Mengadu ke Fahri, Dokter Merasa Aneh Kematian Massal Petugas Pemilu
- VIVA.co.id/Lilis Khalis
VIVA – Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menerima sejumlah advokat dan dokter yang meminta agar dibentuk tim untuk menyelidiki meninggalnya 540 petugas pemilu. Kematian massal petugas pemilu dinilai sebagai kejadian luar biasa dalam istilah kedokteran.
Salah seorang dokter yang menemui Fahri, dr. Ani Hasibuan mengaku telah meminta alamat penyelenggara pemilu yang meninggal pada panwaslu. Lalu, ia mendatangi dua keluarga dan satu rumah sakit.
"Saya kira perlu concern saja ini ada orang-orang dari 68 an yang sakit ada 11 meninggal. Kita perlu tahu ya kenapa sih meninggalnya," kata Ani usai pertemuan dengan Fahri di gedung DPR, Jakarta, Senin 6 Mei 2019.
Dia merasa aneh bila petugas pemilu berusia 27 tahun dan 43 tahun meninggal karena faktor kelelahan. Ia pun membandingkan dengan dokter yang dinilai memiliki jam kerja tinggi serta istirahat minim.
"Semua pasti meninggal. Tapi, umur 43 tahun, 27 tahun kalau alasannya kelelahan saya sebagai dokter, 'ah masak?' Dokter tuh makhluk paling capek lho. 3x24 jam biasa bekerja tanpa tidur dan alhamdulilah sehat-sehat saja. Saya kira perlu dilakukan pemeriksaan," kata Ani.
Dalam istilah kedokteran ia menyebut peristiwa ini sebagai kejadian luar biasa. Sebab, orang sakit dalam jumlah seketika waktu hampir yang bersamaan, dan meninggal. Menurutnya harus diinvestigasi misalnya apakah karena kuman jenis baru yang bisa menimbulkan penyakit begitu cepat.
"Kita enggak memeriksa secara medis ya. Kita hanya mendatangi keluarga dan dari keluarga dibawa ke rumah sakit. Ada yang dalam keadaan muntah-muntah lalu dinyatakan meninggal," tutur Ani.
Dia pun menambahkan sudah mendapat penjelasan dari pihak keluarga.
"Jadi dari keluarga kita mendapat penjelasan. Jadi tak ada jelas disebut COD, COD apa sih cause of death yang jelas, tak ada. Secara medis kami tak menemukan," kata Ani.
Kemudian, contoh lain, ia menceritakan ada petugas KPPS yang awalnya mengeluh. Lalu masuk kamar mandi. Yang bersangkutan keluar dari kamar mandi, tiduran, dan meninggal.
Terkait dugaan keracunan, ia mengaku tak berani sebabnya karena hal itu. Sebab, memang rekrutmen anggota KPPS hanya berdasarkan surat keterangan sehat dari puskesmas dan tak ada pengecekan laboratorium darah dan fungsi kimia darah.
"Agak berbeda dengan panwaslu yang melalukannya lebih detil. Perlu kita audit kan, apakah ada anggaran kesehatan dalam Rp25 triliun itu untuk pemeriksaan kesehatan," kata Ani.
Ia menilai seharusnya pemerintah yang memerika mereka yang menjadi korban. Sehingga bisa dilihat ada apa sebetulnya. Karena satu nyawa dalam statistik hanya nol. Tapi bagi seorang anak menjadi seluruh dunianya.
"Ada sekian anak merasa sangat menderita. Masa iya kita mau mengabaikan itu. Harusnya kita berduka, 540 orang lebih banyak dibanding korban bencana Lombok, Lombok ngga sampai segitu. Bencana tsunami Banten ngga sampai segitu," kata Ani.
Pemilu 2019 menyisakan duka karena sejauh ini, jumlah petugas pemilu yang meninggal dunia mencapai 554 orang. Jumlah korban terbanyak dari petugas KPPS dengan 440 orang.
Sementara, korban meninggal yang lain berasal dari petugas Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang berjumlah 92 orang. Sedangkan, dari usur kepolisian sebesar 22 orang.