Kesetaraan Gender di Tempat Kerja, Perlu Dukungan Pengusaha
- Istimewa
VIVA – Menciptakan kesetaraan gender di dunia kerja perlu mendapat dukungan dan komitmen dari pengusaha dan pengambil kebijakan (pemerintah dan legislatif).
Upaya DPR mengajukan Rancangan Undang-Undangan (RUU) Ketahanan Keluarga, yang kental dengan keinginan untuk mendomestifikasi peran perempuan, menjadi indikasi masih kuatnya pengaruh pola pikir patriarki di lingkaran legislatif.
Ini adalah indikasi fenomena gunung es tentang ketidakadilan peran dan fungsi perempuan dalam berbagai sektor, termasuk dunia kerja.
“Perlu perhatian banyak pihak termasuk media untuk mendorong agar kesetaraan bagi semua pihak terwujud, bukan mundur,” kata Revolusi Reza, Sekjend AJI Indonesia, belum lama ini.
Diskusi yang diselenggarakan Sekolah Jurnalisme AJI (SJAJI) memperingati International Women’s Day 2020 berjudul “Mengevaluasi Kesetaraan Gender di Dunia Kerja, Apakah Sudah Secara?” menghadirkan empat narasumber:
Endah Lismartini (Ketua Bidang Gender AJI Indonesia), Asep Setiawan (Komisioner Bidang Pemberdayaan Organisasi Pers, Dewan Pers), Dendy A. Borman (Corporate Relations Director, Diageo Indonesia) dan Munawir (Kepala Seksi Pencegahan Diskriminasi Syarat Kerja, Kementerian Tenaga Kerja).
Endah mengungkapkan kondisi di media saat ini terdapat kemajuan, setidaknya 12 perempuan menjadi pemimpin redaksi media mainstream di Jakarta. Hanya saja kesetaraan gender di media masih perlu terus didorong. Karena pada level yang lebih rendah tidak ada kepastian jenjang karir bagi perempuan.
“Terutama bagi perempuan yang telah menikah dan memiliki anak. Mereka akan ditempatkan pada kanal-kanal lebih soft, seperti lifestyle dan fashion, bukan pada kanal-kanal penting seperti politik,” ujarnya.
Ia pun menyoroti minimnya fasilitas bagi perempuan pekerja di media, salah satunya ruang menyusui, sehingga banyak yang menyusui di tempat yang tidak layak dan kesempatan pengasuhan bagi laki-laki menemani istri melahirkan yang sangat terbatas. “Media adalah salah satu pilar demokrasi, kalau kesadaran gendernya dalam media bagus, maka berita yang akan dihasilkan tentu lebih bagus dan sensitif gender,” ujarnya.
Asep Setiawan, Komisioner Dewan Pers mengatakan ketimpangan gender di media tidak hanya problem di Indonesia tapi juga problem global. “Berdasarkan data who make the news hanya 26 persen subject dan sumber berita di berita arus utama internet dan berita yang di-tweet adalah perempuan.
Setiap empat orang yang diwawancara, ditonton atau dikutip dalam berita di seluruh dunia hanya satu orang perempuan. Dalam 20 tahun terakhir, disparitas gender dalam berita hanya bergeser tujuh point dalam temuan 1995-2005,” ujar Asep Setiawan.
Asep menambahkan, "Dewan Pers belum memiliki aturan mendorong kesetaraan gender di media dari aspek organisasi (manajemen) dan pemberitaan. Ke depan perlu masukan.”
Sementara itu upaya membangun kesetaraan di dunia profesional telah dilakukan Diageo Indonesia. Menurut Corporate Relations Director Diageo Indonesia, Dendy A. Borman, penerapan kesetaraan gender merupakan keharusan moral yang dapat berkontribusi bagi kesuksesan organisasi.
“Diageo membangun budaya keberagaman dan inklusi. Salah satu keharusannya adalah penerapan kesetaraan gender. Budaya keberagaman dan inklusi ini merupakan perwujudan dari tujuan Diageo yaitu ‘Celebrating Life Everyday Everywhere',” kata dia.
Kesetaraan gender
Ia menambahkan bahwa dengan adanya penerapan kesetaraan gender, karyawan dapat lebih memaksimalkan produktivitas serta inovasi. Perusahaan sekaligus mendapatkan potensi talent yang dapat mendorong kesuksesan bisnis.
Menurutnya, aspek kesetaraan gender diterapkan dalam pengambilan kebijakan dan proses organisasi di Diageo.
“Tujuan kami agar karyawan perempuan di Diageo dapat berkembang sesuai potensi dan kapasitasnya sekaligus memiliki kualitas bagi keluarganya,“ kata Dendy.
Diageo Indonesia tahun lalu meluncurkan Parental Policy yaitu 26 minggu cuti melahirkan bagi karyawan perempuan dan 4 minggu bagi karyawan laki-laki dengan dibayar penuh.
Selain itu perusahaan ini juga membangun lingkungan bagi karyawan perempuan dengan fleksibilitas waktu kerja, desain kantor yang ramah bagi perempuan, serta meluncurkan kebijakan Dignity at Work yang memastikan setiap orang bekerja bebas dari intimidasi, pelecehan serta perilaku tidak baik lainnya.
Menanggapi hal tersebut di atas Munawir, Kepala Seksi Pencegahan Diskriminasi Syarat Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan upaya Diageo membangun kesetaraan telah melampaui regulasi yang ada.
Ia mengatakan pemerintah telah membuat task force mencegah diskriminasi di tempat kerja. Terkait regulasi cuti untuk ayah, ia mengatakan, ”Saat ini belum sampai ke sana untuk cuti ayah meskipun wacananya sudah ada. Perlu menyamakan persepsi antara pengusaha dan pekerja. Pemerintah tidak bisa memutuskan sendiri,“ ujarnya.
Laporan World Economic Forum (WEF) 2020 menunjukkan skor Kesenjangan Gender Global (berdasarkan jumlah penduduk) berada pada posisi 68,6 persen. Artinya, masih ada 31,4 persen kesenjangan yang menjadi pekerjaan rumah bersama masyarakat global. Sedangkan di Indonesia, menurut WEF berada pada peringkat 85 dalam urusan gender gap.
Indikator kesenjangan tersebut terdiri dari empat dimensi, yaitu kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, partisipasi ekonomi, dan pemberdayaan politik.
Secara umum, kesenjangan paling besar adalah pada kesempatan dan partisipasi ekonomi (58 persen) dan pemberdayaan politik (25 persen). Meski pada kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan angkanya sangat signifikan, yakni 97 persen dan 96 persen.
Peran perempuan masih rendah
Sementara menurut data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pemberdayaan Gender dengan alat ukur menempatkan perempuan sebagai tenaga profesional di Indonesia pada tahun 2019 masih berada pada kisaran antara 35 persen hingga 55 persen.
Angka terendah berada di provinsi Papua (35,7 persen). Sedangkan angka tertinggi berada di provinsi Sumatera Barat (55,4 persen). Sementara DKI Jakarta sebagai ibu kota provinsi, yang idealnya menjadi barometer pemberdayaan perempuan, hanya berada pada angka 47,3 persen.
Sementara itu dalam dunia jurnalistik, ketidakadilan dan ketidaksetaraan juga terjadi. Menurut laporan The International Women’s Media Foundation (The IWMF) dalam laporan Global Report on the Status of Women in the News Media yang dirilis pada 2011, dari 522 perusahaan pers yang mereka teliti di seluruh dunia, jurnalis perempuan yang bekerja full time hanya 33,3 persen.
Menurut laporan tersebut, posisi sebagai news gathering, reporter dan penulis (editor), juga masih didominasi laki-laki (64 persen). Sementara perempuan hanya mencapai 36 persen. Sedangkan di Indonesia, kesenjangan tersebut masih ditambah dengan perbedaan fasilitas yang diterima.
Terutama dalam fasilitas kesehatan; perempuan pekerja media sering kali diberikan status single, sehingga meski memiliki anak namun ia tak berhak untuk mendapatkan asuransi untuk anak-anaknya.