Soal Baiq Nuril, Jokowi Ditantang Bukti Kepeduliannya pada Perempuan
- siaran pers
VIVA – Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak Peninjauan Kembali atau PK yang diajukan oleh terpidana kasus kriminalisasi korban pelecehan seksual, Baiq Nuril pada Jumat, 5 Juli 2019 kemarin membuat kaget berbagai kalangan.
Bagaimana tidak, Baiq Nuril yang dulunya berprofesi sebagai guru honorer di salah satu sekolah negeri di Mataram kini terancam menjalani hukuman penjara selama enam bulan dan membayar denda Rp500 juta karena dituduh menyebarkan rekaman percakapan pelecehan seksual yang dialaminya sendiri.
Solidaritas atau dukungan terhadap Baiq Nuril pun kini kembali menguat. Sejumlah organisasi perempuan yang tergabung dalam Perempuan Pekerja pun menantang Presiden Joko Widodo untuk membuktikan pernyataannya dalam forum KTT G20 di Osaka, Jepang tentang kepeduliannya terhadap kaum perempuan beberapa waktu lalu.
Seknas Perempuan Mahardika Mutiara Ika Pratiwi menyatakan, Presiden Joko Widodo dalam sambutannya di forum KTT G20 di Osaka, Jepang pekan lalu menyampaikan seluruh negara-negara maju harus bekerja sama dalam peningkatan partisipasi perempuan dalam bisnis, ekonomi dan politik.
Menurut Mutiara, putusan MA dalam kasus Baiq Nuril yang menguatkan putusan sebelumnya dengan memvonis bersalah seorang guru honorer perempuan itu merupakan potret pemerintahan Indonesia sesungguhnya.
"Apa yang dipesankan oleh Presiden Jokowi dalam KTT G20 di Osaka, tentu saja tidak akan terwujud ketika upaya perempuan untuk bebas dari belenggu kekerasan seksual tidak mendapat dukungan," kata Mutiara Ika Pratiwi di kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Sabtu, 6 Juli 2019.
Tidak hanya itu, lanjut Mutiara, komitmen pemerintah dalam menjunjung tinggi keadilan dan perlindungan perempuan juga pernah disampaikan oleh pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan pada Konvensi ILO untuk Mengakhiri Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja (Ending Violence and Harassment in the World of Work) di Jenewa, Juni 2019 lalu.
"Konvensi tersebut adalah jaminan perlindungan hak perempuan pekerja dari kekerasan dan pelecehan seksual," ujarnya.
Selama ini, kata Mutiara, Baiq Nuril telah berjuang dan membela dirinya untuk mendapatkan keadilan atas pelecehan seksual yang dialaminya di dunia kerja selama ini.
"Jika la tetap akan dipenjara, maka pelecehan seksual yang dialaminya akan selamanya diingkari, dan tempat kerja akan terus menjadi tempat yang rentan pelecehan seksual," kata Mutiara.
Mutiara menjelaskan, sejak ditahan oleh polisi pada Maret 2017, Baiq Nuril telah memegang prinsip bahwa dirinya tidak bersalah. Tindakan merekam ucapan atau percakapan mesum yang dilakukan pelaku adalah bentuk pembelaan yang ia lakukan, dengan harapan rekaman ini menjadi bukti atas pelecehan seksual yang telah dialaminya.
Alih-alih menjadi bukti, lanjutnya, Baiq Nuril justru dijadikan tersangka. Dengan demikian ia menilai, instrumen hukum di Indonesia belum sepenuhnya mengakomodir beragam bentuk kekerasan seksual menjadikan kekerasan yang tidak disertai dengan bukti kekerasan secara fisik tidak bisa dianggap sebagai kekerasan.
"Karena pelecehan seksual verbal (non body contact) tidak bisa dianggap sebagai pelecehan. Karena faktanya rekaman yang dimiliki Nuril justru menjadi barang bukti yang memberatkannya dan membuat pelaku bebas hingga saat ini," katanya.
Dengan demikian, ia berharap Presiden Joko Widodo dapat membuktikan pernyataannya di Forum KTT G20 di Osaka, Jepang pekan lalu itu dengan turun tangan memberikan amnesti untuk Baiq Nuril.