Larangan Nonmuslim di Bantul Dicabut, Slamet Kadung Batal Mengontrak

Seniman Slamet Jumiarto, warga nonmuslim yang ditolak oleh warga ketika pindah mukim di Kabupaten Bantul, saat bersama aparat Kepolisian usai mengadukan masalahnya pada Selasa, 2 April 2019.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Cahyo Edi (Yogyakarta)

VIVA – Otoritas Padukuhan Karet di Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, memastikan bahwa aturan yang melarang warga nonmuslim pendatang bermukim di wilayah itu dicabut dan tak berlaku lagi sejak kemarin. Kepala Padukuhan meminta maaf mewakili warga setempat atas aturan diskriminatif itu.

Iswanto, Kepala Padukuhan Karet, mengumumkan pencabutan aturan itu di rumah kontrakan Slamet Jumiarto (42 tahun), warga nonmuslim pendatang yang sempat ditolak oleh warga, pada Selasa, 2 April 2019. Pengumuman disaksikan juga Kepala Polres Bantul, AKBP Sahat M Hasibuan.

"Mulai hari ini (Selasa, 2 April 2019) sudah dicabut, karena melanggar peraturan dan perundangan. Kami sepakat aturan yang kami buat itu dicabut. Permasalahan dengan Pak Slamet tidak ada permasalahan lagi. Nantinya kita mengikuti aturan yang ada di pemerintahan saja," ujar Iswanto.

Iswanto mengklaim, masyarakat di wilayahnya tak akan mempermasalahkan lagi warga pendatang nonmuslim maupun berbeda suku di sana.

Dia menceritakan aturan itu dibuat berawal dari keinginan untuk tidak mencampurkan makam muslim dan nonmuslim. Masyarakat khawatir jika ada pendatang yang berbeda agama membeli tanah di Padukuhan Karet akan dimakamkan di tempat yang sama.

Berawal dari pembahasan itulah lahir peraturan larangan pembelian tanah dan bertempat tinggal warga nonmuslim di Padukuhan Karet. Iswanto mengakui dialah yang mengesahkan aturan itu setelah mendapat persetujuan 30-an tokoh masyarakat setempat. 

Di Padukuhan Karet, katanya, kini bermukim 540 kepala keluarga dan satu keluarga di antaranya nonmuslim. Satu keluarga dengan tiga orang itu ialah warga yang telah lama tinggal di Padukuhan Karet.

Namun Slamet Jumiarto sudah telanjur memutuskan membatalkan mengontrak rumah di sana dan meminta uang sewa Rp4 juta yang telah dia bayarkan dikembalikan. Dia membatalkan mengontrak rumah di Padukuhan Karet sebelum aturan diskriminatif itu dicabut, dan bahkan setelah Pemerintah Kabupaten memediasinya dengan aparat desa dan kecamatan setempat.

Iswanto sang Kepala Padukuhan mempersilakan Slamet dan keluarganya jika ingin tetap mengkontrak di wilayahnya. Toh, aturan itu tidak berlaku lagi. Tetapi Slamet belum memutuskan sikap tetap mau bermukim di sana atau tidak. Dia akan berembuk dengan istri dan kedua anak mereka.

"Yang terpenting bagi saya, peraturan tersebut sudah dicabut. Jangan sampai ada korban lainnya. Jangan sampai cap intoleransi di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) makin tebal," ujarnya.

Dalam kesempatan terpisah, Bupati Bantul Suharsono menegaskan bahwa tak boleh ada peraturan yang diskriminatif di wilayahnya. Dia menyebut aturan di Padukuhan Karet itu tak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan kenyataan keberagaman masyarakat Indonesia.

“Enggak boleh ada larangan kalau tak ada dasar hukumnya. [aturan di Padukuhan Karet] itu melanggar hukum. Yang penting dirembuk. Warga [nonmuslim] bisa di situ, yang penting tidak mengganggu," ujarnya. (mus)