KPK Tetapkan 4 Tersangka Baru E-KTP, Mulai Miryam Sampai Paulos Tannos

Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi - KPK di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan empat tersangka baru terkait kasus korupsi pengadaan e-KTP. Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan dari fakta-fakta yang muncul di persidangan sebelumnya.

"KPK kemudian meningkatkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan empat orang sebagai tersangka," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang di kantornya, Jl. Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 13 Agustus 2019.

Keempat tersangka yakni, Anggota DPR RI 2014-2019, Miryam S Hariyani, Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI, Isnu Edhi Wijaya, sekaligus Ketua Konsorsium PNRI, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP, Husni Fahmi, dan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tannos.

Saut menjelaskan, kasus korupsi e-KTP ini merupakan salah satu perkara dengan kerugian negara triliunan rupiah yang menjadi prioritas KPK. Pada perkara ini, sebagaimana perhitungan yang dilakukan oleh BPKP, negara dirugikan setidaknya Rp2,3 Triliun.

"KPK menangani kasus KTP elektronik ini secara cermat dan berkesinambungan, mulai dari penetapan tersangka pertama untuk Sugiharto pada April 2014 Dan Irman pada
September 2016, dan persidangan perdana untuk terdakwa Irman dan Sugiharto pada Maret 2017," ujar Saut.

Saut meyadari semua proses penanganan kasus tersebut memang membutuhkan waktu yang panjang karena KPK harus melakukan penanganan kasus dengan sangat hati-hati dan bukti yang kuat.

Dalam kasus ini, juga KPK juga tengah memproses seorang pelaku yang sedang menjabat sebagai Anggota DPR dari Fraksi Golkar yakni Markus Nari.

"Kami sangat memperhatikan perkara ini, selain karena kerugian negara yang sangat besar, kasus korupsi yang terjadi juga berdampak luas pada masyarakat," ujar Saut.

Terlebih, lanjut dia, pendataan kependudukan yang benar akan sangat berpengaruh kepada kesuksesan penyelenggaraan pemilu, terutama supaya hak-hak masyarakat untuk memberi suara tidak hilang atau disalahgunakan akibat data-data yang tidak benar.

Bahkan, kata Saut, data kependudukan yang benar ini juga sangat dibutuhkan untuk pemberian bantuan pada masyarakat agar tepat sasaran. Karena, akibat perbuatan para pelaku korupsi ini, terdapat ancaman dan risiko atas keamanan data kependudukan hingga kedaulatan dalam mengelola dan melindungi data warga negara.

Saut mengatakan pihaknya sangat berharap semua pihak dapat mengambil pelajaran dari kasus korupsi e-KTP ini, terutama bagi Pemerintah dan DPR RI. Hal ini untuk memastikan keterbukaan dan perbaikan dalam pembahasan anggaran negara, yang lebih teliti sehingga kasus korupsi anggaran seperti dalam kasus e-KTP ini tidak lagi terulang.

Saut pun menegaskan, semua pihak agar tidak meminta dan menolak sejak awal jika ada pemberian uang terkait pelaksanaan tugasnya.

Sebelumnya, KPK telah memproses delapan tersangka. Tujuh di antaranya telah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor dan satu orang sedang proses persidangan.

Mereka yang sudah divonis yakni Setyo Novanto selaku mantan Ketua DPR, pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiarto, Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudiharjo, pengusaha Andi Narogong, pengusaha Made Oka Masagung dan Direktur PT Murakabi Sejahtera, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.

Atas perbuatan keempat tersangka baru ini, penyidik KPK menjeratnya dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP