Jawa Timur, Wilayah Darurat Penerima Daging Kurban
- timesindonesia
Riset Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) menunjukkan wilayah yang darurat penerimaan daging kurban, salah satunya adalah Jawa Timur.
Peneliti Muda IDEAS Febby Meidawati mengatakan, ketepatan pendistribusian kurban kepada yang paling berhak merupakan indikator terpenting. Pihaknya mendefinisikan kelompok masyarakat tersebut dengan sebutan 'Mustahik (penerima) Darurat' dengan pengeluaran per kapita kurang dari Rp 200 ribu per kapita per bulan.
"Pada 2019, penduduk muslim dengan kategori 'mustahik darurat' diperkirakan sebesar 342 ribu jiwa, mayoritas berlokasi di daerah pedesaan (327 ribu)," ujarnya dalam pemaparan di kawasan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (9/8/2019).
Febby mengurai, daerah dengan mustahik darurat terbesar ini adalah pedesaan di Jawa Timur (109 ribu jiwa), disusul Sulawesi Selatan (98 ribu), pedesaan Sulawesi Tenggara (26 ribu), pedesaan Gorontalo (17 ribu), pedesaan Jawa Tengah (16 ribu), pedesaan Nusa Tenggara Timur (12 ribu) dan pedesaan Sulawesi Tengah (11 ribu).
"Kelompok mustahik ini diasumsikan memiliki konsumsi daging paling rendah, bahkan tidak memiliki daya beli untuk daging sama sekali, sehingga dianggap paling pantas menerima daging kurban," jelasnya.
Sementara itu, untuk potensi kurban terbesar umumnya berasal dari wilayah perkotaan. Potensi pekurban 2019 didominasi daerah perkotaan Jawa Barat ( 804 ribu pekurban), Jawa Timur (415 ribu), DKI Jakarta (323 ribu), Jawa Tengah (244 ribu) dan Banten (221 ribu).
Lebih lanjut, Febby memaparkan kesenjangan pendapatan antara perkotaan dan pedesaan juga berpotensi menyebabkan tak meratanya pembagian daging kurban. Semisal, perkotaan berpotensi menghasilkan 149 ribu ton daging namun kebutuhan penerima hanya 69 ribu ton, sehingga terdapat potensi surplus 80 ribu ton.
"Sedangkan daerah pedesaan hanya berpotensi menghasilkan 32 ribu ton daging namun kebutuhan penerima mencapai 107 ribu ton," sebut Febby.
Febby menilai akan ada potensi ketidakseimbangan yang besar antara masyarakat perkotaan dan pedesaan dalam penyaluran daging kurban jika tak dilakukan rekayasa sosial. (*)