Status Sjamsul Nursalim Tersangka Nodai Perjanjian yang Sudah Dibuat

Sjamsul Nursalim.
Sumber :
  • tvone

VIVA – Penetapan Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Nursalim (IN), sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, telah menodai dan mengingkari perjanjian yang dibuat pemerintah dengan warga negara.

KPK telah mencederai komitmen pemerintah yang sah dan berkekuatan hukum dalam pemberian pembebasan dan pelepasan (Release and Discharge – R&D) kepada para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah menandatangani Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan telah memenuhi seluruh kewajibannya.

“SN telah mengikuti permintaan pemerintah untuk menandatangani MSAA pada 21 September 1998, kemudian ditindaklanjuti dengan memberikan surat R&D pada 25 Mei 1999. Dalam agreeement itu, pemerintah berjanji untuk melepaskan SN dari segala tuntutan hukum atau segala hak hukum apa pun yang mungkin dimiliki pemerintah. Berdasarkan prinsip hukum yang tertuang dalam Pasal 1338 KUH Perdata, suatu perjanjian bersifat mengikat kedua belah pihak yang membuatnya, selayaknya undang-undang. Dan, sekarang KPK menjadikan SN dan IN sebagai tersangka,” kata Maqdir Ismail, pengacara SN dan IN, seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa 12 Juni 2019.

SN mengikuti permintaan menandatangani MSSA itu sebagai bagian upaya mendukung pemerintah yang tengah berusaha keras mengatasi kesulitan dalam memulihkan ekonomi akibat krisis.

Menurut Maqdir, KPK tidak bisa mengabaikan perjanjian yang dibuat pemerintah, karena institusi ini adalah bagian dari pemerintah, sebagaimana ditegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-XV/2017 tanggal 3 Februari 2018. KPK harus menghormati seluruh perjanjian yang sudah dibuat oleh pemerintah secara sah dan dilindungi undang-undang maupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR).

Apalagi, KPK menetapkan SN dan IN sebagai tersangka yang merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Padahal, angka sebesar itu muncul dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2017, yang prosesnya sangat aneh dan tidak memenuhi Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Audit investigasi ini permintaan dan berdasarkan data yang disodorkan KPK dan di mana prosesnya tidak memenuhi standar, karena tidak ada partisipasi auditee dan tidak ada konfirmasi ataupun klarifikasi kepada pihak-pihak terkait dalam MSAA.

Selain tidak lazim, proses audit BPK 2017 itu juga justru bertentangan dengan dua hasil audit sebelumnya oleh BPK. Saat ini, pihak SN tengah mengajukan gugatan atas hasil dan proses audit BPK 2017 ini Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Kini, proses pemeriksaan perkara dan persidangannya masih berlangsung.

***

Latar belakang

SN menandatangani MSAA pada 21 September 1998. Kemudian, pada 25 Mei 1999, Menteri Keuangan dan Ketua BPPN memberikan kepadanya Surat Pembebasan dan Pelepasan (Release and Discharge - R&D).

Dokumen negara itu, kemudian dipertegas dalam akta “Letter of Statement” yang dibuat di hadapan Notaris Merryana Suryana. Isinya antara lain, menyatakan SN telah memenuhi seluruh kewajiban pembayaran BLBI dan hal terkait lainnya, sehingga pemerintah menerbitkan R&D kepadanya.

Dengan surat tersebut, pemerintah menjamin dan membebaskan para pemegang saham dari tuntutan hukum apa pun di kemudian hari, berkaitan dengan penyelesaian BLBI. Pemerintah berjanji tidak akan melakukan tuntutan hukum, baik secara pidana maupun perdata.

Jaminan kepastian hukum atas penyelesaian BLBI ini, kemudian dipayungi Undang-undang RI No.25/2000 (UU Propenas), Tap MPR No. X/2001, Tap MPR No.VI/2002, serta Inpres No.8/2002. Seluruhnya menegaskan bahwa bagi pemegang saham bank yang telah menandatangani MSAA dan telah memenuhi kewajibannyanya wajib diberikan jaminan kepastian hukum.

Hasil audit investigasi BPK pada 31 Mei 2002 mengonfirmasi seluruh kewajiban SN telah dipenuhi pada tahun 1999. Oleh karenanya, Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan BPPN pada 26 April 2004, hanyalah merupakan surat penegasan bahwa kewajiban SN telah dipenuhi pada tahun 1999.

Dengan demikian, sejak 1999, seluruh aset-aset termasuk utang petambak Dipasena telah menjadi milik dan sepenuhnya dikelola pemerintah. Apakah utang petambak itu akan diberikan keringanan (haircut), dihapuskan, ataupun dijual sudah sepenuhnya kewenangan pemerintah, sudah bukan urusan SN lagi. Menjadi tidak adil, jika sekarang SN kembali dikait-kaitkan dengan dihapuskannya utang petambak Dipasena tersebut.

Sehubungan dengan penutupan BPPN, BPK di 2006 memeriksa semua proses penyelesaian BLBI, termasuk penerbitan SKL.Auditor tertinggi negara itu mengeluarkan Hasil Pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dalam rangka pemeriksaan atas laporan pelaksanaan tugas BPPN, No. 34G/XII/11/2006 tanggal 30 November 2006.

BPK dengan tegas menyatakan bahwa SKL layak diberikan kepada SN, karena telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA. Laporan BPK ini resmi diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.