Paham Radikalisme Merajalela, Masyarakat Jangan Cuma jadi Penonton

Terduka teroris ditangkap Densus 88 Antiteror Polri beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • VIVA/Bayu Nugraha

VIVA – Masyarakat diingatkan untuk tidak cuma diam dan menjadi penonton dalam mencegah penyebaran paham radikalisme di Indonesia. Sebab, pemerintah tidak bisa bekerja maksimal memberantas paham ini jika tanpa partisipasi dari masyarakat.

"Masyarakat jangan cuma diam. Jadi penonton. Tentu yang terpapar paham radikalisme akan beraksi lebih banyak, terutama di media sosial. Kontra radikalisme harus kita lakukan sama-sama. Jangan hanya berharap kepada pemerintah," kata Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Hamli di Jakarta, Rabu, 27 November 2019.

Menurutnya, masyarakat bisa menangkal kelompok-kelompok radikal dengan menulis atau mengisi konten serta narasi yang positif melalui media sosial. Sebab, penyebaran paham radikalisme juga banyak dilakukan lewat dunia maya.

“Semakin banyak ruang itu dipenuhi oleh orang-orang melakukan aksi damai, narasi-narasi damai, narasi positif. Insya Allah, yang negatif akan tersisihkan oleh narasi-narasi yang positif,” tutur Hamli.

Ia juga mengingatkan jika wawasan tentang kebangsaan, keagamaan, moderasi agama, dan cinta Tanah Air harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini, termasuk bela negara.

Oleh karena itu, Hamli kembali mengingatkan partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam memberantas paham radikalisme. “Mari kita bersama-sama, jangan diam. Kalau kita diam, mereka makin merajalela. Tapi kalau kita bergerak, mereka juga khawatir," jelasnya.

Ia juga menyampaikan dalam menangkal intoleransi dan radikalisme, peran organisasi keagamaan sangat penting terutama di Indonesia terdapat dua organisasi Islam besar, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

Ia menyampaikan dalam pendorong utama kelompok-kelompok intoleran dan radikal dalam menyebarkan paham mereka adalah agama. Hal itu terlihat dari hasil riset Indonesian Institute for Society Empowerment (INSEP) pada 2012 menunjukkan ideologi agama (45,5 persen) menjadi motif aksi teror yang dilakukan.

Selain motif agama, ada pula motif solidaritas komunal (20 persen) dan mob mentality (12,7 persen). Untuk menangkalnya, menurut BNPT, yakni dengan menguatkan narasi kebangsaan, moderasi beragama, sosial politik, pengentasan kemiskinan dan bijak dalam bermedia sosial.

Ketua Pengurus Yayasan Taruwara Udarana Jaya (TUJF) Crisis Center Radikalisme dan Intoleransi, Sweeta Melanie menyebut, pemahaman definisi radikalisme dan intoleransi kepada masyarakat harus ditingkatkan sebagai upaya membantu pemerintah menangkal masifnya penyebaran paham radikalisme.

“Tentu saja peran serta masyarakat sangat diperlukan membantu pemerintah dalam hal kontra radikalisme, khususnya di lingkungan perguruan tinggi dan BUMN,” kata Sweeta.

Mengutip data dari Pusat Pengkajian Islam dan Moderasi Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Tahun 2018, diketahui ada 28,10 persen dosen yang tidak setuju mengajarkan intoleransi.

Sementara pada guru diketahui 46,10 persen setuju dengan paham radikalisme. Adapun pada mahasiswa bervariasi, bahkan hingga 35 persen bersikap eksternal dan intoleran.