Dokter Romi CPNS Difabel yang Kelulusannya Dibatalkan Angkat Bicara
- bbc
Dokter gigi Romi Syofpa Ismael, yang kelulusannya dianulir dalam seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) karena kondisi fisiknya, mengatakan akan menggugat Kabupaten Solok Selatan di Provinsi Sumatera Barat bila mediasi dengan kementerian buntu.
Drg Romi menjadi difabel karena paraplegia sejak 2016 silam.
Ia berharap status kelulusannya dalam tes penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) dikembalikan, terutama setelah mediasi yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada Senin (29/07).
"Yang pertama itu, pemulihan hak-hak kembali lulus sebagai CPNS di Kabupaten Solok Selatan," tutur Romi, melalui sambungan telepon, kepada BBC News Indonesia.
Romi berharap mediasi tersebut menghasilkan rekomendasi yang tegas terkait nasibnya. Jika tidak, Romi, melalui kuasa hukumnya dari LBH Padang, Wendra Rona Putra, akan tetap melanjutkan rencana pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
"(Jika) bahkan pada level rapat koordinasi kementerian pun hasil rekomendasinya tidak cukup clear , kami pikir negara di sini gagal dalam menghadirkan kepastian perlindungan terhadap kelompok disabilitas," tutur Wendra tegas.
Sementara itu, pemerintah Kabupaten Solok Selatan belum menentukan sikap setelah memenuhi undangan mediasi di Jakarta.
"Kita tetap membuka diri untuk mencarikan, intinya, solusi terbaik untuk dokter gigi Romi," ujar Firdaus Firman, Kepala Bagian Humas Pemkab Solok Selatan, kepada BBC News Indonesia (29/7).
"Saya mampu bersaing dengan peserta umum"
Menurut Romi, tungkai kakinya melemah karena mengalami paraplegia setelah melahirkan anak keduanya pada Juli 2016. Paraplegia terjadi akibat adanya gangguan pada rangkaian sistem saraf yang mengendalikan otot-otot anggota tubuh bagian bawah.
Akan tetapi, kondisi tersebut tidak menghentikannya menjalankan profesinya sebagai dokter gigi yang sudah ia jalankan sejak beberapa tahun sebelumnya. Ia kembali berpraktik dengan menggunakan kursi roda di Puskesmas Talunan, Solok Selatan, dengan status tenaga harian lepas.
Menurutnya, kondisinya yang harus terduduk di atas kursi roda tidak merintanginya menjalankan tugas.
"Alatnya sudah canggih. Jadi, mau pasien dalam kondisi duduk, mau tidur (terlentang), mau ditinggikan, mau di bawah, itu bisa disetel di dental unit nya," jelas Romi.
"Waktu saya masih bisa berdiri pun, kondisi saya untuk melakukan pelayanan itu duduk. Tidak ada masalah sebenarnya."
Masalah datang ketika ia mendapati namanya dibatalkan dari daftar peserta CPNS yang lulus, karena dinilai tidak memenuhi persyaratan sehat jasmani dan rohani pada Formasi Umum CPNS 2018, 18 Maret lalu.
Selain itu, menurut Romi, Badan Kepegawaian Negara (BKN) juga mengklaim bahwa ia telah mengundurkan diri dari proses tes CPNS "atas permintaan sendiri".
"Padahal, saya tekankan lagi, saya tidak pernah membuat surat, menandatangani, atau pernyataan secara lisan, bahwa saya mengundurkan diri sebagai CPNS di Solok Selatan," ungkapnya.
Dalam pengumuman Panitia Seleksi Daerah Kabupaten Solok Selatan sebelumnya, namanya dinyatakan lulus tes CPNS setelah menjalani serangkaian seleksi, meski diberi catatan bahwa ia memiliki penyakit paraplegia yang dianggap tidak akan mengganggu performanya dalam menjalankan tugas sebagai dokter gigi.
Firdaus Firman, Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Solok Selatan berdalih bahwa: "Orang yang mana pun boleh ikut kalau dalam formasi umum. Tapi dalam formasi umum kan ditetapkan beberapa persyaratan, itu (tidak terpenuhinya persyaratan) yang mungkin dipandang dan dipahami oleh sebagian kawan-kawan di pansel yang menyebabkan dokter gigi Romi tidak bisa lulus."
Berbeda dengan keterangan Romi, menurutnya Romi hanya lulus dalam tes kemampuan dasar dan kemampuan bidang, namun gagal dalam tes kesehatan.
"Menurut catatan yang dikeluarkan, (Romi) mengalami ada persoalan tentang kesehatan. Jadi lulusnya itu lulus seleksi dalam ujian, kalau sebagian kawan-kawan mengatakan (ia) sudah dinyatakan lulus, udah keluar NIP (nomor induk pegawai) kemudian dibatalkan, bukan seperti itu," jelasnya.
Sebagai informasi, formasi umum merupakan satu dari dua formasi yang disiapkan pemerintah untuk menjaring peserta tes CPNS 2018.
Formasi umum dapat diikuti semua orang dari berbagai latar belakang, sementara formasi khusus dapat diikuti peserta dengan kriteria khusus, di antaranya penyandang disabilitas, lulusan terbaik berpredikat cum laude , hingga olahragawan berprestasi internasional.
Sementara itu, Romi tidak terima dengan keputusan yang dianggapnya "sepihak".
Menurutnya, partisipasinya dalam formasi umum tes CPNS 2018 lalu tetap sah. Bahkan, menurutnya, hasil tes yang menunjukkan nilainya menjadi salah satu yang terbaik menjadi pembuktian yang patut diapresiasi.
"Saya, sebagai salah satu penyandang difabel, itu tidak boleh dikatakan tidak mampu, tidak boleh (dikatakan) bersaing dengan peserta umum," tuturnya dengan suara lantang.
"Kemarin kan saya mampu bersaing dengan peserta umum, berarti saya mempunyai kemampuan," imbuhnya, "harusnya saya diberi apresiasi, bukannya dihentikan langkah saya untuk menjadi CPNS."
Minimnya perlindungan hak-hak penyandang disabilitas
Kasus pembatalan kelulusan tes CPNS Romi akibat kondisi disabilitasnya menarik perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat.
Mediasi yang dipimpin Kemenko PMK diikuti sejumlah instansi, yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kantor Staf Presiden, Kementerian Kesehatan, Kemen PAN-RB dan Kementerian Sosial. Mediasi tersebut dilakukan untuk mencari solusi atas kasus yang dihadapi Romi.
Kuasa hukum Romi dari LBH Padang, Wendra Rona Putra, mengandalkan hasil pertemuan tersebut untuk menentukan langkah berikutnya yang akan ia dan kliennya ambil.
"(Kami harap) rekomendasinya tentu adalah secara tegas meminta pemerintah Kabupaten Solok Selatan untuk segera merevisi ataupun mencabut pembatalan SK itu," tuturnya.
Ia menganggap pemerintah harusnya dapat melihat jernih kasus tersebut. Menurutnya "harusnya pada posisi ini tidak ada lagi perdebatan, karena berkaca pada UU Disabilitas saja harusnya itu sudah clear ".
Nyimas Aliyah, asisten deputi bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA yang turut hadir dalam pertemuan tersebut menyatakan bahwa "spiritnya adalah mencarikan solusi yang paling terbaik, yang tidak ada (pihak) yang dirugikan".
Nyimas menggarisbawahi bahwa kasus yang dihadapi Romi menjadi contoh masih lemahnya perlindungan terhadap kelompok disabilitas di masyarakat.
"Ini merugikan perempuan ya, apalagi perempuan itu adalah perempuan disabilitas. Ini kelompok yang paling rentan untuk mendapatkan berbagai perlakuan kekerasan," tutur Nyimas.
Sementara itu, Maulani Rotinsulu, ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), menyatakan bahwa kasus Romi adalah kasus diskriminasi.
"Kasus ini adalah kasus diskriminatif, baik dari segi sistem (sehat jasmani rohani), maupun pembatalan keputusan dikarenakan alasan disabilitasnya," ungkap Maulani kepada BBC News Indonesia, melalui pesan singkat (29/07).
Menurutnya, peran pemerintah belum optimal dalam mengedukasi masyarakat akan keberadaan warga difabel di tengah mereka.
"Terutama pada peningkatan pemahaman atas bagaimana perlindungan hak, maupun pemenuhan hak penyandang disabilitas kepada para aparat pemerintah maupun pejabat publik," katanya.
Maulani menganggap perspektif pemerintah dalam penanganan warga difabel "belum beranjak dari sikap karitatif (belas kasihan) dan stigma ketidakmampuan".
Kasus yang kesekian
Menurut Maulani dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), sebelum kasus yang menimpa Romi, banyak kasus serupa yang terjadi.
Salah satunya, kasus yang menimpa Wuri Handayani tahun 2004 silam. Wuri adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga tahun 1998 dengan predikat cum laude yang ditolak pemerintah kota Surabaya untuk mengikuti tes CPNS karena kedisabilitasannya.
"Ditolak pendaftarannya secara resmi melalui surat oleh walikota Surabaya dikarenakan disabilitas," tutur Maulani.
Seperti Romi, persyaratan `sehat jasmani dan rohani` dianggap tidak terpenuhi oleh Wuri. Seperti dilansir hukumonline.com, Wuri mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah setelah kecelakaan yang menimpanya saat mendaki Gunung Cartenz, Jawa Wijaya, tahun 1993 silam.
Wuri tidak menerima keputusan itu dan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatannya dikabulkan, di mana pemkot Surabaya lantas harus membatalkan surat keputusan yang menolak pendaftaran Wuri, dan memberikan kesempatan kepada Wuri untuk mengikuti tes CPNS.
Pemkot Surabaya lantas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN dengan akhir yang sama, di mana PTTUN menguatkan putusan PTUN. Tak puas, pemkot mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan tersebut.
Pada akhirnya MA-pun memenangkan gugatan Wuri, meski akhirnya, akibat putusan yang baru diambil setelah empat tahun, Wuri gagal mengikuti tes CPNS karena usianya telah melampaui batas maksimal.
"Perlakuan diskriminasi itu struktural dan seperti puncak gunung es, masih banyak kejadian lain," ujar Wuri, seperti dikutip kompas.com pada Juni 2010 lalu.