Terkenal Adem Ayem, Kenapa Begal Klitih Marak di Yogyakarta?
- ANTARA Foto/Yulius Satria Wijaya
VIVA – Jagat twitter dihebohkan dengan munculnya tagar #DIYdaruratklitih. Tagar tersebut meraup 23 ribu tweet hingga Rabu siang 4 Februari 2020. Ramainya tagar tersebut ternyata disebabkan oleh munculnya kasus kekerasan remaja di Yogyakarta, kasus kekerasan kelompok tersebut dikenal dengan nama klitih.
Klitih yang terjadi di Yogyakarta memang bukan main-main, kasusnya sampai merenggut nyawa seorang pelajar bernama Fatur berusia 16 tahun pada Desember 2019 lalu. Tak cuma Fatur, seorang driver ojek online (ojol) juga jadi korbannya.
Dihimpun dari berbagai sumber, klitih adalah kelompok kriminal pelajar di Yogyakarta yang pernah muncul pada tahun 1990-an. Lalu dua tahun belakangan klitih kembali muncul. Dari catatan kepolisian selama 2018 setidaknya ada 13 kasus klitih dengan korban jiwa dua orang. Kejadiannya ada di Kabupaten Bantul, Sleman, Kulonprogo, Kota Yogya, hingga Gunungkidul.
Mirisnya, berdasarkan data kepolisian, pelaku Klitih ini rata-rata masih di bawah umur yaitu berusia 13-16 tahun, dan merupakan pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Baca Juga: Yogyakarta Darurat Begal Klitih, Sosiolog: Kategori Kejahatan Jalanan?
Modusnya bisa dibilang mirip pembegalan, beraksi di malam hari melukai pengendara sepeda motor dengan senjata tajam. Salah satu kasus yang terjadi, pelaku yang terdiri dari 1-4 orang remaja ini tanpa ampun membacok bagian kepala hingga si korban lumpuh, dan bisa dijarah harta bendanya.
Banyak yang menyayangkan kasus ini, tak sedikit pula yang mempertanyakan kenapa kasus ini bisa terjadi di Yogyakarta yang terkenal aman dan kental dengan budaya Jawa.
Prof. Dr. Sunyoto Usman Sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM) menyatakan bahwa sebuah tindakan kejahatan dan kriminal itu tidak bisa dikaitkan dengan budaya.
"Klitih itu produk geng, jangan dihubungkan dengan produk budaya Jawa. Klitih merupakan fenomena urban (perkotaan), relasi-relasi sosial perkotaan itu bersifat formal, tidak saling kenal. Apalagi kepatuhan pada norma, nilai-nilai, dan tradisi lama sudah menipis. Kota Yogya sangat terbuka, banyak pendatang dan turis. Jadi banyak yang menerima pengaruh luar juga," ujarnya saat dihubungi VIVA Rabu 4 Februari 2020.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Budaya Jawa mengenal anjangsana, silahturahmi. "Mereka mungkin nongkrong bersama, tapi memperhatikan waktu, mempererat persaudaraan, bukan melukai orang secara fisik. Tabiat semacam itu berbeda dengan klitih yang sedang merebak," ujarnya.