Pemprov Jabar Konversi ke Kompor listrik, Lebih Ramah Lingkungan?
- bbc
Pemerintah Provinsi Jawa Barat meluncurkan program konversi kompor gas ke kompor listrik untuk warga yang diberi nama Gebyar Energi Juara 2019, di Gedung Sate, Kota Bandung.
Pemprov Jabar beralasan, program itu bisa menurunkan emisi gas rumah kaca sekaligus meningkatkan konsumsi listrik per kapita di Jawa Barat.
"Apabila dari gas dikonversi ke listrik, (kita) bisa hemat 20% persen. Kedua, mengurangi karbon yang dilepaskan ke udara sehingga dengan demikian ramah lingkungan. Ketiga, kita mengimplementasikan revolusi 4.0," kata Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa, sebagaimana dilaporkan wartawan Julia Alazka untuk BBC News Indonesia.
Iwa menyatakan, kebijakan ini bersifat mengikat dengan dikeluarkannya peraturan daerah, meski tidak diberlakukan sanksi.
"Kebijakan ini mengikat, karena di RPJMD peningkatan penggunaan listrik merupakan indikator kesejahteraan masyarakat Jawa Barat " ujarnya.
Untuk memuluskan program ini, menurut Iwa, sebanyak 4.130 unit kompor listrik dengan daya listrik 900 watt ampere dibagikan ke masyarakat di sembilan kabupaten dan tiga kota meliputi 75 Kecamatan dan 212 desa kelurahan di seluruh Jawa Barat.
Ribuan kompor itu merupakan bantuan pihak ketiga dalam bentuk corporate social responsibility (CSR).
Sementara itu, PLN mengaku siap mendukung program konversi kompor gas ke kompor listrik.
Bahkan, PLN akan memberikan insentif berupa potongan harga bagi masyarakat yang menggunakan kompor listrik dan juga mobil listrik.
Hal ini diungkapkan Direktur PLN Regional Jawa bagian Tengah, Amir Rosidin.
"Kalau menggunakan kompor listrik, diskonnya 75%. Kemudian kalau pakai mobil listrik, diskonnya 100%. Kami juga memberikan diskon pada beban puncak. Jadi kalau misalkan mobil listrik sekarang bisa dicolokkan dengan timer pukul 22.00 sampai 06.00 pagi, diskonnya 50%," katanya.
Bagaimanapun, program konversi ke kompor listrik ditempuh pada saat beberapa daerah di Jawa Barat belum sepenuhnya mendapat pasokan listrik.
"Kami sekarang masih mencari ke pelosok, warga yang belum mendapatkan listrik," ujar GM PLN Distribusi Jabar, Iwan Purwana yang menyatakan Pangandaran dan Tasikmalaya sebagai daerah yang masih belum seluruhnya teraliri listrik.
Benarkah kompor listrik ramah lingkungan?
Pakar konversi energi dari Institut Teknologi Bandung, Pandji Prawisudha membantah anggapan bahwa kompor listrik ramah lingkungan jika energi listrik yang dihasilkan berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara.
"Sekitar 55% pembangkit kita pakai batu bara. Jadinya listrik yang kita lihat itu, yang seakan-akan bersih, itu sebetulnya dibangkitkan dari batu bara yang menurut orang kotor.
"Kalau itu dianggap sebagai langkah untuk mengurangi atau mengonversi atau menggalakkan energi yang lebih ramah lingkungan, itu menurut saya hanya memindahkan energi primer (minyak dan gas) yang tadinya di rumah-rumah menjadi ke pembangkit," kata Pandji.
Klaim efisiensi juga disanggah Pandji.
Ia mengatakan, penggunaan energi primer, yakni minyak dan gas, justru lebih efisien lantaran langsung menghasilkan panas ketika dibakar. Sementara, kompor listrik merupakan hasil energi primer yang dibakar di pembangkit listrik.
Pandji mengatakan, ketika bahan bakar minyak dikonversi menjadi listrik, energi listrik yang bisa dimunculkan hanya 30%-40% dari energi awal. Sehingga ada kehilangan di pembangkit sekitar 60%-70%, bahkan itu akhirnya dibuang ke lingkungan.
"Padahal, kalau kita pakai energi primer langsung, misalnya minyak, gas atau bahkan batu bara, hampir semua atau sekitar 70% bisa menjadi panas yang bisa kita manfaatkan," jelas Pandji.
Dan, yang menurut Pandji "mengerikan", adalah penggunaan kompor listrik justru akan mengambil energi dari alam berkali-kali lipat.
"Misalnya, sekali masak kita membutuhkan 100 energi dalam bentuk panas kalau saya pakai kompor gas biasa. Dengan segala efisiensinya, saya akan membutuhkan gas, mungkin sekitar 150 sampai 200 karena kehilangan luarnya. Artinya, energi yang kita ambil dari alam itu sekitar 200.”
"Tapi kalau kita pakai kompor listrik, sementara pembangkit kita adalah pembangkit yang efisiensinya 30 persen, itu berarti energi yang diambil dari alam itu sekitar 300. Jadi energi yang diambil dari alam akan lebih besar kalau kita pakai kompor listrik dibanding kompor yang langsung menggunakan bahan bakar yang dibakar," tuturnya.
Dan betulkah lebih hemat dari sisi biaya? Pandji meragukan klaim itu.
Ia berpandangan sistem harga bahan bakar di Indonesia memang "antik" di mana harga gas per KWH-nya lebih mahal daripada listrik. Padahal, gas energi primer bisa didapat langsung dari lingkungan, sementara listrik hasil dari konversi energi.
"Jadi saya juga agak bingung, struktur harga di kita itu agak kebalik-balik," katanya.
Jika program ini memang ditujukan untuk mengurangi emisi karbon, menurut Pandji, harus diawali dengan membenahi pembangkit listrik dalam negeri.
"Sebetulnya, intinya dari pembangkitnya dulu. Pembangkit kita harus ramah lingkungan dulu. Misalkan, menggalakkan banyak sel surya atau banyak pembangkit hidro yang lebih sustainable dibanding fosil. Baru setelah itu, listriknya bisa dianggap sebagai listrik yang ramah lingkungan," katanya.
Pandji mengungkapkan sebenarnya energi listrik oversupply di Jawa dan Bali.
Ketika ditanya apakah program konversi ke kompor listrik dan nanti mobil listrik, sebagai upaya PLN menjual listrik sebanyak-banyaknya, Pandji menolak berkomentar.
Tanggapan masyarakat
Fita Fatimah menyambut baik program konversi kompor gas ke kompor listrik.
Warga Gedebage, Kota Bandung, ini menilai tampilan kompor listrik yang ringan dan modern, cocok untuk generasi milenial.
Apalagi, kompor listrik digembar-gemborkan lebih murah dan efisien.
"Apakah lebih murah atau enggak dari gas? Tapi di sini saya lihat lebih murah. Kalau lebih murah saya sangat mendukung sekali. Tapi, kita harus tahu juga berapa kalau pakai kompor listrik, belum tahu hitungannya," ungkap Fita.
Lain halnya dengan Rena. Menurut warga Bandung Timur ini, program konversi kompor gas ke kompor listrik cukup membuat heran di tengah kondisi listrik di Jawa Barat yang belum stabil.
Ditambah lagi, sistem pembayaran listrik yang kini menggunakan token.
"Kami enggak kebayang kalau dikonversi ke listrik, apalagi sekarang listriknya pakai model token itu. Kalau pas tiba-tiba kita lagi masak listriknya habis, gimana? Itu kita tak mengerti karena beli token listrik itu enggak bisa di sembarang tempat. Menurut saya sih pasti agak susah," kata Rena.
"Kedua, apakah PLN bisa memberikan pasokan listrik itu ke semuanya. Sekarang aja listrik bisa mati satu kali, dua kali, sehingga jangan sampai persoalan dapur kita terganggu oleh listrik ini," tambahnya.
Berkaca pada pengalaman konversi kompor minyak ke kompor gas, Rena menyebutkan, jangan sampai masyarakat mengalami kesulitan, seperti ketika mencari gas berbobot tiga kilogram yang terjadi saat ini.
Ia berharap ada sosialisasi dari pemerintah sebelum program ini diluncurkan.
"Kalau mau ada contoh dulu seperti apa. Jangan buru-buru. Belum diujicobakan, tahunya sudah main jalan programnya. Sebaiknya sosialisiasi, ada contoh dulu yang bisa kita lihat."
"Jangan sampai program ini hanya menguntungkan, misalnya perusahaan kompor listrik. Jangan sampai Pemprov Jabar mementingkan sisi bisnisnya," tandas Rena.