mbah Wahab mempersunting Maimunah, putri dari Kiai Musa Kertopaten, Kota Surabaya. Sejak itulah pergaulannya kian luas. Tidak hanya dengan pemuda dan intelektual Muslim, tetapi juga dengan tokoh pergerakan nasional lainnya, di antaranya H.O.S. Tjokroaminoto (tokoh utama Syarikat Islam).
Tercatat beberapa nama yang terjalin dalam pergumulan intelektual dan pergerakan dengan Mbah Wahab. Selain Tjokroaminoto, juga di antaranya dr Soetomo, Kiai Ahmad Dahlan Ahyad Kebondalem, Kiai Ridwan Abdullah Bubutan, Raden Panji Soeroso, arsitek Soenjoto, Mas Mansur (kemudian menjadi aktivis Muhammadiyah), dan saudagar muslim terkenal kala itu, Haji Abdul Qahar.
Pergaulannya yang luas makin membuka pikiran dan tekad Mbah Wahab tentang pentingnya kebangkitan sebuah bangsa dan ‘haram’-nya penjajahan. Dia berpikir itu harus dimulai dari terdidiknya kaum pribumi. Bersama beberapa temannya, dia kemudian mendirikan sekolah kebangsaan bernama Nahdlatul Wathan (kebangkitan bangsa). Sekolah itu resmi berdiri dan beroperasi pada tahun 1916.
“Nahdlatul Wathan secara resmi mendapat Rechtspersoon (badan hukum) dengan susunan pengurus KH Abdul Qahar sebagai direktur, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai dewan pimpinan guru/keulamaan), dan KH Mas Mansur sebagai kepala sekolah,” tulis Wasid Mansur, pengajar UINSA yang aktif meneliti tokoh ulama pejuang bangsa, dalam Biografi KH Ahmad Dahlan Ahyad; Aktivis Pergerakan dan Pembela Ideologi Aswaja.
Sampai sekarang, gedung sekolah kebangsaan Nahdlatul Wathan masih berdiri tegak di Jalan Kawatan VI/22 Surabaya, di perkampungan padat tak jauh dari Tugu Pahlawan. Saat VIVAnews berkunjung pada Senin, 12 Agustus 2019, gedung kuno itu masih terlihat terawat di bagian luar. Papan nama ‘Gedung Waqfiyah Nahdlatul Wathon’ tergantung di atas pintu. “Ini bangunannya masih asli, tidak berubah,” kata seorang warga setempat.
Selain di Nahdlatul Wathan, Mbah Wahab juga aktif di sebuah perkumpulan diskusi bernama Tashwirul Afkar (Potret Pemikiran). Wasid menjelaskan, secara historis, Tashwirul Afkar didirikan oleh Ahmad Dahlan Ahyad, Wahab Hasbullah, dan Mangun pada 1918. Dua tempat biasa dipakai berdiskusi kala itu, yakni di Ampel Suci dan pesantren yang diasuh Kiai Ahmad Dahlan Ahyad di Pegirian, tak jauh dari kompleks Makam Sunan Ampel.
Rumah Dahlan Ahyad di Jalan Pegirian 220-222 masih berdiri hingga sekarang. Dari luar, pengamatan VIVAnews saat ke sana, corak kekunoannya masih terjaga, kendati kurang terawat. Semuanya bercat hijau. Di bagian dalam, terdapat semacam musala seluas tiga kali hamparan tenis meja. “Di tempat (musala) ini Mbah Yai Dahlan dan teman-temannya, kata ibu saya, biasa berkumpul (diskusi), selain di Ampel Suci,” kata Laely, cicit Dahlan Ahyad.
Syair Arab ‘Cinta Tanah Air’
Di Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar, pembibitan ideologi kebangsaan tumbuh dan dibangun Mbah Wahab. Tentu saja dengan corak dan pendekatan Islam. Hal yang menarik, lagu Ya Lal Wathan (Syubbanul Wathan/Hubbul Wathan Min Al Iman) disisipkannya dan dinyanyikan bersama santri atau siswa saat belajar-mengajar akan dimulai di Nahdlatul Wathan.
Lagu Ya Lal Wathan dijadikan alat oleh Mbah Wahab untuk membangkitkan cinta kaum santri kepada Tanah Air. Belum ada penjelasan tertulis yang memadai dan rinci dari sejumlah literatur bagaimana proses kreatif Mbah Wahab saat mengarang syair Ya Lal Wathan itu. Proses kreatifnya hanya diperkirakan berbarengan dengan pendirian sekolah kebangsaan Nahdlatul Wathan pada 1916.
NU Online (17 Agustus 2014), dalam “Ya Lal Wathan, Lagu Patriotis Karya KH Wahab Hasbullah”, mencatat, Maimoen Zubair (Mbah Moen) pada satu kesempatan berkisah bahwa ketika belajar di Pesantren Tambak Beras, Jombang, setiap hari sebelum masuk kelas, murid-murid diwajibkan menyanyikan sebuah lagu yang diciptakan Mbah Wahab pada 1934. Syair Ya Lal Wathan yang kini populer itu disebut-sebut berasal dari riwayat Mbah Moen, sebagaimana diijazahkan mantan Ketua Umum GP Ansor, Nusron Wahid.
Namun, kurator Museum NU Surabaya dan penulis buku KH Abdul Wahab Hasbullah; Hidup dan Perjuangannya, Choirul Anam, berpendapat berbeda. Jurnalis senior itu merujuk pada pendirian Nahdlatul Wathan tahun 1916 sebagai patokan diciptakannya lagu Ya Lal Wathan oleh Mbah Wahab. Beberapa penggal syair lagu itu, menurutnya, juga berbeda dari aslinya.
Seperti apa pun polemik itu, sama dengan lagu kebangsaan lainnya, toh syair Ya Lal Wathan Mbah Wahab terbukti mampu membangkitkan semangat kebangsaan, terutama umat Islam dan santri masa perjuangan melawan kolonial, kemerdekaan hingga sekarang. Ya Lal Wathan kemudian ditetapkan pemerintah sebagai lagu patriotik nasional.
Syair lagu Ya Lal Wathan
Yaa ahlal wathon yaa ahlal wathon Yaa ahlal wathon
Hubbul wathon minal iman
Walaa takun minal hirmaan
Inhadluu Ahlal Wathon (dua kali)
Induunisiyyaa Biilaadii
Anta 'Unwaanul Fakhomaa
Kullu Man Ya'tiika Yaumaa
Toomihan Yalqi Himaamaa
Pusaka hati wahai Tanah Airku
Cintamu dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah, hai, Bangsaku
Indonesia negeriku
Engkau panji martabatku
Siapa datang mengancammu
'Kan binasa di bawah dulimu