Polusi Udara Palangkaraya Tembus 20 Kali Lipat Batas Normal
- bbc
Polusi udara di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, selama empat hari terakhir berada dalam taraf membahayakan.
Pada Senin, 16 September 2019, kandungan polusi PM2,5 tercatat mencapai 1.413,4 mikrogram per meter kubik. Padahal, ambang batas normal polusi PM2,5 yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah 65 mikrogram per meter kubik.
Polusi udara dengan taraf berpuluh kali lipat dari ambang batas normal tak kunjung berubah sejak Jumat 13 September 2019, menurut AirVisual.com yang merujuk data KLHK. Partikulat (PM2,5) adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer). Ukurannya yang sangat kecil bisa diibaratkan hanya 3 persen diameter rambut manusia.
Sedemikian kecilnya, Greenpeace Indonesia mengatakan bahwa PM 2,5 bisa dengan mudah menembus masker hijau yang biasa dipakai warga. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut polusi udara, terutama yang sangat halus seperti PM 2,5, amat berbahaya bagi kesehatan terutama kelompok rentan seperti bayi, anak-anak, ibu hamil dan lanjut usia.
Penyakit yang dapat terjadi akibat PM 2,5 yang tinggi ini, antara lain stroke, penyakit jantung, infeksi saluran pernapasan, kanker dan penyakit paru kronis. Khusus untuk penyakit pernapasan, PM 2,5 menjadi partikel yang dapat memperparah dengan lebih cepat sebab dapat mengendap pada saluran pernapasan daerah bronki dan alveoli.
Bolak-balik ke rumah sakit
Lilis Alice, seorang warga Palangka Raya mengaku terpaksa bolak-balik ke rumah sakit karena sakit tenggorokan. Dokter mengatakan, sakitnya itu karena menghirup asap.
"Masyarakat kan keluhan di sini mata pedas, tenggorokan sakit, badan terasa enggak enak. Kalau saya ke dokter dua kali. Sempat sembuh, tapi kena lagi," tukasnya.
"Ini kayaknya sama seperti tahun 2015."
Senada dengan Lilis, warga Pekanbaru, Ilham juga mengatakan begitu. Menurutnya buruknya udara menyerupai kondisi empat tahun silam; udara menguning dan bau asap pekat.
"Aroma (asap) sudah tajam tercium. Tajam banget. Sama kayak tahun 2015," ujarnya geram saat dihubungi BBC News Indonesia.
"Jadi istriku, enggak pernah kena iritasi sama asap selama ini. Tapi di kulit mukanya merah-merah dan bentol juga mengelupas. Saat dibawa ke IGD, ternyata penyebabnya iritasi asap," jelas Ilham kepada BBC News Indonesia.
Pelaksana Harian Kepala Dinas Kesehatan Riau, Yohanes, mengatakan sejak akhir Agustus lalu Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di wilayahnya turun-naik di angka 400 atau termasuk kategori berbahaya.
Setidaknya sudah 11.654 pasien yang datang ke puskesmas di seluruh kabupaten dan kota dengan mayoritas gejala infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA. Karena itu, kaya Yohanes, pihaknya membagikan setidaknya satu juta masker hijau ke masyarakat.
"Jadi keluhannya ada pneumonia dan ISPA. Tapi kebanyakan ISPA. Kami juga bagikan masker biasa, bukan N95, karena masker itu sirkulasi udaranya tidak cocok untuk situasi begini. Kalau digunakan 5-10 menit, akan sesak," jelasnya.
Dia juga menegaskan, semua biaya pengobatan akibat asap kebakaran hutan dan lahan ini ditanggung pemerintah.
BBC Indonesia