Indonesia Termasuk Dalam Sabuk Thalassemia Dunia
- timesindonesia
Thalassemia merupakan salah satu penyakit kelainan darah genetik yang cukup banyak diderita oleh masyarakat di dunia. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kemenkes RI dr. Cut Putri Arianie, M.H.Kes mengatakan Indonesia termasuk salah satu negara dalam “sabuk thalassemia” dunia. Artinya negara dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi.
Ia mengungkapkan terdapat lebih dari 10.531 pasien thalassemia di Indonesia, dan diperkirakan 2.500 bayi baru lahir dengan talasemia setiap tahunnya di Indonesia.
“Kasus thalassemia yang tercatat sampai 2016 mencapai lebih dari 9 ribu penyandang thalassemia. Diyakini masih ada kasus yang tidak tercatat,” kata dr. Cut Putri Arianie, M.H.Kes pada Hari Thalassemia Sedunia di Gedung Kemenkes, Jakarta, Senin (20/5/2019).
Lebihlanjut dr. Cut Putri mengatakan tahun 2016, prevalensi thalassemia mayor di Indonesia berdasarkan data UKK Hematologi Ikatan Dokter Anak Indonesia mencapai jumlah 9.121 orang. Berdasarkan data Yayasan Thalassemia Indonesia/Perhimpunan Orang Tua Penderita (YTI/POPTI) diketahui bahwa penyandang Thalassemia di Indonesia mengalami peningkatan dari 4.896 penyandang di tahun 2012 menjadi 9.028 penyandang pada tahun 2018
"Angka kejadian pembawa sifat thalassemia banyak terdapat di daerah-daerah seperti Mediterania, Timur Tengah, Asia Tenggara termasuk Indonesia, dan Cina Selatan," tuturnya.
dr. Cut Putri menjelaskan pembiayaan kesehatan untuk tatalaksana thalassemia menempati posisi ke 5 diantara penyakit tidak menular setelah penyakit jantung, kanker, ginjal, dan stroke sebesar Rp 225 miliar di tahun 2014 menjadi Rp 452 miliar di tahun 2015 menjadi Rp 496 miliar di tahun 2016 menjadi Rp 532 miliar di tahun 2017 dan sebesar Rp 397 miliar sampai dengan bulan September 2018.
Berdasarkan manifestasi klinisnya, thalassemia terbagi menjadi thalassemia mayor, thalassemia intermedia, dan thalassemia minor/karier/pembawa sifat. Pasien dengan thalassemia mayor membutuhkan transfusi rutin seumur hidupnya, biasanya setiap empat minggu sekali.
Sementara itu, Dokter Spesialis Anak, RSCM dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A. (K) mengatakan seseorang perlu dicurigai thalassemia jika menunjukkan tanda dan gejala seperti pucat kronik, kuning, perubahan bentuk wajah, perut membesar, kulit semakin menghitam, tinggi badan tidak seperti teman sebaya, dan pertumbuhan seks sekunder yang terhambat.
“Selain itu, biasanya didapatkan riwayat transfusi rutin pada anggota keluarga besar.
Sampai saat ini, pengobatan thalassemia di Indonesia masih bersifat suportif, belum sampai pada tingkat penyembuhan,” kata Teny.
Menurutnya pengobatan suportif yang diberikan pada pasien thalassemia bertujuan untuk mengatasi gejala-gejala yang muncul. Transfusi rutin seumur hidup, pemberian kelasi besi, dan dukungan psikososial merupakan tatalaksana utama untuk pasien thalassemia.
Teni menjelaskan penyakit thalassemia belum bisa disembuhkan dan harus transfusi darah seumur hidup, tetapi dapat dicegah dengan mencegah pernikahan sesama pembawa sifat Thalassemia.
Oleh karena itu, deteksi dini sangat penting untuk mengetahui status seseorang apakah dia pembawa sifat atau tidak, karena pembawa sifat Thalassemia sama sekali tidak bergejala dan dapat beraktivitas selayaknya orang sehat.
Idealnya dilakukan sebelum memiliki keturunan yaitu dengan mengetahui riwayat keluarga dengan Thalassemia dan memeriksakan darah untuk mengetahui adanya pembawa sifat thalassemia sedini mungkin sehingga pernikahan antar sesama pembawa sifat dapat dihindari. Hal ini harus di kampanyekan kepada masyarakat melalui berbagai media komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE). (*)