Asal-usul Anarko Sang Penganjur Sabotase-Boikot dalam Rusuh Hari Buruh
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA – Ratusan orang bentrok dengan aparat Kepolisian dalam aksi unjuk rasa memperingati Hari Buruh Sedunia di Bandung, Jawa Barat, Rabu 1 Mei 2019 lalu. Kelompok massa berkostum hitam-hitam itu, menurut polisi, ternyata bukan buruh, tetapi bergabung dalam massa buruh yang memeringati May Day.
Mulanya mereka longmarch bersama massa serikat-serikat buruh. Lalu tampak sebagian di antara mereka mencorat-coret tembok-tembok sejumlah fasilitas publik dengan cat semprot pylox. Polisi memperingatkan mereka tetapi kelompok itu mengabaikannya dan kian berulah. Terjadilah bentrokan. Polisi melepaskan sejumlah tembakan untuk membubarkan massa.
Belakangan media mengamati kelompok berbusana serba hitam penutup muka dan kepala itu membawa sejumlah bendera hitam dengan logo huruf A dalam garis lingkaran putih. Mereka juga meninggalkan tanda terang dalam coretan-coretan yang mereka torehkan di dinding-dinding properti publik, huruf A dalam garis lingkaran, disertai tulisan-tulisan slogan kaum buruh, seperti "Upah Murah", "May Day", "Antikapitalisme", dan lain-lain, termasuk juga "Anarchism".
Bukan Gerakan Lokal
Kendati sejumlah kelompok mengatasnamakan beberapa organisasi nonserikat buruh, awalnya tak terang benar identitas sejati mereka. Sebab massa dengan ciri khas serupa ternyata muncul tidak hanya di Bandung, melainkan juga di Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Malang.
Beberapa petinggi Kepolisian di keempat kota itu mula-mula menyebut kelompok penyusup beratribut huruf A dalam lingkaran sebagai kelompok Anarko. Namun, beberapa jam berikutnya menjadi kian jelas setelah Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menyebut lebih lugas bahwa mereka ialah kelompok "Anarko-Sindikalisme".
Menurut Tito, kelompok itu bukanlah komunitas lokal Indonesia melainkan gerakan internasional, terutama di Eropa, dengan basis utama di Perancis. "Di Indonesia baru berkembang beberapa tahun ini. Kita lihat mereka tahun lalu ada di Yogya, ada di Bandung, sekarang ada di Surabaya, ada di Jakarta." Ciri khas, katanya, mereka cukup jelas, seperti "... melakukan kekerasan aksi vandalisme dengan coret-coret simbol 'A', ada yang merusak pagar, jalan."
Grafiti-grafiti huruf A dalam lingkaran serupa itu sesungguhnya cukup familiar bagi masyarakat Indonesia. Tetapi, sampai peristiwa bentrokan di Bandung lalu Tito Karnavian menyebut lugas identitas mereka, eksistensi kelompok penganut Anarko-Sindikalisme nyaris tak teramati oleh publik, setidaknya media massa. Sebenarnya, apa atau siapa mereka?
Anarkisme
Anarko-Sindikalisme sebetulnya bukanlah paham atau ideologi baru. Ia merupakan bagian dari cabang atau aliran pemikiran sosialisme yang mekar di Eropa bersamaan dengan Marxisme pra-Revolusi Bolshevik atau Revolusi Oktober di Rusia pada 1917.
Franz Magnis Suseno mengulasnya secara ringkas tentang anarko-sindikalisme dalam bukunya, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Mulanya, katanya, paham itu berkembang terpisah, anarkisme dan sindikalisme, dalam komunikasi, dan sering dalam konfrontasi, dengan Marxisme, serta menjadi saingannya dalam merebut hati kaum buruh.
"Anarkisme, tulis Suseno, "menolak segala bentuk negara dalam arti lembaga pusat masyarakat dengan wewenang dan kemampuan untuk memaksakan ketaatan terhadap undang-undang. Cita-cita anarkisme adalah anarkhia, keadaan tanpa kekuasaan pemaksa."
Semua bentuk negara, menurut pandangan kaum anarko-sindikalis, mempunyai kekuatan pemaksa, undang-undang, polisi, mahkamah pengadilan, penjara, angkatan bersenjata, dan sebagainya. Karena itu, kaum anarko-sindikalis menganggap semua bentuk negara adalah dan harus ditolak.
Kaum anarko-sindikalis meyakini, masyarakat tanpa negara akan menjamin keadilan dan kesejahteraan. Bahkan, jika keadaan sudah adil, kejahatan, kriminalitas, dan perang akan lenyap dengan sendiri jika tidak ada lagi negara. "Paksaan moral," tulis Suseno, "sudah cukup untuk menjamin kerja sama dan pembagian hasil kekayaan masyarakat secara adil serta agar perjanjian-perjanjian ditepati dan orang tidak melakukan kejahatan."
Seperti halnya Marxisme dengan tokoh utama Karl Marx, anarkisme memiliki tokoh utama, yaitu Mikhail Bakunin (1814-1876), seorang bangsawan Rusia yang sebagian besar hidupnya tinggal di Eropa Barat. Bakunin sering terlibat dalam berbagai pemberontakan di Eropa waktu itu.
Namun Bakunin sering cekcok dan tak sepaham dengan Marx, terutama saat Bakunin memimpin kelompok anarkis dalam Internasionale I (asosiasi pekerja internasional), hingga dia dikeluarkan dari kelompok itu pada 1872. Bendera kaum anarkis pimpinan Bakunin adalah hitam, berbeda dari bendera merah kaum Marxis.
Sebagaimana yang ciri khas mereka yang dikenal kemudian, kaum anarko-sindikalis sejak era Bakunin, menurut Suseno, sering diidentikkan dengan tindak kekerasan dan pembunuhan. "Pembunuhan kepala negara, serangan bom atas gedung-gedung milik negara, dan perbuatan teroris lain dibenarkan oleh anarkisme sebagai cara untuk menggerakkan massa untuk memberontak."
Anarko-Sindikalisme
Anarkisme ala Bakunin tak sintas (survive) sebagai gerakan politik, kalah dengan Marxisme. Tetapi anarkisme dianggap cukup memengaruhi satu bentuk lain sosialisme yang menjadi pesaing kuat Marxisme di beberapa negara Latin, terutama di Perancis dan Spanyol, yaitu sindikalisme.
Romo Magnis, sapaan akrab Franz Magnis Suseno, dalam Pemikiran Karl Marx, menyebut sindikalisme sebagai aliran paling radikal gerakan buruh sebelum Perang Dunia I. Meski merupakan sempalan atau varian anarkisme, gerakan sindikalisme dapat dianggap sebagai perkawinan silang antara Marxisme dan anarkisme. Benderanya hitam-merah, campuran dari bendera hitam kaum anarkis dan bendera merah kaum Marxis.
"Sindikalisme," tulisnya, "memakai prinsip 'aksi langsung': melalui pemboikotan, sabotase, pemberontakan, dan pemogokan umum; ia hendak memasukkan perjuangan kelas langsung ke dalam bidang ekonomi."
"Sindikalisme, setia pada akar-akarnya yang anarkistik (dan karena itu juga disebut 'anarko-sindikalisme') menolak adanya negara dan, karena itu, juga tidak menyetujui perjuangan kaum sosialis di dalam parlemen melalui sebuah partai buruh."
Marxisme dan sindikalisme pada dasarnya sama-sama menolak negara. Tetapi, bagi Marxisme, selama negara masih ada, dia harus difungsikan sebagai negara sosialis dengan peran nasionalisasi industri. Sindikalisme, karena membenci segala bentuk negara, menolak sosialisme negara.
"Mereka (anarko-sindikalisme) ingin menyerahkan industri kepada serikat-serikat buruh," tulis Romo Magnis. "Sosialisasi alat-alat produksi tidak ditetapkan dari atas oleh negara sosialis, melainkan dari bawah oleh kaum buruh sendiri."
Sindikalisme, menurut Romo Magnis, mencapai puncaknya di Prancis antara 1890 dan 1914 dengan setengah dari serikat buruh Prancis menjadi penganutnya. Mereka menentang perang dan bersifat antimilitaris. "Sesudah Perang Dunia I, kebanyakan penganut sindikalisme bertahan sampai ia dihancurkan oleh Jenderal Franco (pemimpin Spanyol), pemenang Perang Saudara 1936-1939."