Cerita Daryono BMKG Tentang Sosok Sutopo
- Istimewa.
VIVA - Pagi ini, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, telah berpulang di keharibaan Allah SWT. Almarhum meninggal dunia di saat menjalani pengobatan di Guangzhou, China, Minggu 7 Juli 2019, pukul 02.20 waktu setempat atau 01.20 WIB.
"Saya sangat sedih dan berduka karena bagi saya almarhum adalah sahabat dekat yang baik hati, sekaligus mentor yang cemerlang," kata Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, melalui keterangan tertulisnya.
Daryono mengaku memiliki banyak kenangan ‘indah” dengan Sutopo, karena gaya hidup almarhum yang menginspirasi jalan hidupnya. Mereka sangat akrab dan dekat karena mereka merasa sama-sama dari “kampung” dan berasal dari almamater yang sama, Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Kebetulan kami berasal dari kabupaten yang bersebelahan di Jawa Tengah, saya dari Kabupaten Semarang dan Pak Sutopo dari Boyolali, sehingga dalam berkoordinasi terkait kedinasan dengan beliau menjadi makin mudah dan lancar," kata Daryono lagi.
Daryono menceritakan dia pertama kali bertemu dengan Sutopo saat di Tasikmalaya, pasca Gempa Jawa Barat M 7,3 pada 2 September 2009. Gempa tektonik yang berpusat di Samudra Hindia ini menimbulkan kerusakan dan menelan korban jiwa lebih dari 80 orang meninggal.
Mereka sama-sama melakukan survei kerusakan dampak gempa. Saat itu, dia mewakili Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Pusat Studi Bencana PSBA UGM, karena saat itu dia sedang menempuh Studi Program Doktor di UGM. Sementara Sutopo dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Dari percakapan singkatnya dengan Sutopo di lokasi gempa, dia sudah menangkap bahwa dia sangat menguasai konsep manajemen bencana. Satu hal yang sangat dia suka dari Sutopo adalah almarhum sangat humoris dan selalu menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami saat menjelaskan hal rumit.
"Setelah pertemuan dan perkenalan di Tasikmalaya, secara kebetulan kami beberapa kali bertemu menjadi narasumber. Kami makin akrab hingga beberapa kali saya diminta beliau menjadi narasumber dalam kegiatan BNPB," kata Daryono.
Sejak itu, lanjut Daryono, panggilan akrabnya untuk Sutopo adalah “Pak Topo”.
Baginya, Sutopo adalah mentor yang cemerlang dan sangat menginspirasi. Ada beberapa bimbingan almarhum yang dia tidak akan melupakan selamanya.
Pertama, Sutopo mengajarkannya bahwa informasi kebencanaan perlu dikemas menarik, padat, dan lengkap. Pesan ini menginspirasinya bagaimana mengemas narasi informasi gempa bumi dan tsunami. Jika dulu, informasi gempa hanya disajikan dalam bentuk angka dan kata singkat seperti waktu gempa, magnitudo, koordinat episenter dan kedalaman gempa, maka kini publik harus memahami secara lengkap informasi parameter gempa, penyebab gempa, dampak gempa, dan saran yang harus dilakukan masyarakat.
Menurut Sutopo, lanjut Daryono, setiap informasi pasti bermanfaat tetapi informasi yang diberikan lebih cepat dan lengkap akan lebih bermanfaat. Sejak itu dia bertekad menyajikan informasi gempa dalam bentuk narasi yang lengkap untuk stakeholder, masyarakat, dan media.
Kedua, Sutopo selalu menekankan pentingnya setiap informasi untuk disebarluaskan dengan cepat. Meskipun mereka bukan wartawan tapi lembaga tempat mereka bekerja bertanggungjawab dengan informasi yang cepat sehingga mau tidak mau mereka harus merangkap sebagai wartawan.
"Kita harus bisa mengetik berita bencana dengan cepat. Jangan harus nunggu komputer menyala, tapi ketiklah berita di handphone secepatnya," ujar Daryono.
Dia menilai hal itu sangat inspiratif. Sejak itu, dia selalu mengetik analisis dan berita gempa dengan menggunakan handphone dimanapun berada, meskipun sedang berjalan kaki, naik kereta api, sedang di mobil, bahkan jika sedang setir maka mobil harus berhenti menepi sejenak untuk membuat penjelasan informasi gempa bumi dalam bentuk narasi.
Ketiga, Sutopo menekankan penyebarluasan informasi kebencanan tidak mengenal waktu. Alasannya bencana terjadi tanpa memberitahu terlebih dahulu tanpa mengenal waktu, apakah pagi, siang, maupun malam hari. Saat itu, handphonenya selalu “on” selama 24 jam dan tak pernah jauh dari tangan, selalu siaga menyiapkan press release dalam bentuk narasi untuk feeding berita yang selanjutnya disebarluaskan oleh Humas BMKG.
"Saat ini bukan masanya lagi wartawan mencari kita, minta-minta informasi dari kita, tetapi kitalah yang harus sigap menyiapkan berita dan memberikan feeding berita untuk media," katanya.
Keempat, Sutopo selalu mengajarkan science communication untuk kebencanaan. Perlunya ilmu untuk menerjemahkan sains atau komunikasi sains dalam pendidikan publik, sehingga informasi kebencanaan dapat dipahami oleh masyarakat dengan baik tanpa ada salah paham yang berujung kecemasan dan keresahan masyarakat.
Akhirnya dia tertarik belajar disiplin ilmu baru ini agar pesan kerawanan wilayah dan potensi bencana dapat sampai kepada masyarakat tanpa diliputi rasa ketakutan. Daryono mengatakan g
Gaya kerja Pak Topo memang selalu menginspirasi dan memancarkan aura positif bagi mereka yang mencintai kerja keras, ketekunan, tanpa pamrih, untuk kemanusiaan.
Maka tidak salah jika almarhum menerima sederet penghargaan seperti, Communicator of the Year 2018, The First Responders dari media The Straits Times, Tokoh Komunikasi Kemanusiaan dari Kominfo, Tokoh Teladan Anti-Hoaks Indonesia, IAGI Awards, Outstanding Spokesperson of the Year 2018, Anugerah Perhumas 2018, Human Initiative Award 2018, Humas Terbaik Elshinta Award 2011, 2012, dan 2013.
"Bapak Sutopo memang pantas menerima penghargaan itu lantaran dedikasi yang ia berikan dalam menginformasikan segala hal terkait bencana yang terjadi di Indonesia dengan sigap dan segera," tuturnya.
Daryono menambahkan akhir akhir ini dia sering bertemu dengan Sutopo, apalagi pasca terjadinya 3 bencana akhir tahun 2018 yaitu Gempa Lombok, Gempa Tsunami dan Tsunami Palu, dan Tsunami Senyap Selat Sunda. Mereka biasa bertemu untuk melakukan press confrerence bersama baik di studio TV, acara Forum Merdeka Barat, dan Press Conference Tim Intelejen Bencana BNPB.
"Bapak Sutopo bukanlah perokok, dan justru selalu bergaya hidup sehat, tapi kanker paru tiba-tiba hinggap di tubuhnya. Berbagai upaya pengobatan telah ditempuh," katanya.
Daryono dan rekan-rekan di BMKG terakhir bertemu dengan Sutopo sebelum berobat ke Guangzhou. Mereka kagum dengan semangatnya dan berterima kasih karena almarhum masih bisa menyempatkan waktu untuk bertemu di sela-sela jam kantor dan waktu berobatnya ke rumah sakit.
"Selamat beristirahat Pak Topo, kami sangat kehilanganmu. Amal baikmu sangat banyak sehingga Allah SWT menyayangimu dan kini tak ada lagi rasa sakit itu. Selamat jalan Pak Topo, semoga Allah karuniakan surga yang penuh dengan kenikmatan dan kelezatan yang abadi. Aamiin," demikian Daryono.