Harga Rokok Murah Picu Anak Stunting
- Pixabay/karosieben
VIVA – Harga rokok yang murah membuat remaja masih mampu menjangkau rokok dengan mudah. Hal ini membuat perilaku merokok di kalangan anak masih sangat memprihatinkan.
Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi merokok remaja usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada tahun 2013 menjadi 9,1 persen pada tahun 2018. Harga rokok yang murah, serta masih maraknya praktik penjualan rokok secara eceran memicu tingginya konsumsi rokok pada kalangan remaja di Indonesia.
Selain mengancam para remaja, harga rokok yang terjangkau juga mengancam kesejahteraan keluarga miskin. Studi yang dilakukan oleh Dartanto dkk. pada tahun 2018 dengan mengeksplorasi data Indonesia Family Life Survey (IFLS), menunjukkan bahwa konsumsi rokok berhubungan secara signifikan dengan kemiskinan, stunting pada balita, dan tingkat kecerdasan anak yang rendah.
Selanjutnya Dartanto dkk. dan PKJS-UI melakukan studi kasus terhadap keluarga dengan balita stunting di Kabupaten Demak dimana terbukti adanya kebutuhan makanan bernutrisi yang tidak terpenuhi akibat konsumsi rokok orang tua.
“Studi kasus yang dilakukan di Demak membuktikan adanya shifting kebutuhan penting untuk belanja rokok, sehingga anak mengalami stunting," kata Renny Nurhasana, Manager Program Pengendalian Tembakau PKJS-UI dalam siaran pers yang diterima VIVA, Kamis, 12 September 2019.
Hal ini, lanjut Renny, membuktikan bahwa perilaku merokok dapat menghambat pembangunan SDM dari berbagai aspek seperti kesehatan, pendidikan, dan sosio-ekonomi pada generasi selanjutnya.
Ironisnya, perilaku merokok banyak ditemukan pada keluarga penerima dana bansos. Menurut studi PKJS-UI dan Dartanto dkk. tahun 2019 terhadap perilaku merokok pada keluarga miskin penerima dana bansos, konsumsi rokok (nilai dan kuantitas) pada keluarga tersebut lebih besar dibandingkan bukan penerima bansos.
“Keluarga penerima Program Keluarga Harapan atau PKH membelanjakan Rp3.660 per kapita per minggu dan 3,5 batang per kapita per minggu lebih tinggi dibandingkan keluarga yang bukan penerima PKH," menurut Teguh Dartanto, ketua tim peneliti dan juga Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI.
Pada dasarnya bansos merupakan program dengan tujuan yang bagus, namun kurang efektif akibat perilaku merokok keluarga penerima program.
Berdasarkan wawancara mendalam kepada keluarga penerima bansos di Kota Malang dan Kabupaten Kediri, dalam kondisi ekonomi yang sangat pas-pasan, mereka tetap menghabiskan sebagian pendapatannya untuk belanja rokok hingga dua bungkus per hari.
Bahkan keluarga penerima dana bantuan sosial masih belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dan tempat tinggal yang layak karena anggaran untuk belanja rokok menghabiskan hampir setengah dari kebutuhan sehari-hari.
Hal ini sekali lagi membuktikan harga rokok masih terjangkau bagi kelompok masyarakat miskin. Sehingga rokok memang harus mahal jika ingin kesejahteraan masyarakat meningkat. Masyarakat sendiri banyak yang mendukung harga rokok naik.
Hasil penelitian PKJS-UI terhadap 1.000 orang responden, 88 persen masyarakat mendukung harga rokok naik, bahkan 80,45 persen perokok setuju jika harga rokok naik. Semakin tinggi harga rokok, jumlah konsumsi rokok akan semakin turun.
"Namun sebagian besar perokok mengaku akan berhenti merokok apabila harga mencapai Rp60.000-Rp70.000 per bungkus. Artinya, kenaikan cukai rokok harus signifikan membuat harga rokok menjadi lebih mahal” menurut Aryana Satrya, Ketua PKJS-UI.