Kisah 'Penebusan Dosa' Anak Algojo PKI di Blitar

Farid Masrurin (berjilab, tengah) dan penyintas tragedi 1965, Sukiman (kiri), serta Masrukin (kanan, suami Farid) di samping Gua Tikus, lokasi pembuangan orang-orang yang dituduh PKI di Dusun Bokolan, Desa Lorejo, Kabupaten Blitar. - BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

Sebagai penebusan kesalahan ayahnya yang menjadi algojo alias eksekutor orang-orang yang dituduh PKI di Blitar selatan pada 1968, sang anak menggelar rekonsiliasi dengan korban dan keluarga mereka yang dahulu dimusuhi ayahnya.

Pedang yang digunakan menggorok leher orang-orang yang dituduh anggota PKI di Blitar selatan itu pernah menghiasi dinding di salah-satu sudut ruang tamunya.

Bapak pemilik pedang, Hasyim As`ari, menempatkan pedang itu di dekat pintu ruang tamu di rumahnya di Desa Bacem, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, selama bertahun-tahun. Di sekitar 1968, Hasyim adalah aktivis Ansor - organisasi kepemudaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU).

"Pedang itu menjadi alat untuk eksekusi orang-orang PKI," kata sang anak, Farida Masrurin menghela napas panjang, saat saya temui di rumahnya, awal September lalu.

Ibu satu anak itu adalah putri sulung pasangan Hasyim As`ari dan Uli Wafiah.

Lebih dari 50 tahun silam, persisnya bulan-bulan di awal 1968, di wilayah Blitar selatan, yang tandus itu, termasuk di Desa Bacem, ABRI (kini TNI) menggelar operasi untuk "membasmi sampai ke akar-akarnya" pimpinan, anggota, dan simpatisan PKI.

Operasi Trisula, demikian sebutan resminya, seperti tercatat dalam sejarah, kemudian `melibatkan` antara lain organisasi Gerakan Pemuda Ansor dengan salah-satu sayapnya, Barisan Serbaguna alias Banser.

Tidak pernah diketahui berapa jumlah persis korban mati di pihak PKI atau simpatisannya dalam apa yang disebut berbagai laporan independen sebagai pembunuhan massal.

"Bapak mungkin merasa bangga (membunuh orang-orang yang dituduh PKI) itu bagian dari jihad dan menjaga negara," ungkap perempuan kelahiran 1982 ini seraya menunjuk lokasi di mana pedang itu pernah dipajang.

Dan, tatkala film G30S wajib diputar di televisi setiap akhir September di masa Orde Baru, Farida teringat, ayahnya acap bercerita perihal perannya pada bulan-bulan `panas` ketika operasi itu digelar.

Saat itu Farida, tentu saja, masih kanak-kanak hingga beranjak remaja.

"Kalau ada siaran televisi (film G30S), bapak lalu bercerita `oh ya, aku dulu loh berjuang`," Farida menirukan ucapan almarhum ayahnya - meninggal delapan tahun silam.

Seperti diketahui film itu akhirnya tidak lagi wajib diputar setelah Suharto turun dari kursi presiden pada 1998.

Dalam atmosfer Orde Baru, di mana operasi pembersihan tokoh-tokoh PKI yang kabur ke Blitar selatan versi pemerintah menjadi sejarah tunggal, Farida kecil tumbuh besar di dalamnya.

Kelak, pengalaman seperti inilah membuatnya sempat bersikap reaktif ketika rekan-rekannya sesama aktivis NU menawarkan perspektif berbeda dalam melihat kekerasan di Blitar selatan yang melibatkan nama ayahnya.

Farida bersama suami dan putrinya yang berusia 10 tahun, sampai saat ini tinggal di rumah orang tuanya di Desa Bacem, Kabupaten Blitar - dulu secara sederhana disebut kawasan Blitar selatan.

Di salah-satu ruangan rumah itulah, ibunya mendidik anak-anak seumuran anaknya untuk belajar agama, nyaris saban sore. Di depan rumahnya berdiri musala, yang melalui pengeras suaranya, suara azan nyaring terdengar.

"Di desa ini, memang dari dulu basisnya NU," ujarnya. Ini berbeda dengan desa-desa tetangganya, utamanya di kawasan perbukitan, yang dikenal sebagai basisnya "merah" - sebutan khas untuk menyebut kawasan yang dulu mayoritas warganya berafiliasi ke PKI.

Ketika saya dan juru kamera Anindita Pradana, mendatangi kediamannya, pedang milik ayahnya itu tak lagi menempel di dinding ruang tamu. Farida tidak mengetahui kapan persisnya pedang itu diturunkan dari dinding. Alasan penurunannya, dia pun tak tahu juga. Barangkali ketika rumahnya sedang direnovasi, katanya.

Apakah masih menyimpan pedang itu? Tanya saya, dan dijawab "masih ada", tetapi dia "lupa" di mana menyimpannya.

Belakangan, suaminya, Masrukin, mengetahui di mana pedang itu disimpan. Dia kemudian menunjukkannya kepada kami - lengkap dengan sarungnya, yang panjangnya kira-kira satu meter dan sudah berkarat.

Sore itu, di minggu ketiga September, ketika langit di atas desa itu perlahan berubah menjadi kemerahan, kisah horor di balik keberadaan pedang itu seperti tersamar oleh waktu yang terus beranjak.

"Kami belakangan pernah menggunakannya untuk menangkap tikus di rumah," Masrukin tertawa kecil, yang kemudian menular pada istrinya.

Sikap enteng hati Farida dan Masrukin terkait peruntukan pedang itu di masa lalu, tentu tidaklah segampang membalik tangan.

Ada proses panjang yang mereka lalui sehingga mereka kini memiliki cara pandang baru tentang memori kolektif kekerasan tragedi 1965 di wilayahnya.

Ide rekonsiliasi Gus Dur bergaung hingga ke Blitar selatan

Setahun setelah Suharto turun dari kursi presiden, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tokoh sentral Nadhlatul Ulama (NU), yang terpilih menjadi presiden, menawarkan ide-ide rekonsiliasi.

Dihadapkan memori kolektif yang terbelah dan hubungan sosial yang retak akibat warisan sejarah tragedi 1965, Gus Dur memilih membangun jembatan rekonsiliasi dengan para penyintas kekerasan `65 - dan gaungnya sangat terasa di kalangan nahdliyin, hingga ke sudut desa di mana Farida tinggal.

"Gus Dur sejak awal mendengungkan bahwa memanusiakan manusia itu lebih penting daripada yang lain," Farida menyebut Gus Dur sebagai orang pertama yang menginspirasinya, sekaligus secara perlahan menyadarkannya dalam melihat ulang sejarah kelam seputar konflik berdarah antara orang-orang NU dan pendukung PKI pada 1968 di tempatnya tinggal.

Dalam beberapa kali forum tidak resmi, Gus Dur - saat menjadi presiden - dilaporkan telah meminta maaf kepada penyintas kekerasan pasca Oktober 1965. Dia juga dilaporkan mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966.

Seperti diketahui, ketetapan ini menyatakan tentang pembubaran PKI dan organisasi terlarang, serta larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.

Walaupun pernyataan Gus Dur itu mendapat penolakan keras dari kelompok-kelompok Islam dan TNI, termasuk dari sebagian kalangan internal NU, toh idenya tentang rekonsiliasi terkait kekerasan 1965 tak berhenti sampai di situ.

Sejumlah aktivis muda NU kemudian menindaklanjuti dan mengembangkannya, dengan membentuk organisasi bernama Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat - disingkat menjadi Syarikat, di awal 2000-an, yang dimotori Imam Aziz dkk di Yogyakarta.

Dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965: Catatan Pengalaman Syarikat Indonesia (2016), organisasi ini menyebut dirinya sebagai jangkar dalam merajut kembali hubungan sosial di tingkat akar rumput yang hancur akibat tragedi `65.

Mereka berjejaring dengan sejumlah organisasi LSM, serta sesama aktivis muda NU, di berbagai daerah yang memiliki kepedulian yang sama - termasuk di Blitar, tempat Farida lahir dan tumbuh besar.

Ketika rekonsiliasi terkait warisan kekerasan 1965 di tingkat nasional "macet", Syarikat dan aktivis NU muda menggulirkan apa yang disebut sebagai rekonsiliasi di tingkat akar rumput.

Dan akhirnya "di tingkat akar rumput justru bisa berjalan, kendati terkadang tidak semulus yang diharapkan," demikian tim penulis buku tersebut menyimpulkan.

Di Kabupaten Blitar, rekonsiliasi dengan penyintas kekerasan 1968, dirintis oleh aktivis muda NU - yang tergabung dalam Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, atau biasa disingkat Lakpesdam - pada awal 2000-an.

Salah-satu figur pentingnya adalah M Munif, Ketua Lakpesdam NU saat itu.

"Banyak cerita sangat menyesakkan"

Beberapa tahun kemudian, sekitar 2003, ketika terjun sebagai relawan Lakpesdam di Kabupaten Biltar, Farida mulai bersentuhan langsung dengan upaya rekonsiliasi tersebut. Semula hanya ikut diskusi kecil, dia kemudian "ikut senior-seniornya ke rumah para penyintas kekerasan 1965".

Sebagian para penyintas itu adalah orang-orang yang dulu aktif di sejumlah organisasi di bawah naungan PKI, seperti Lekra, Sarbuksi, atau Barisan Tani Indonesia.

Tapi tak sedikit yang menjadi korban lantaran ikut-kutan atau menjadi simpatisan semata - atau bahkan mungkin tidak tahu-menahu, tetapi terjebak dalam situasi.

Mereka pernah ditahan militer atau polisi, dan beberapa diantaranya dibuang ke pulau Buru.

Dua tahun kemudian, Farida dan suaminya mulai berinteraksi langsung dengan para penyintas. Ini terjadi setelah mereka terlibat penelitian tentang kekerasan pasca Oktober 1965 di wilayah Blitar Selatan, dengan berbasis isu perempuan.

Saat itu, Farida mengaku "belum selesai secara batin" terkait kasus kekerasan itu, lantaran belum mampu melepaskan dari perspektif sejarah ala Orba yang diterimanya selama belasan tahun.

Perlahan-lahan cara pandangnya makin meluas setelah mengikuti pelatihan di organisasi Syarikat tentang menganalisa persoalan dan, terutama, interaksinya secara mendalam dengan para ibu penyintas di Blitar selatan - diantaranya dengan Put Mu`inah, eks Ketua Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia, Kabupaten Blitar.

"Di situ saya justru menemukan banyak cerita yang menurut saya sangat menyesakkan," Farida berkata dengan suara tercekat.

Dia menarik napas panjang dan matanya terlihat basah. "Ada penyiksaan (terhadap korban di pihak orang-orang yang dituduh PKI) yang luar biasa."

Fakta tentang kekerasan yang dialami ibu-ibu penyintas ini, ditambah pengalaman serupa para penyintas di kota-kota lainnya, menyadarkannya bahwa apa yang terjadi di desanya dan desa-desa lainnya di perbukitan gersang di wilayah Blitar selatan pada sekitar 1968, selama ini ditutup-tutupi.

Dilatari itu semua, Farida makin tertarik mendalaminya. Apalagi di sisi lain dia dibenturkan kenyataan bahwa ayahnya terlibat dalam kekerasan di sekitar tahun 1968.

"Apalagi saya kaitkan pengalaman saya dengan bapak," ujarnya lirih. Suaranya kembali tercekat. "Jadi, saya harus melakukan ini."

Melanjutkan rintisan para seniornya di Lakpesdam yang membuka pintu rekonsiliasi kultural, Farida secara gamblang mengaku itu dilakukannya karena juga faktor apa yang diperbuat ayahnya.

 

"Putra eksekutor"

 

"Karena berposisi putra dari pelaku eksekutor dari tragedi `65, jadi membuat saya merasa sangat perlu untuk bagaimana cara menebus kesalahan yang pernah.... bapak lakukan itu, dengan proses rekonsiliasi," kata Farida dengan suara tercekat.

Dia menambahkan, "Itu penting dilakukan, karena dari kejadian kekerasan itu menumbuhkan banyak kebencian, banyak persoalan yang mungkin sampai hari ini belum tuntas."

Sejauh ini, sulit menemukan sosok seperti Farid, yang secara terbuka mengakui dan mengungkap kepada umum tentang keterlibatan ayahnya dalam tragedi kekerasan pasca Oktober 1965.

Bagi sebagian pihak, apa yang dilakukannya dapat dianggap membuka aib keluarga sendiri.

"Itu bukan aib," katanya. Menurutnya, apa yang dibanggakan ayahnya saat membunuh orang-orang yang disebut PKI, seharusnya bukan sebuah kebanggaan.

Dia juga menekankan bahwa kesaksiannya tentang peranan ayahnya di masa itu adalah perwujudan dari "kebenaran yang harus diungkap".

"Agar penerus bangsa ini juga benar-benar tahu bahwa peristiwa itu memang ada kebohongan publik yang terstruktur sehingga membuat sejarah menjadi runyam, menjadi tidak jelas," jelasnya.

 

`Saya tidak mau seolah-olah menghakimi ayah`

 

Awalnya, Farida tidak bercerita kepada ayahnya tentang aktivitasnya mendampingi para penyintas kekerasan pasca Oktober 1965.

Para penyintas itu dahulunya - secara langsung atau tidak langsung - adalah musuh ayahnya ketika operasi pembersihan digelar pada 1968.

"Saya tidak berani mengorek secara langsung (kepada ayahnya)," katanya. Dia takut ayahnya akan "terluka" dan lagi pula dia tidak mau seolah-olah menghakimi ayahnya.

Dia memilih bersikap pasif dengan harapan ayahnya yang bersikap aktif untuk bertanya perihal "sejarah baru" terkait operasi pembasmian orang-orang yang dituduh PKI pada 1968.

Namun lambat-laun, ayahnya akhirnya tahu tentang kegiatan anaknya lantaran Farida acapkali mengundang teman-temannya dari Lakpesdam dan Syarikat berdiskusi di rumahnya.

Ayahnya juga diam-diam membaca dokumen atau majalah terkait program pendampingan yang dilakukannya dan kawan-kawannya.

Dalam wawancara dengan saya, Farida mengaku meletakkan dokumen itu di ruang tamu, dengan harapan ayahnya membacanya.

"Mungkin proses itu, termasuk pergesekan, atau diskusi, dan sering komunikasi, antara saya dengan bapak, yang suatu saat membuat ayah saya meminta maaf," ungkapnya.

Farida menambahkan, "Meminta maaf dalam artian bahwa, apapun, membunuh itu merupakan perbuatan yang salah."

 

Ayah minta maaf, sesuatu yang luar biasa

 

Kepada anaknya, sang ayah juga berulangkali meyakini bahwa orang-orang NU juga menjadi korban pada tragedi itu, sepertinya halnya para penyintas dari orang-orang yang dituduh PKI.

"Karena, ketika ditelisik, ternyata data yang diterima teman-teman Banser, itu dari siapa, itu juga tidak jelas sampai hari ini. Pihak penyintas `65 juga ternyata tidak tahu dari siapa catatan-catatan itu," katanya.

"Data"atau "catatan" yang dimaksud Farida itu adalah daftar nama orang-orang yang harus dibunuh, baik dari pihak PKI dan NU, seperti yang dia dengarkan dari para penyintas dan orang-orang NU.

Mengomentari kembali keputusan ayahnya untuk mengakui tindakannya salah dan kemudian meminta maaf, Farida menyebutnya sebagai luar biasa.

"Dan membiarkan kami untuk berproses dan mendampingi para penyintas, itu juga luar biasa." Seperti sebelumnya ketika menyinggung sosok sang ayah, mata Farida terlihat berkaca-kaca.

Meminta maaf di hadapan penyintas

"Bagaimana reaksi eks tapol saat mengetahui ayah Anda adalah tukang jagal orang-orang yang dituduh PKI?" tanya saya ke Farida.

"Bukan saya yang bercerita," kata Farida, masih tersendat, dan matanya menerawang jauh. Maksudnya, Farida belum berani secara terbuka bercerita tentang keterlibatan ayahnya dalam pembunuhan massal di Blitar selatan.

Di salah-satu forum Syarikat, yang dihadiri anak-anak muda NU dan para penyintas, Farida memilih diam dalam sesi berbagi pengalaman seputar terkait memori kekerasan pasca Oktober 1965.

"Saya belum berani mengutarakannya."

Justru peran ayahnya di seputar pembunuhan massal itu diungkapkan oleh rekan-rekannya dari Lakpesdam.

Di hadapan para penyintas, mereka menyebut sosok Hasim As`ari adalah eksekutor orang-orang PKI di Blitar selatan pada 1968.

"Saya tidak bisa membayangkan wajah para penyintas," ungkapnya, mencoba mengingat lagi apa yang ada di benaknya ketika peran ayahnya diungkit di forum itu.

Setelah kesaksian itu disampaikan melalui mulut rekan-rekannya, Farida - di hadapan forum - meminta maaf kepada para penyintas.

"Saya meminta maaf atas nama bapak, atas nama keluarga."

Hanya satu kalimat itu yang terucap dari mulutnya saat itu. Menurutnya, sampai di situ keberaniannya untuk mengutarakan permintaan maaf kepada eks tapol.

Dalam suasana hening, salah-seorang penyintas bernama Sukiman (kini berumur 71 tahun), warga Desa Pasiraman, Kabupaten Blitar, berdiri mendekatinya, lalu merangkul Farida.

Eks anggota Lekra, yang pernah dipenjara dan pernah bersumpah membalas dendam kepada Ansor itu, mengeluarkan sederetan kalimat yang terus diingat oleh Farida sampai sekarang.

"Sudah, sudah, kita tidak benci kepada bapakmu. Kita tidak benci sama orang NU, kita sama-sama korban.

"Kita tidak pernah tahu persoalannya, kita memang dipaksa untuk melakukan sesuatu yang kadang kita tak tahu."

Farida kaget mendengarnya. Dia tak pernah menyangka kalimat seperti itu bisa meluncur begitu saja dari mulut orang yang dulu termasuk dalam barisan yang diburu ayahnya.

Farida kemudian mengulangi permintaan maafnya.

"Karena apapun motif atau niatnya, membunuh itu sesuatu yang berdosa." Semenjak saat itulah, dia tidak ada beban psikologis untuk mengungkapkan apa yang dilakukan ayahnya di masa-masa kelam 1968.

"Saya Sukiman, saya dulu anggota Lekra"

Pada hari kedua liputan kami di Blitar selatan, kami bersama Farida menaiki kendaraan roda empat, untuk menemui seorang pria kelahiran 1948, yang mengaku pernah dipenjara - tanpa diadili - karena dianggap menjadi penghubung, atau kurir, orang-orang yang dituduh melindungi pimpinan dan anggota PKI di desanya.

Kami melewati jalanan beraspal yang menanjak dan memutari perbukitan nyaris tanpa pepohonan alias gundul.

Di sepanjang jalur itu, hanya didominasi ilalang kering kecoklatan, sesekali pohon sengon yang sengaja ditanam berjejer, wajah kota Blitar di kejauhan, serta langit kebiruan pucat.

"Semua dijarah, pohon-pohon jati itu dibabat habis setelah 1998." Farida bercerita dan menekankan bahwa penggundulan hutan itu membuat desanya nyaris selalu kebanjiran setiap curah hujan tinggi.

Dari dalam mobil, saya justru membayangkan mengapa sebagian pimpinan PKI memilih wilayah perbukitan Blitar selatan sebagai lokasi persembunyian.

Dahulu, ketika pohon-pohon jati masih rimbun dan jalanan masih berlumpur, tentu tidak mudah mengakses kawasan berbukit-bukit itu.

"Ansor bantu mencari dan menangkap orang-orang PKI," Asmungi, eks Ketua Ansor anak cabang Wlingi, Kabupaten Blitar

"Saya tidak berperan apa-apa pada seputar Operasi Trisula 1968, kecuali hanya membantu ABRI (kini TNI) dan polisi, turut mencari dan menangkap orang-orang PKI.

Karena hanya membantu, Ansor hanya menyerahkannya kepada ABRI dan polisi. Jadi, Ansor tidak pernah berjalan sendiri. Kami bersama-sama ABRI dan polisi.

Beberapa anggota Ansor didampingi pasukan ABRI melakukan gropyokan (operasi) ke rumah-rumah warga untuk mengetahui apakah mereka menyimpan senjata atau menyimpan dokumen terkait PKI. Ternyata banyak sekali.

Anggota Ansor yang mau membantu diberi semangat mental, yaitu membaca shalawat , sehingga saat ditembak tidak mempan - Insya Allah .

Senjata yang dirampas dari rumah masyarakat, sebagian besar buatan China, yang merknya Cung. Sebagian disimpan di Museum Brawijaya di kota Malang, Jatim.

Pada awal 1968 di Blitar selatan itu adalah pemberontakan PKI. Kita berperang, karena PKI juga mempunyai senjata. Pimpinan mereka ada yang tokoh-tokoh eks ABRI.

Di wilayah itu, banyak sukarelawan PKI dan mereka bersenjata. Kita intinya berperang, karena melawan mereka yang bersenjata. Generasi muda sekarang harus tahu bahwa PKI mau berontak terhadap negara.

Mereka diantaranya adalah pimpinan pusat PKI, seperti Ir Surachman dan Oloan Hutapea, dan banyak lagi, bersama eks ABRI berkumpul kembali di Blitar selatan.

Oloan mati dibunuh massa di tempat persembunyiannya dan Ir Surachman ditembak mati.

Operasi yang berjalan sampai Agustus 1968, berhasil menumpas habis orang-orang PKI. Ada yang tertembak, ada yang ditangkap, dan ada pula yang diadili.

Sekarang ada informasi yang menyebut PKI itu adalah korban. Ini tidak betul. Mereka bersenjata dan kita berperang. Hanya saja mereka kalah.

Kalau ada upaya perdamaian atau rekonsiliasi dengan eks tapol yang masih hidup, pemerintah yang harus berperan. Kalau tidak dilakukan pemerintah, kedua pihak saling mengeklaim paling benar.

Sekarang keluarga eks tapol sudah bisa menjadi pegawai negeri, sehingga tidak ada bedannya dengan masyarakat lainnya.

Keadaannya sudah normal seperti sediakala, sehingga silaturahmi sudah berlangsung dengan baik secara alamiah, dan tidak ada lagi saling mencurigai.

Sekarang sudah normal, saya tidak perlu takut kalau seandainya mereka membalas.

Saya sudah tahu peta di wilayah Wlingi, saya tahu wilayah yang dulu dikuasasi kelompok merah. Sekarang saya biasa saja mengikuti pengajian di wilayah itu.

Hubungan saya dengan mereka saat ini baik-baik saja. Kalau saya diundang pada hajatannya, saya datang. Demikian pula sebaliknya. Tidak ada masalah.

Baik Ansor maupun eks PKI dan keturunannya sama-sama tidak merasa terancam, karena kedudukannya sudah sama di hadapan hukum.

Kalau memang ada yang mau mendamaikan, harus melibatkan pemerintah. Kalau tidak ada upaya itu, ya tidak apa-apa. Pokoknya jangan diungkit-ungkit lagi."

Kira-kira memakan waktu 30 menit, kendaraan kami menepi di rumah beton sederhana yang eksteriornya sudah bersentuhan dengan modernisasi.

Lokasinya di Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar. Sekelebat pikiran saya membayangkan ketika ratusan tentara berbaris di depan rumahnya di bulan-bulan awal 1968 - lalu satu per satu tentara itu menggedor pintu rumah warga untuk mencari orang-orang PKI.

Yang ada di hadapan saya justru semilir angin dan suara menggelegar dari depan pintu. "Saya Pak Sukiman... Saat usia 18 tahun, saya berhimpun di organisasi Lekra..."

Lembaga Kesenian Rakyat, atau Lekra, adalah organisasi kesenian yang disebut merupakan onderbouw PKI. "Saya dulu bermain sendratari, yaitu tari Remong."

Berperawakan agak tinggi, kurus, bahu lebar, dan sebagian rambutnya sudah memutih, tapi pendengaran Sukiman masih tajam. Dia juga suka menebar tawa lebar di sela-sela menjawab pertanyaan.

Dia masih mampu mengingat peristiwa horor yang menimpa keluarganya pada 1968, ketika pasukan ABRI dibantu Banser NU melakukan operasi penangkapan orang-orang yang dituduh anggota PKI atau orang-orang dianggap membantunya.

"Kakak-kakak saya hilang, mati. Sukadi, Sukemi, dan Duryadi, kakak ipar saya. Ada diantaranya yang dibuang ke luweng (gua) tikus,"

Sukiman- ayah tiga anak ini - mengutarakannya seperti tanpa beban. Dia sendiri adalah anak bungsu dari lima bersaudara.

Ketika Operasi Trisula digelar, Sukemi sempat kabur ke Jombang dan Malang. Namun dia memilih kembali ke desanya, tetapi ditangkap karena dituduh menjadi kurir yang menghubungkan para pimpinan PKI dan pendukungnya di wilayah itu.

"Padahal, saya tidak tahu menahu tentang politik. Saya juga tak tahu isi suratnya."

`Saya dulu dendam dengan Ansor, tapi sekarang...`

Seperti kebanyakan penyintas `65 lainnya, dia mengaku disiksa dan kesulitan mendapatkan makanan secukupnya selama di penjara.

Setahun kemudian dia dikeluarkan dan diwajibkan wajib lapor ke instansi militer setempat.

Keluar dari penjara, seperti yang dialami eks tapol lainnya, Sukiman mirip pesakitan yang dianggap berbahaya oleh masyarakat lantaran pilihan politiknya dahulu.

Dia teringat putri sulungnya, Istini, yang pernah kesulitan berhubungan dengan lawan jenis, karena "latar belakang" ayahnya.

Di masa-masa itu, usai keluar dari bui, dia sempat bersumpah kepada dirinya sendiri untuk membalas dendam terhadap orang-orang Ansor - ormas kepemudaan onderbouw NU.

"Dendam kesumat, hutang darah dibayar dengan darah... Saya tahu segi tiga yang dinamakan Ansor," nada suaranya meninggi. Segi tiga yang dimaksudnya adalah bingkai pada logo Ansor yang berbentuk segi tiga.

Namun nada suara Sukiman kembali memelan, dan buru-buru menambahkan bahwa dirinya tidak lagi menaruh dendam kepada Ansor. Ini terjadi setelah dia mengikuti rekonsiliasi kultural yang ditawarkan anak-anak muda NU pada awal 2000-an.

"Setelah ada rekonsiliasi, kita sudah berdamai," kata Sukiman, masih dengan nada perlahan.

"Yang menyadarkan saya itu saudara Munif." Berulangkali Sukiman juga menyebut bahwa dirinya dan orang-orang Banser sebagai "sesama korban" karena keadaan dan hasutan pihak ketiga.

Munif adalah Ketua Lakpesdam NU pada awal 2000-an, yang ikut berperan mempertemukan pertama kalinya antara orang-orang yang selamat dari Operasi Trisula dan warga Nahdliyin yang menjadi Banser saat operasi tersebut.

Pada September 2001, seperti tercatat dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965, terbitan Syarikat dan Tifa (2016), Munif dan kawan-kawan mempertemukan mereka yang dulu bermusuhan itu dalam acara kesenian bertema Rukun Agawe Santoso.

Acara yang diisi sholawatan , pengajian, dan kentrung dan campursari itu digelar di pelataran Tugu Trisula di Desa Bakung, Kabupaten Blitar.

"Tidak ada pemisahan tempat duduk bagi kedua komunitas memori itu," ungkap Moh. Asrofi, dalam tulisan berjudul Merajut kembali ingatan masa lalu, salah-satu tulisan di buku itu.

Acara ini kemudian ditindaklanjuti oleh acara silaturahmi di antara kedua pihak - termasuk memanfaatkan halalbihalal Idul Fitri. Walaupun masih ada penolakan dari sebagian anggota NU, proses rekonsiliasi ini terus bergulir.

"Farid a itu seperti anak saya sendiri"

Di ruangan tamu, usai wawancara, Sukiman terlihat bercengkerama dan sesekali bergurau dengan Farida - dalam bahasa Jawa.

"Farida itu seperti anak saya sendiri." Di lain sisi, Farid menganggap Sukiman sudah seperti ayahnya sendiri.

Suasana keakraban antara anak tokoh NU dan eks Lekra itu, tak pernah terbayangkan sebelumnya akan terjadi. Kedua pihak yang pernah berseteru akan terus menyimpan amarah dan dendam, apabila upaya membangun jembatan untuk mendekatkannya tidak dirintis sejak awal.

Saya pun membayangkan pula betapa tidak mudah bagi Farida dan, terutama, para pendahulunya dalam membangun komunikasi awal dengan Sukiman dan kawan-kawan.

Puluhan tahun mereka terjebak dalam memori kolektif yang terbelah dan hubungan sosial yang nyaris hancur akibat warisan kekerasan pasca Oktober 1965.

"Kami sempat bingung untuk mengawalinya," ungkap Moh, Asrofi, aktivis Lakpesdam NU Blitar, dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965. "Bagi kami, rekonsiliasi kultural itu adalah hal baru."

Menimba pengalaman dari diskusi dengan lembaga yang sudah melakukan langkah serupa, mereka lantas mencari sosok yang bisa menjadi pintu pembuka untuk menjadi jembatan ke pihak para penyintas.

Langkah ini akhirnya bergulir, dan Farida mengingat betapa tidak gampangnya untuk meyakinkan para penyintas dari kalangan perempuan untuk bercerita terbuka tentang apa yang mereka alami di masa-masa itu - pada awalnya.

"Kita pendekatannya secara pribadi, tidak melibatkan organisasi apapun," katanya.

Diawali dengan membangun kepercayaan yang antara lain ditandai dengan beberapa kali pertemuan silaturahmi, para penyintas barulah merasa nyaman untuk mulai berbagi informasi perihal pengalaman pahit mereka di masa lalu.

Dalam beberapa pertemuan berikutnya, mereka lantas saling membuka diri, lalu "saling menyadari" bahwa mereka adalah "sama-sama korban". Di momen-momen itulah, menurut Farida, kedua pihak secara terbuka untuk saling memaafkan.

"Bahwa saya, beliaunya, yang tak luput dari salah, maka kita membuka diri untuk saling memaafkan, tidak ada dendam, dan kita saling melakukan sesuatu secara bersama," katanya.

Untuk memelihara kedekatan itu, Farida dan anak-anak muda NU serta para penyintas berjanji untuk saling bertemu, termasuk di acara-acara keluarga.

"Ketika ibu-ibu itu mengawinkan anak-anaknya, kita datang ramai-ramai."

Lokasi pembantaian orang-orang PKI: Gua Tikus

Ketika saya mengutarakan ide untuk mengajaknya ke salah-satu lokasi eksekusi dan kuburan massal orang-orang yang dicap PKI, yaitu gua tikus atau luweng tikus di Dukuh Bokolan, Desa Lorejo, Kecamatan Bakung, Farida tidak keberatan.

"Saya belum pernah ke sana," katanya. Masrukin, suaminya, yang juga pernah aktif di Lakpesdam NU Kabupaten Blitar dan turun mendampingi para penyintas, kami ajak pula.

Bagaimana dengan Sukiman, yang salah-satu anggotanya diduga dibunuh dan dibuang ke gua tersebut, apakah dia berkenan ikut serta? Dia mengiyakan dan bersemangat. "Saya sudah berulangkali mengunjunginya."

Saya sempat khawatir kedatangan kami ke gua tikus itu akan ditolak aparat keamanan setempat. Maklum, lebih dari 15 tahun silam, upaya penggalian gua tikus oleh sejumlah LSM untuk kepentingan penyelidikan dugaan pembunuhan massal, ditolak Bupati Kabupaten Blitar, karena alasan "meresahkan masyarakat".

Kenyataannya lancar-lancar saja, kecuali medannya yang relatif berat. Mobil sewaan akhirnya kami titipkan ke rumah salah-seorang pegiat Lakpesdam, dan kami melaju ke lokasi dengan mengendarai sepeda motor.

Memakan waktu sekitar 30 menit, kami melalui jalanan tanah berdebu, naik-turun, terkadang hanya jalan setapak, melintasi perbukitan gersang di tengah sengatan matahari di siang bolong.

"Itu lubang guanya," kata Markus, aktivis Lakpesdam setempat.

Dibiarkan menganga, tanpa pagar, dan dirimbuni pohon bambu di kedua sisinya, pintu masuk ke gua itu kira-kira berdiameter tiga dan dua meter.

Tidak pernah diketahui berapa jumlah orang-orang yang dituduh PKI dijagal, dibunuh dan dibuang ke dalam lubang yang terlihat gelap dari atas.

Hanya saja berhamburan cerita tentang bau busuk yang menyengat tidak lama setelah eksekusi, kisah-kisah menyeramkan di seputarnya, serta upaya penyelidikan siapa saja yang dibunuh di lubang itu yang akhirnya gagal.

Komnas HAM memang telah melakukan penyelidikan kekerasan pasca 1965, antara lain dengan mewawancarai saksi mata dan mendatangi sejumlah lokasi yang disebut sebagai kuburan massal.

Melalui penyelidikannya, Komnas HAM menyimpulkan bahwa kasus kekerasan pasca G30S sebagai pelanggaran HAM berat. Para eks tapol itu kemudian disebut sebagai korban atau penyintas.

Empat tahun lalu, dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia, Ketua Komnas HAM Nur Kholis (kini tidak lagi menjabat) mengatakan pengungkapan kuburan massal merupakan salah-satu upaya pengungkapan kebenaran.

Namun upaya pengungkapan itu tak berlangsung mulus, karena mendapat tentangan dari sejumlah kelompok masyarakat dan kalangan dalam pemerintah sendiri. Akibatnya penyelesaiannya sampai kini terkatung-katung, tanpa ada kejelasan.

Berdiri di dekat lubang mengerikan itu, Sukiman tetap berharap pemerintah agar serius menyelesaikannya. Namun dia kurang setuju jika ada upaya penyelidikan siapa saja korban yang dibunuh di dalam gua itu.

"Itu sudah lampau, tidak penting. Sudah 50 tahun silam," katanya. Dia mengusulkan agar pemerintah membuatkan jalan yang layak menuju ke gua ini, sehingga memudahkan keluarga korban yang ingin berziarah.

Adapun Farida mengharapkan, siapapun yang dibunuh dan dibuang ke dalam lubang gua itu, untuk dikuburkan ulang secara layak.

"Siapapun mereka, seharusnya mereka dikuburkan secara layak," katanya. Dengan tindakan seperti, pemerintah sudah menunjukkan bukti keseriusan untuk menyelesaikan tragedi `65 dengan cara mengakuinya, katanya.

Masrukin sependapat dengan Farid agar diungkap siapa yang dibunuh dan dibuang ke dalam lubang itu, walaupun diakuinya upaya ini akan sulit direalisasikan saat ini, karena masih ada penolakan dari sebagian masyarakat.

`Biarkan tugu Trisula berdiri, jangan dibongkar`

Di akhir perjalanan, kami kemudian menuju Monumen Trisula, yang didirikan oleh pemerintah pada 1972, di Desa Bakung, Kecamatan Bakung.

Ini adalah bangunan tugu untuk menjadi pengingat keberhasilan Operasi Trisula 1968 membasmi pimpinan dan pengikut PKI di Blitar selatan.

Dalam salah-satu dindingnya tertera nama-nama anggota masyarakat dan TNI/Polri yang disebutkan menjadi korban PKI.

"Saya kenal beberapa nama yang tertera di dinding ini," kata Sukiman seraya menyebut setidaknya tiga nama.

Sukiman, yang mengaku dilibatkan bersama tapol lainnya oleh instansi militer untuk menggali fondasi bangunan monumen itu ("Saya saat itu masih dikenai wajib lapor setelah keluar penjara," katanya), dapat menerima keberadaan tugu yang dibangun pada masa Orde Baru itu.

"Biarkan saja tugu ini, jangan dibongkar. Ini sejarah," katanya.

Di hadapan saya, Sukiman lebih bersemangat bercerita tentang acara rekonsiliasi yang dirintis anak-anak muda NU dan para penyintas - dibungkus dalam acara kesenian - yang digelar di halaman tugu itu, September 2001.

Dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965 disebutkan bahwa acara yang digelar di pelataran monumen itu dapat membangkitkan ingatan yang bukan hanya berbeda, tapi juga saling berlawanan.

"Tetapi kami yakin kebersamaan itu, niscaya akan mencairkan sekat memori kolektif yang terbelah," tulis Moh.Asrofi, aktivis Lapesdam NU Blitar, dalam buku itu.

Farida pun meyakini, rekonsiliasi kultural itu, sangat bermanfaat karena setidaknya dapat meminimalkan kebencian di antara kedua pihak, sekaligus menghapus dendam.

"Dan saya akui, proses rekonsiliasi harus berlanjut, dan barangkali tidak akan pernah selesai. Silaturahmi harus terus berlanjut," kata Farida.

.