MA Sebut Presiden Mesti Minta Saran DPR untuk Beri Amnesti Baiq Nuril

Terpidana kasus pelanggaran UU ITE, Baiq Nuril, menjalani sidang perdana peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, Kamis, 10 Januari 2019.
Sumber :
  • VIVA/Satria Zulfikar

VIVA – Mahkamah Agung tak mempermasalahkan langkah Baiq Nuril dan kuasa hukumnya yang mengajukan amnesti kepada Presiden Joko Widodo. Sebab hal itu memang diatur dalam Pasal 14 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan pemberian amnesti dan abolisi adalah kewenangan presiden selaku kepala negara.

"Ayat 2 berbunyi, permohonan amnesti dan abolisi menjadi kewenangan Presiden RI selaku kepala negara," kata Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro di Jakarta, Senin, 8 Juli 2019.

Namun, katanya, sebelum menerima atau menolak pengajuan amnesti Baiq Nuril, Presiden Jokowi pastinya akan berkonsultasi dengan DPR untuk mendengar pertimbangan dan pendapat sebagai masukan.

Hal itu berbeda dengan pengajuan grasi yang diatur dalam Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa presiden akan konsultasi dengan Mahkamah Agung untuk mendengar pertimbangan atau pendapat dari MA sebelum mengabulkan permohonan.

"Jadi kalau grasi dan rehab (rehabilitasi), MA itu yang memberikan pertimbangan kepada presiden. Tapi kalau itu permohonan amnesti dan abolisi yang memberikan pertimbangan dan pendapat sebelum presiden mempertimbangkan dan memutuskan adalah DPR," katanya.

Menurut Andi, sebenarnya kasus Baiq Nuril telah selesai saat MA mengeluarkan putusan atas PK yang diajukannya. Namun ia tidak bisa menghalangi upaya pencarian keadilan Baiq Nuril kepada Presiden Jokowi.

"Dengan adanya putusan PK itu maka proses hukum, proses peradilan yang ditempuh Baiq Nuril, sudah berakhir, selesai. Kalau seperti diberitakan, kita baca bersama di media bahwa akan mengajukan amnesti, itu haknya," katanya.