Perusakan Musala di Minahasa, Hak Beribadah Mulai Terusik

Perusakan musala di Kabupaten Minahasa Utara, Sulut.
Sumber :
  • youtube

VIVA – Rabu 29 Januari 2020, sebuah bangunan umum yang dijadikan tempat beribadah di lingkungan Perum Griya Agape, Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, dirusak.

Warga sekitar dilaporkan mendatangi bangunan berupa balai pertemuan itu untuk menanyakan perizinan sebagai tempat ibadah. Tak lama kemudian, perdebatan terjadi karena pengurus balai pertemuan dianggap tak bisa menunjukkan perizinan.

Perdebatan antara warga dan pengurus balai memanas hingga akhirnya terjadi perusakan. Setelah perusakan, pengurus balai diminta untuk mengurus perizinan ke otoritas terkait. Sambil menunggu perizinan selesai, umat Islam di lingkungan tersebut diminta beribadah di rumah masing-masing. Polisi telah menangkap satu orang warga yang diduga berperan sebagai provokator.

Merespon perusakan bangunan yang dijadikan tempat ibadah oleh warga Muslim di Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, tindakan pengrusakan merupakan pelanggaran terhadap hak beragama dan berkeyakinan.

“Tindakan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak beragama dan berkeyakinan, yang di dalamnya mencakup hak untuk melaksanakan ibadah,” ujar Usman Hamid lewat rilis yang diterima VIVA.

“Hak ini dijamin oleh Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik serta konstitusi kita, UUD 1945. Oleh karena Itu negara berkewajiban untuk melindungi hak beribadah semua umat beragama di Indonesia di mana pun wilayahnya, termasuk mereka yang menganut agama minoritas di lingkungan itu,” tambah Usman.

Usman pun mengakui, masalah utama pemeluk agama minoritas di daerah mana pun di Indonesia selama ini adalah pendirian tempat ibadah. Pihak berwenang harus melindungi hak semua orang yang ingin beribadah, termasuk agama minoritas, tak hanya dalam kasus ini, tapi juga di kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama lain di Indonesia yang sampai detik ini belum tuntas.

“Kami juga menyerukan agar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 ditinjau ulang, karena dari situ pelanggaran kebebasan beragama berpotensi terjadi.”