Lima Catatan Evaluasi Penyelenggaraan Haji 2019
- VIVAnews/Syaefullah
VIVA – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mencatat ada lima poin yang perlu dilevaluasi dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2019. Pertama, sebagai penyelenggara harus memahami betul apa yang sudah dianggap baik oleh sebagian besar jemaah haji asal Indonesia.
"Maka saya minta harus betul-betul diindentifikasi, apa saja poin-poin yang dinilai sudah baik, agar tahun depan setidaknya itu bisa kita pertahankan, tidak boleh lebih buruk," kata Lukman Hakim Saifuddin dalam acara Rakernas Evaluasi Penyelenggara Haji 2019 di Hotel Borobudur Jakarta Pusat, Selasa, 8 Oktober 2019.
Kedua, pada tahun depan akan ditingkatkan masalah kualitas manasik hajinya. Jadi ibadah haji, secara khusus harus menjadi fokus utamaa untuk ditingkatkan, tentu bukan berarti meninggalkan yang lain.
"Mengapa? Kita ingin ada peningkatan setelah katakanlah hal-hal yang sifatnya fisik, jadi service yang sifatnya fisik, akomodasi, konsumsi, transportasi, dan lain lain itu katakanlah sudah baik, Maka kita harus menambah kualitas penyelenggaraan ini dengan sifatnya nonfisik," ujarnya.
Lukmam menginginkan jemaah haji Indonesia tidak hanya terpuaskan secara fisik, tapi ada penambahan ilmu pengetahuan, dan penambahan kualitas keberagamaan mereka.
"Jadi kemabruran itu harus manifes, harus mewujud pada hal-hal substantif, yaitu pengetahuan tentang haji. Tidak hanya tahu kalau haji harus tawaf, tapi tahu filosofi haji itu apa. Sehingga setiap jemaah haji setelah berhaji ada wawasan yang bertambah," ujarnya.
Kemudian, ketiga, Menag juga menitipkan kepada Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah untuk secara serius menangani Armina, untuk diketahui bersama problem utama haji itu kondisi saat ini adalah Arafah dan Mina.
"Khususnya Mina, karena keterbatasan tenda-tenda yang ada di sana, keterbatasan toilet itu betul-betul berdampak secara langsung dengan tingkat kesehatan jemaah haji kita, dan tentu itu mengganggu ritual ibadah kita," ujarnya.
Keempat, ia berharap fast track atau jalur pemberangkatan jemaah haji menuju Arab Saudi. Oleh karenanya, harus diperluas, tidak hanya yang berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta saja tetapi kalau bisa seluruh embarkasi.
"Setidaknya ada penambahan pada bandara-bandara yang embarkasi besar jemaah kita, yaitu Surabaya dan Solo," ujarnya.
Kelima, ia juga menyoroti masalah kesehatan. Terkait soal sosialisasi mengenai istitoah di bidang kesehatan. Karena masih saja ada sebagian jemaah Indonesia yang protes mengapa mereka sudah sampai di embarkasi, tinggal menunggu jam keberangkatan untuk bertolak ke Tanah Suci, tiba-tiba divonis tidak boleh berangkat.
"Karena kondisi kesehatannya tidak memenuhi istitoah di bidang kesehatan. Setiap jemaah haji kan fluktatif, tidak ada yang stabil kesehatannya," katanya.