AJI Surabaya Kecam Kekerasan Polisi Kepada Jurnalis
- timesindonesia
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Surabaya (AJI Surabaya), Miftah Faridl mengecam keras atas tindak kriminalisasi pihak kepolisian kepada jurnalis selama meliput aksi demonstrasi mahasiswa.
Kriminalisasi itu berupa ancaman, intimidasi hingga perampasan alat kerja jurnalis. Sementara kerja jurnalis merupakan kerja yang dilindungi undang-undang.
“Kita mengecam dan menuntut agar kepolisian bertindak profesional kalaupun saat ini polisi pelakunya maka kita menuntut juga polisi menegakkan aturan dan undang-undang kalau mereka pelaku kekerasan terhadap jurnalis,” tegas Faridl.
Kasus tersebut terjadi karena jurnalis melakukan peliputan atau mendokumentasikan sesuatu yang menurut polisi mengancam harkat profesi mereka sehingga berusaha ditutup-tutupi.
“Ini yang kita tuntut bahwa kerja jurnalis dilindungi undang-undang kalau ada omongan bahwa kartu pers kita kurang besar, hari ini kita bawa kartu pers dengan ukuran besar. Namun jika kurang besar kami akan bawa spanduk,” tambahnya.
Hal tersebut berdasar pernyataan Karo Penmas Div Humas Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo. Pihaknya mengatakan kartu pers jurnalis terlalu kecil sehingga tidak terlihat polisi saat bentrokan.
Logika tersebut menurut Faridl adalah logika sesat, sedangkan penganiayaan apapun bentuknya tidak boleh dilakukan sekalipun orang tidak memiliki ID card atau pakaian bertuliskan pers.
Namun faktanya, lanjut Faridl, dari berbagai kasus kekerasan yang terjadi saat liputan sebenarnya jurnalis telah menunjukkan identitas atau ID pers. Kendati demikian ancaman tersebut kerap terjadi.
Dari catatan AJI, ada 730 kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak 2008 dan 60 kasus di antaranya dilakukan polisi. Nyaris tidak ada kasus dituntaskan menggunakan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Di mana siapapun yang menghalang-halangi kerja jurnalis diancam 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 500 juta.
Sepanjang aksi demo September 2019 ini tercatat 13 jurnalis mengalami kekerasan, perampasan alat kerja dan intimidasi di berbagai daerah. Antara lain Jakarta, Palu, Makassar, dan Jayapura.
“Dari laporan para korban, pelaku kekerasan dan tindakan menghalang-halangi kerja jurnalis ini dilakukan oleh aparat yaitu polisi,” ungkap Faridl.
Sikap arogan polisi menciderai demokrasi dan merampas hak publik untuk mendapatkan informasi juga dilakukan kepada jurnalis sekaligus pegiat HAM Dandhy Laksono.
Dandhy ditangkap pada 26 September 2019 dengan tuduhan menyebarkan konten yang menimbulkan rasa kebencian, permusuhan individu, dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
“Dandhy menyampaikan informasi sebenarnya yang terjadi di Papua sebagai bentuk kebebasan pers di situ tidak ada argumen atau opini. Dia hanya memberi informasi yang diklarifikasi oleh para jurnalis di Kalimantan, Jawa maupun Papua. Mengingat kondisi akses di Papua down dan internet dibatasi serta wartawan diintimidasi,” tandasnya.
Dandhy Laksono telah membantu publik mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Ancaman pidana terhadap Dandhy menjadi tonggak sejarah baru kemunduran demokrasi.
“Namun jika keberanian itu dibalas dengan ancaman penjara maka itu kemunduran demokrasi kita. Yang menyedihkan adalah kita sedang berbicara soal apa yang terjadi era orde baru 1998 dan itu terjadi di era orba 4.0 saya tidak bisa berfikir bahwa bayangan-bayangan orba terjadi hari ini,” ungkapnya.
Belum lagi RKUHP makin menyulitkan dan mempersempit kerja jurnalis dengan ancaman pidana. Kemerdekaan pers terancam nyata. RKUHP belum disahkan namun telah banyak jurnalis yang dipenjara. “Ini kerugian bagi publik karena kita bekerja untuk publik jika kita dipenjara atau dipukul, maka hak publik mendapat informasi bisa terancam,” pungkas Ketua AJI Surabaya tersebut.