Ketika Pemerintah 'Memata-matai' PNS
- VIVAnews/Fernando Randy
VIVA – Pemerintah sedang berupaya keras membendung paham radikalisme di Indonesia. Langkah ini dimulai dari 'internal' mereka, yakni pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN).
Pada pertengahan bulan ini, tepatnya 12 November, Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama 10 Kementerian/Lembaga (K/L) meluncurkan portal aduanasn.id.
Ke sepuluh yang ikut serta dalam peluncuran portal aduan ini adalah Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Selanjutnya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, serta Badan Kepegawaian Negara.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johhny G Plate mengaku portal aduan bisa digunakan oleh masyarakat untuk melaporkan PNS yang menyebarluaskan konten-konten radikalisme. Paham radikalisme yang dimaksud adalah meliputi sikap intoleran, anti Pancasila, anti-NKRI, dan menyebabkan disintegrasi bangsa.
Jenis pelanggaran
"Digunakan untuk menjadi tempat aduan portal aduan yang didukung fakta, realita yang berguna. Ini semua disediakan hanya untuk satu kepentingan yaitu untuk ke kenyamanan keluarga besar ASN dan peningkatan Key Performance Indicator (KPI) seluruh ASN," ujarnya.
Ia mengatakan PNS sebagai garda terdepan penggerak roda pemerintahan harus harus dijaga tak hanya dari sisi hard skill, tapi juga soft skill serta ideologi Pancasila. Berikut jenis pelanggaran yang bisa dilaporkan dalam aduanasn.id:
1. Teks, gambar, audio dan video yang memuat ujaran kebencian terhadap Pancasila dan UUD 1945.
2. Teks, gambar, audio dan video yang memuat ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras dan antar golongan.
3. Menyebarluaskan pendapat melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost dan sejenisnya).
4. Pemberitaan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
5. Penyebarluasan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun lewat media sosial.
6. Penyelenggaraan kegiatan yang menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan Pancasila.
7. Keikutsertaan pada kegiatan yang menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan Pancasila.
8. Tanggapan atau dukungan sebagai tanda sesuai pendapat dengan memberikan likes, dislike, love, retweet atau comment di media sosial.
9. Menggunakan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan pemerintah.
10. Pelecehan terhadap simbol-simbol negara baik secara langsung maupun tidak langsung melalui media sosial.
11. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai 10 dilakukan secara sadar oleh ASN.
Kemudian, pada 21 November lalu, Kementerian Agama membentuk Satuan Tugas (Satgas) Antiradikalisme, juga ditujukan bagi para abdi negara. Upaya ini untuk menekan jumlah PNS yang terpapar sifat-sifat radikal.
Persoalan serius
Keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait radikalisme untuk PNS menjadi sorotan berbagai pihak. Di antaranya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Lembaga Swadaya Masyarakat, Setara Institute.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukriyanto, menyikapi keluarnya SKB menteri dan lembaga tersebut. "Menurut hemat saya, perlu mendapat perhatian yang cukup serius," tuturnya.
Ia melanjutkan, sedemikian urgensinya, sehingga beberapa kementerian dan lembaga negara harus membuat sebuah keputusan, bisa ditarik sebuah logika berpikir bahwa PNS/ASN bisa dianggap pihak yang mudah disusupi dan dijadikan agen intoleransi dan antiideologi Pancasila.
Didik berbicara kemungkinan. Bisa saja, dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam SKB itu, lantaran sudah layak dikhawatirkan sikap PNS seperti itu. Atau yang lebih ekstrem lagi, kata Didik, bahwa aparat negara dan kelembagaannya selama ini kecolongan.
"Bisa juga ada anggapan bahwa selama ini tidak ada koordinasi yang baik, sehingga perlu dibuat keputusan bersama," lanjutnya.
Didik sepakat bahwa sikap radikalisme, intoleransi dan antiideologi Pancasila, yang melanggar empat pilar bangsa, harus diperangi dan dicegah oleh negara. Dengan terbitnya SKB itu, ia melihat ada persoalan serius dan membahayakan kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kendati demikian, tetap menjadi pertanyaan bagi dia, apakah kondisi ASN sudah cukup membahayakan terhadap bahaya intoleransi dan anti-Pancasila sehingga perlu ada SKB. Lalu, kata dia, bagaimana peran dan tanggung jawab lembaga terkait dalam mengatasi persoalan ini.
"Lantas, tanggung jawab siapa kalau ini benar-benar terjadi? Tidak cukupkah mekanisme hukum dan penegakan hukumnya terjangkau oleh aturan hukum dan aparat penegak hukum kita?" ucapnya.
Metode internal
Merespons hal tersebut, Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, berharap pemerintah mau mengembangkan metode internal di kalangan PNS dari masing-masing Kementerian atau Lembaga (K/L).
"Kami selalu mendorong supaya pemerintah mengembangkan sebuah metode internal, untuk mendeteksi sejauh mana paham radikalisme telah terpapar di kalangan ASN," kata Tigor.
Selain itu, Tigor berharap pemerintah akan menggunakan pendekatan yang cenderung ke arah preventif dan edukatif. Cara ini lebih baik dibanding yang bersifat sanksi dan hukuman.
"Kemudian verifikasinya juga harus ketat. Karena kalau tidak, nanti berkemungkinan muncul apa yang disebut fitnah, hoax, makanya pemerintah harus berhati-hati," ujar dia.
Tigor mengaku pihaknya mendukung selama pemerintah bisa menciptakan dan mengembangkan sebuah metode internal yang efektif. Artinya, metode untuk menyaring dan menangkal beredarnya paham-paham radikal di kalangan PNS.
Maka itu, lanjut Tigor, dalam menilai para ASN selama ini, biasanya pemerintah hanya memiliki dua model pendekatan.
Pertama, pendekatan audit kinerja terkait sejauh mana pencapaian-pencapaian beban kerja yang diberikan kepada PNS tersebut. Lalu, kedua serta audit keuangan terkait masalah transparansi pengelolaannya.
"Nah, kita memang mengusulkan supaya ada audit ketiga, yaitu audit loyalitas atau audit ideologis. Untuk mengetahui sejauh mana para ASN loyal kepada empat prinsip dasar negara kita," kata Tigor.