Fakta-fakta terkait Penangkapan Dandhy Laksono

Jurnalis senior Dandhy Dwi Laksono
Sumber :
  • Facebook Dandhy Dwi Laksono

VIVA – Jurnalis senior dan aktivis Dandhy Dwi Laksono ditangkap aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya di kediamannya di Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis malam, 26 September 2019 sekitar pukul 23.00 WIB. Penangkapan Dandhy terkait unggahannya di media sosial mengenai Papua.

Kabar penangkapan Dandhy kali pertama disampaikan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati usai istri Dandhy, Irna Gustiawati membuat kronologi penangkapan suaminya. Berikut ini fakta-fakta terkait penangkapan Dandhy, seperti dikutip dari VIVAnews.

Kronologi penangkapan

Berdasarkan kronologi yang ditulis Irna Gustiaw, Dandhy baru sampai di rumahnya di Kompleks Jatiwaringin Asri, Pondokgede, Kota Bekasi, Jawa Barat pukul 22.30 WIB. Namun 15 menit kemudian, datang tamu menggedor-gedor pagar rumah yang kemudian dibukakan oleh Dandhy.

Menurut Irna, tamu yang berjumlah empat orang itu dipimpin oleh pria bernama Fathur membawa surat penangkapan. Dan pada pukul 23.05 WIB, Dandhy dibawa ke kantor Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menggunakan kendaraan Fortuner. Penangkapan Dandhy disaksikan oleh dua satpam RT setempat.

Dijerat Pasal UU ITE

Menurut Irna, petugas yang menangkap suaminya membawa surat penangkapan karena alasan unggahan Dandhy soal Papua dalam akunnya di Twitter. Dari foto surat perintah penangkapan Dandhy yang beredar, polisi menangkap Dandhy untuk diperiksa karena disangka melakukan tindak pidana menyebarkan kebencian. Dandhy dijerat dengan Undang-undang Informasi Transaksi dan Elektronik pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45 A ayat (2) dan KUH Pidana Pasal 14 dan 15.

"...diduga melakukan tidak pidana setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu dalam pasal 28 ayat 2 pasal 45 ayat 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang ITE dan/atau pasal 14 dan pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang hukum pidana," bunyi surat penangkapan yang ditandatangani Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya AKBP Moh Irhamni.

Sementara beberapa jam sebelum penangkapan, dengan mengutip salah satu berita portal di Tanah Air, Dandhy sempat menulis cuitannya dalam akunnya di Twitter. Dalam cuitan itu, dia menulis:

1. Mengangkat jenderal Orba. Lima tahun berkuasa tak satupun kasus HAM diselesaikan.

2. Merespon Papua dengan mengirim pasukan dan menangkapi aktivis dengan pasal makar.

3. Membatasi internet, aparatnya razia buku, ikut nyebar hoaks, dan sarat kekerasan.”

AJI dan YLBHI Desak Bebaskan Dandhy

Sementara itu, Dandhy didampingi pihak dari YLBHI dan KontraS di Polda Metro Jaya. AJI menilai bahwa penangkapan Dandhy tidak berdasar dan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Karena itu, AJI mendesak Polda Metro Jaya untuk melepaskan dan membebaskan Dandhy dari segala tuntutan. Menurut AJI, penangkapan sutradara film dokumenter dan pengurus AJI itu bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi Indonesia.   

YLBHI juga mendesak penyidik Polda Metro Jaya menghentikan penyidikan dan membebasakan segera Dandhy. "Kami juga mendesak agar Kepolisian menghargai hak asasi manusia yang sepenuhnya dijamin konstitusi RI dan tidak reaktif serta brutal dalam menghadapi tuntutan demokrasi," kata Ketua Umum YLBHI Asfinawati.

Dibebaskan dengan status tersangka

Berdasarkan laporan dari tvOne, Dandhy sudah dibolehkan pulang setelah diperiksa selama lima jam oleh penyidik Polda Metro Jaya. Kendati dibolehkan pulang, namun status Dandhy adalah tersangka atas dugaan ujaran kebencian dalam akunnya di media sosial.

Kerap menyuarakan Papua

Menurut YLBHI, Dandhy selama ini sering membela dan menyuarakan berita-berita tentang Papua. YLBHI menilai bahwa yang dilakukan Dandhy adalah upaya memperbaiki kondisi hak asasi manusia (HAM), demokrasi dan merupakan bagian dari upaya memastikan bahwa masyarakat dan publik dapat mendapat informasi berimbang.

Karena itu, Asfinawati bilang bahwa penangkapan Dandhy menunjukkan perilaku reaktif Polri terkait isu Papua dan sangat berbahaya bagi perlindungan dan kebebasan informasi yang dijamin penuh oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Penangkapan tersebut juga merupakan bentuk pembungkaman bagi pegiat informasi dan teror bagi pembela HAM.